Syariah

Kriteria Hakim Ideal menurut Rasulullah

Sen, 13 November 2023 | 16:00 WIB

Kriteria Hakim Ideal menurut Rasulullah

Ilustrasi. (Foto: NU Online/Freepik)

Hakim bukanlah profesi yang mudah, sebab ada tanggung jawab di setiap putusan yang dikeluarkan. Maka dari itu untuk menjadi seorang hakim ada kriteria dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Rasulullah saw membagi seorang hakim menjadi tiga macam:

 

القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ

 

Artinya: “Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan hukum dengan tidak benar, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran (jahil), sehingga ia menghilangkan hak orang lain, maka ia pun di neraka. Hakim yang memutuskan hukum dengan kebenaran, maka ia di surga”. (HR. At-Tirmidzi).

 

Al-Munawi menjelaskan ancaman yang ada pada hadits di atas memperingatkan setiap orang yang berprofesi sebagai hakim agar berlaku adil, bekerja semaksimal mungkin dan berusaha mencapai kesempurnaan dalam memutuskan sesuatu. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1356], jilid IV, hal. 538).

 

Adz-Dzahabi menambahkan bahwa orang yang memutuskan suatu perkara padahal ia tidak begitu memahaminya, bahkan tidak mengetahui ilmunya, maka masuk ke dalam ancaman dalam hadits tersebut, beliau berkata:

 

فكل من قضى بغير علم ولا بينة من الله ورسوله على ما يقضي به فهو داخل في هذا الوعيد

 

Artinya: “Setiap orang yang memutuskan perkara tanpa ilmu, atau bukti yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka dia termasuk kepada golongan yang diancam.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid XIII, hal. 15).

 

Rasulullah saw mewanti-wanti umatnya yang menjadi seorang hakim, bahwa profesi tersebut bukan sembarang profesi, beliau menggambarkan seseorang yang menjadi hakim seolah dibunuh tanpa menggunakan pisau. Beliau bersabda:

 

مَنْ وَلِيَ الْقَضَاءَ أَوْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ 

 

Artinya: “Siapapun yang diberi jabatan hakim atau diberi kewenangan untuk memutuskan hukum di antara manusia, sungguh ia telah dibunuh tanpa menggunakan pisau.” (HR At-Tirmidzi).

 

Al-Munawi menjelaskan, seorang yang menerima kewenangan untuk menjadi seorang hakim artinya dia telah menyiksa dirinya sendiri dengan rasa sakit yang serupa dengan disembelih tanpa pisau. Siksaan tersebut didapat melalui kesulitan-kesulitan yang ada dalam birokrat pemerintahan. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid VI, hal. 238).

 

Al-Muzhir berkata, “Bahaya menjadi seorang hakim itu besar, karena jiwa yang condong pada cinta kekuasaan dan jabatan akan terjatuh dalam prilaku suap-menyuap dan itu adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, jilid VI, hal. 238).

 

Sifat adil dan tidak diskriminatif juga harus ada dalam jiwa seorang hakim, sehingga putusan yang dikeluarkan kepada orang yang memiliki jabatan, kekayaan, atau terpandang di tengah masyarakat tidak berbeda dengan putusan yang dikeluarkan kepada orang-orang biasa. Bahkan hakim juga tidak dibolehkan untuk membedakan hukum karena hubungan keluarga, Nabi saw bersabda:

 

فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا وَفِي حَدِيثِ ابْنِ رُمْحٍ إِنَّمَا هَلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

 

Artinya: “Wahai sekalian manusia, hanya saja yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya, sementara jika orang-orang berpangkat rendah dari mereka mencuri, mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Muslim).

 

Meskipun beberapa hadits Nabi saw menunjukkan ancaman terhadap para hakim yang tidak berlaku adil, dan menganjurkan orang-orang untuk tidak mengambil profesi sebagai hakim, tetap ada ganjaran bagi seorang hakim yang adil berupa pahala dan surga.

 

Bahkan dalam hadits disebutkan bahwa seorang hakim yang sudah berupaya untuk adil dalam menetapkan perkara akan tetapi salah dalam keputusannya, maka ia tetap mendapat satu pahala karena usahanya. Sedangkan yang benar keputusannya akan mendapat dua pahala. Nabi saw bersabda:

 

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

 

Artinya: “Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad kemudian ia salah, maka baginya satu pahala.” (HR Al-Bukhari).

 

إنما يؤجر المخطئ على اجتهاده في طلب الحق؛ لأن الاجتهاد عبادة، ولا يؤجر على الخطأ، بل يوضع عنه الإثم فقط، وهذا فيمن كان من المجتهدين جامعًا لآلة الاجتهاد، عارفًا بالأصول، عالمًا بوجوه القياس.

 

Artinya: “Hanya saja hakim yang salah diberi ganjaran atas ijtihadnya dalam menuntut kebenaran, karena ijtihad adalah ibadah, sedangkan kesalahan yang dibuatnya tidak diberi pahala, namun dosa sebab putusan salah tersebut dihapuskan. Ini berlaku untuk mujtahid yang telah menggunakan seluruh piranti keilmuan dalan berijtihad, mengetahui ushul dan juga sudut pandang analogis.” (Khalil Ahmad, Badzlul Majhud fi Halli Sunan Abi Dawud, [India: Markaz lil Buhuts, 2006], jilid XI, hal. 302).

 

Al-Mundzir mengatakan, tidak semua hakim yang salah mendapat ganjaran. Hakim salah yang mendapat ganjaran adalah yang memiliki ilmu, mengetahui betul perkara yang sedang dihadapi dan hendak diputuskan. Sedangkan yang tidak mengetahui serba-serbi ilmu ijtihad maka tidak mendapat ganjaran atas kesalahannya. (Badruddin al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, jilid. XXV, hal. 66).

 

Seorang hakim juga, apabila adil maka derajatnya akan diangkat. Nabi saw pernah bersabda:

 

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ 

 

Artinya: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya.” (HR Muslim).

 

Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dikutip an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim jilid XII halaman 211 menjelaskan, boleh jadi makna ‘di atas mimbar’ pada hadits tersebut adalah makna hakikat, artinya derajatnya di dunia diangkat sebab keadilannya. Boleh jadi maknanya adalah kiasan, artinya derajatnya akan diangkat di akhirat kelak. Wallahu a’lam

 

Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah