Larangan Kekerasan Aparat Penegak Hukum dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif
NU Online ยท Senin, 1 September 2025 | 21:00 WIB
Muhammad Zainul Millah
Kolomnis
Akhir-akhir ini, publik sering menyaksikan berita tentang aparat penegak hukum yang menggunakan kekerasan berlebihan kepada masyarakat, seperti yang terjadi saat kegiatan demonstrasi. Tidak jarang muncul kasus tindakan kekerasan oleh apparat, baik berupa pemukulan, intimidasi, maupun perlakuan sewenang-wenang.ย
ย
Fenomena ini tidak hanya menimbulkan trauma sosial, tetapi juga merusak citra penegakan hukum yang seharusnya melindungi rakyat. Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka memiliki kedudukan penting untuk menjaga keamanan dan menegakkan keadilan.
ย
Dalam hukum positif, terdapat aturan khusus bagi penyampaian pendapat di muka umum yang melanggar ketentuan perundang-undangan, yang mana dalam hal ini wajib dilakukan tindakan oleh pejabat Polri dengan menerapkan tindakan yang profesional, proporsional, prosedural dan dapat dipertanggungjawabkan.ย
ย
Selain itu, penindakan terhadap pelanggaran penyampaian pendapat di muka umum juga harus dilakukan secara dini dengan menerapkan urutan tindakan dari metode yang paling lunak sampai yang paling tegas disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi.
ย
Meski demikian, dalam pelaksanaannya tentu tetap harus menghindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, seperti tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat; tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM.
ย
Pasal 10 Perkapolri 8/2009 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct), di antaranya:
โTidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum, atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.โ
ย
Larangan untuk melakukan kekerasan juga dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 44 Perkapolri 8/2009, sebagai berikut:
- Setiap anggota Polri dilarang melakukan tindakan kekerasan dengan dalih untuk kepentingan umum atau untuk penertiban kerusuhan.
- Setiap anggota Polri dilarang keras melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang telah menyerahkan diri atau ditangkap
ย
Jadi, polisi dilarang menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan, membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan. Namun, dalam hal polisi harus melakukan tindakan kekerasan, polisi harus memperhatikan pertimbangan tertentu.ย
ย
Dalam pandangan Islam, tindakan kekerasan dalam menegakkan hukum di masyarakat hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat. Artinya, jika tidak ada kesalahan dari masyarakat, atau ada, namun dapat diselesaikan tanpa kekerasan, maka aparat dilarang menggunakan kekerasan.ย
ย
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa mencegah kemungkaran tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ada tahapan yang harus dilalui, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, sesuai dengan kondisi dan respons pelaku kemungkaran.
ย
Menurut Al-Ghazali, Jika semua tahapan ringan sebelumnya tidak berhasil, diperbolehkan untuk memukul pelaku dengan tangan, kaki, atau anggota tubuh lain tanpa menggunakan senjata. Ini hanya boleh dilakukan jika memang sangat mendesak untuk menghentikan maksiat dan sebatas untuk mendorongnya berhenti, tidak untuk melukai secara berlebihan.
ย
Secara keseluruhan, pemahaman Al-Ghazali menunjukkan bahwa menghentikan kemungkaran masyarakat harus dilakukan dengan bijak dan bertingkat. Tidak boleh langsung menggunakan kekerasan, melainkan dimulai dari yang paling lembut dan persuasif.ย
ย
As-Suyuthi mengutip pendapat Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumiddin mengenai ketentuan ketat dalam melakukan tindakan kekerasan saat menegakkan hukum atau mencegah kemungkaran (nahi 'anil munkar), sebagai berikut:
ย
ููููุงูู ุงููุบูุฒูุงููู ููู ุงููุฅูุญูููุงุกู ุฏูุฑูุฌูุงุชู ุงูููููููู ุนููู ุงููู
ูููููุฑู ุณูุจูุนูุฉู โฆ ุงูุณููุงุฏูุณูุฉู ู
ูุจูุงุดูุฑูุฉู ุงูุถููุฑูุจู ุจูุงููููุฏู ููุงูุฑููุฌููู ููุบูููุฑู ุฐููููู ุจูููุง ุดูููุฑู ุณูููุงุญู ููุฐููููู ุฌูุงุฆูุฒู ูููุขุญูุงุฏู ุจูุดูุฑูุทู ุงูุถููุฑูููุฑูุฉู ููุงูุงููุชูุตูุงุฑู ุนูููู ููุฏูุฑู ุงููุญูุงุฌูุฉู ููู ุงูุฏููููุนู
ย
Artinya, โImam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumiddin, tahapan mencegah kemunkaran itu ada tujuh, โฆ yang ke enam, melakukan pemukulan dengan tangan, kaki, atau lainnya, tanpa menggunakan senjata. ini diperbolehkan bagi tiap individu dengan syarat darurat dan hanya sebatas kebutuhan untuk menolak.โ (Al-Hawi lilย Fatawi, juz I, halaman 117).
ย
Muhammad Al-Khadimi memberi peringatan dan kritikan untuk para muhtasib (penegak hukum). Menurutnya para penegak hukum sering melampaui batas dengan memukul pelaku maksiat secara berlebihan. Akibatnya, kebaikan (manfaat) yang mereka tuju tidak sebanding dengan keburukan (mudharat) yang mereka timbulkan.ย
ย
Al-Khadimi menjelaskan batasan dalam melakukan tindakan penegakan hukum, menurutnya, sama seperti ucapan, tindakan fisik pun memiliki batasan. Meskipun haditsย membolehkan "mengubah kemungkaran dengan tangan," hal itu tidak berarti boleh memukul dengan keras dan melukai.
ย
Memukul hanya boleh jika tindakan lain tidak memungkinkan, dan itu pun sebatas mencegah maksiat, tidak untuk melukai. Batasan ini didasarkan pada kaidah fiqih, "Apa yang ditetapkan karena darurat, maka kadarnya disesuaikan dengan kebutuhan darurat tersebut."
ย
ููููุซููุฑู ู
ููู ุงููู
ูุญูุชูุณูุจูููู) ุฃููู ุงููุขู
ูุฑูููู ุจูุงููู
ูุนูุฑูููู ููุงููููุงููููู ุนููู ุงููู
ูููููุฑู โฆ (ููุฎูุทูุฆูููู ููู ููุฐูุง) ููููุถูุฑูุจูููู ูููููู ุญูุงุฌูุฉู ุงูุถููุฑูุจู (ููููููุฑููุทูููู) ููุชูุฌูุงููุฒูููู ุงููุญูุฏูู (ููู ุงููุญูุณูุจูุฉู) โฆ (ููููุง ููููู ุฎูููุฑูููู
ู) ููู ุงููุงุญูุชูุณูุงุจู ( ุดูุฑููููู
ู) ููุงูุถููุฑูุจู ุจูุบูููุฑู ู
ูุจููุญู ุดูุฑูุนูููู ุ ููุฏูุฑูุกู ุงููู
ูููุงุณูุฏู ุฃูููููู ู
ููู ุฌูููุจู ุงููู
ูููุงููุนู
ย
Artinya, โBanyak penegak hisbah (amir ma'ruf nahi munkar) melampaui batas dalam hal ini. Mereka memukul pelaku maksiat secara berlebihan. Mereka melewati batas dalam menegakkan hukum. Maka, kebaikan (manfaat) yang mereka tuju tidak sebanding dengan keburukan (mudharat) yang mereka timbulkan, seperti memukul tanpa adanya legalitas syaraโ. Padahal menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat." (Al-Buraiqah Al-Mahmudiyyah,ย [Beirut, Darul-Kutub Al-Ilmiyyah: 2022], juz III, halaman 440).
ย
Menjadi aparat penegak hukum adalah amanah yang mulia. Namun kemuliaan itu akan sirna bila dijalankan dengan kekerasan, kedzaliman, dan kesewenang-wenangan. Islam mengajarkan agar aparat menegakkan hukum dengan adil, berlandaskan kasih sayang, serta menjauhkan diri dari kekerasan yang tidak perlu.
ย
Tindakan fisik, atau kekerasan, hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat, dan sudah menjadi alternatif terakhir. Dengan demikian, kekerasan aparat terhadap rakyat tanpa adanya kondisi yang mendesak, bukan saja melanggar hukum negara, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebagai agama yang rahmahtan lilย 'alamin. Wallahu aโlam.ย
Ustadzย Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar
ย
Terpopuler
1
PMII Jakarta Timur Tuntut Keadilan Usai Kadernya Tertembak Peluru Karet hingga Tembus Dada
2
Demo Agustus 2025: Alarm Keras Suara Rakyat
3
PBNU Bersama 15 Ormas Islam Serukan Masyarakat Tenang dan Menahan Diri di Tengah Memanasnya Situasi
4
Instruksi Kapolri soal Tembak di Tempat Dinilai Berbahaya, Negara Harus Lakukan Evaluasi
5
Massa Aksi Jarah Markas Gegana dan Bakar Halte Senen yang Tak Jauh dari Mako Brimob Kwitang
6
Tim NU Peduli Kunjungi Keluarga Affan Kurniawan, Berikan Santunan 100 Juta Rupiah
Terkini
Lihat Semua