Bagaimana Seharusnya Peran Ulama di Tengah Krisis Demokrasi?
NU Online · Senin, 1 September 2025 | 16:00 WIB
M. Ryan Romadhon
Kolomnis
Dalam situasi ketika demokrasi menghadapi berbagai tantangan, termasuk persoalan pengupahan pejabat negara yang dinilai berlebihan serta tindakan aparat terhadap demonstran, peran ulama menjadi sangat penting.
Sebagai pemimpin spiritual dan moral, ulama berfungsi sebagai penasehat etika bagi penguasa dan masyarakat. Mereka diharapkan mampu menegakkan nilai keadilan, mengajak pada kebaikan, mencegah kemungkaran, serta memberikan kritik yang konstruktif terhadap praktik-praktik yang berpotensi merusak tatanan demokrasi.
Inilah peran dan tanggung jawab ulama dalam menjaga demokrasi:
1.Pemberi Nasihat dan Kritik Konstruktif
Ulama memiliki peran penting sebagai pemberi nasihat dan penuntun moral bagi para pemegang kekuasaan. Nasihat dan kritik yang mereka sampaikan seyogianya berlandaskan pada keadilan, etika Islam, dan kemaslahatan umat. Dengan cara yang lembut dan penuh hikmah, ulama mengingatkan bahwa penggunaan fasilitas negara secara berlebihan, terlebih jika bercampur dengan praktik yang tidak adil, dapat mencederai amanah yang dititipkan rakyat.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah keburukan) menjadi dasar peran ini. Nabi Muhammad SAW menegaskan,
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
Artinya: “Jihad terbaik adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang tidak adil.” (HR. Abu Daud)
Imam al-Ghazali menjelaskan, dalam konteks penguasa, amar ma’ruf nahi munkar sebaiknya dilakukan dengan cara pengenalan dan nasihat penuh kelembutan, bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, ulama dapat menyampaikan kritik secara:
Baca Juga
Kelakar Gus Dur soal Demokrasi Orde Baru
- Privat, melalui pertemuan langsung atau surat resmi, untuk menjaga kehormatan dan membuka ruang dialog.
- Publik, melalui mimbar dakwah atau media, bila persoalan sudah menjadi perhatian luas. Kritik publik tetap harus konstruktif, bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memberi dorongan moral kepada penguasa agar melakukan perbaikan.
Dengan pendekatan ini, ulama tidak hanya menjadi suara kebenaran, tetapi juga penyejuk dan penuntun menuju keadilan yang lebih maslahat. (Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], jilid. II, hlm. 343)
2. Pendidik Moral dan Etika
Ulama memegang peranan penting dalam mendidik umat tentang nilai integritas, kejujuran, dan keadilan. Tanggung jawab ini mencakup seluruh lapisan masyarakat, termasuk pejabat negara dan aparat keamanan. Mereka perlu diingatkan bahwa jabatan bukanlah kesempatan untuk memperkaya diri atau bertindak sewenang-wenang, melainkan sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Pendidikan moral dan etika adalah inti dari peran ulama yang tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, melainkan juga pembinaan hati dan nurani umat. Melalui peran ini, ulama membantu menguatkan kesadaran bahwa jabatan adalah titipan yang menuntut akuntabilitas, baik di hadapan rakyat maupun Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pemimpin negara adalah pemimpin bagi rakyatnya, seorang laki-laki pemimpin bagi keluarganya, dan seorang wanita pemimpin atas rumah suaminya serta anak-anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Muttafaq 'alaih)
Agar pesan moral ini lebih membekas, ulama dapat menempuh dua cara utama:
- Melalui mimbar dakwah: Konsisten menyampaikan nilai kejujuran, keadilan, dan amanah dalam khotbah atau ceramah dengan bahasa yang relevan dengan kehidupan masyarakat.
- Menjadi teladan: Menunjukkan integritas dan keadilan melalui perilaku sehari-hari, sehingga pesan yang disampaikan lebih kuat. Sebagaimana ungkapan hikmah,
لِسَانُ الحَال أفْصَحُ مِنْ لِسَانِ المَقَالِ
Artinya: “Teladan nyata lebih fasih daripada sekadar ucapan.”
3. Mediator dan Penyeimbang Kekuatan
Ulama memiliki posisi yang unik sebagai figur moral yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Karena itu, mereka dapat berperan sebagai penengah dalam situasi konflik, khususnya ketika terjadi demonstrasi. Kehadiran ulama dapat membantu menjaga agar aspirasi rakyat tersampaikan dengan baik, sekaligus mencegah potensi kekerasan dari kedua belah pihak.
Sebagai pihak ketiga yang netral, ulama dapat:
- Menjembatani komunikasi: membantu merumuskan aspirasi rakyat secara jelas dan menyampaikannya kepada pemerintah, sekaligus mengomunikasikan respons pemerintah kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.
- Meredakan ketegangan: kehadiran ulama di tengah massa dapat memberi ketenangan dengan nasihat yang menyejukkan. Mereka juga dapat mengingatkan aparat agar tidak menggunakan kekuatan secara berlebihan, sebab tugas utama aparat adalah melindungi, bukan menindas.
- Menciptakan ruang dialog: ulama bisa mendorong terbentuknya forum diskusi antara pemerintah dan rakyat, sehingga konflik dapat diselesaikan dengan cara damai dan konstruktif.
Dengan peran seperti ini, ulama menjadi penyeimbang yang menjaga agar dinamika sosial-politik tetap berjalan dalam koridor keadilan dan kemanusiaan.
4. Penguatan Nilai-nilai Kemanusiaan
Ulama juga memiliki tanggung jawab besar dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka harus dengan tegas menolak segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk ketika aparat bersikap represif terhadap rakyat. Tindakan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang menekankan kasih sayang (rahmah) dan keadilan (‘adl).
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak kebenaran karena Allah, sebagai saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Rasulullah SAW juga bersabda tentang pentingnya kasih sayang:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء
Artinya: “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr)
Dari dasar ajaran ini, ulama memiliki kewajiban untuk:
- Mengutuk kekerasan secara tegas, melalui pernyataan, khotbah, atau fatwa, agar nilai-nilai Islam tidak disalahgunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak manusiawi.
- Mendidik aparat tentang amanah profesinya, yakni mengayomi dan melindungi rakyat, bukan menindas. Kekuasaan yang mereka miliki adalah titipan Allah untuk menjaga keadilan dengan cara yang humanis.
- Membangun kesadaran kolektif, dengan terus menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, sehingga masyarakat memiliki kekuatan moral untuk menuntut keadilan dan perbaikan sistemik.
Pandangan Munas NU 2023 Terkait Hubungan Ulama dan Umara (pemerintah)
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2023 menegaskan bahwa hubungan antara ulama (pemimpin agama) dan umara (pemimpin negara) bersifat saling melengkapi atau simbiosis mutualisme. Relasi ini dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan bagi masyarakat.
Dalam Munas NU 2023, relasi antara ulama dan umara dibahas secara mendalam dalam Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah. Beberapa poin penting yang dihasilkan adalah:
- Kewajiban ulama: Para ulama memiliki kewajiban untuk mendampingi dan memberikan nasihat kepada penguasa, memastikan bahwa kebijakan yang diambil berorientasi pada kemaslahatan umum. Selain itu, ulama harus menjaga muru'ah atau integritas mereka, dengan menjadikan kemaslahatan umat sebagai orientasi utama, bukan kepentingan duniawi.
- Kewajiban umara: Pemimpin negara atau pemerintah wajib untuk senantiasa bermusyawarah dan berkonsultasi dengan para ulama, terutama dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan keadilan dan kemaslahatan rakyat. Pemerintah juga diharapkan memiliki rasa hormat dan rindu untuk mendengarkan nasihat dari para ulama.
- Bentuk relasi ideal: Relasi ideal antara keduanya adalah saling tolong-menolong dalam merealisasikan keadilan dan kebaikan serta bekerja sama dalam menjaga perdamaian.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa ulama memiliki empat peran penting dalam merawat demokrasi, yakni sebagai pemberi nasihat dan kritik konstruktif, pendidik moral dan etika, mediator sekaligus penyeimbang kekuatan, serta penguat nilai-nilai kemanusiaan. Melalui peran tersebut, ulama tidak hanya menjalankan fungsi keagamaan, tetapi juga turut menjaga keberlangsungan dan kesehatan demokrasi di tanah air.
Tentu saja, masih banyak peran lain yang bisa digali dan dikembangkan seiring tantangan zaman. Semoga pembahasan singkat ini dapat menjadi inspirasi dan pengingat akan pentingnya peran ulama dalam menghadapi ujian demokrasi masa kini. Wallahu a‘lam.
Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
PMII Jakarta Timur Tuntut Keadilan Usai Kadernya Tertembak Peluru Karet hingga Tembus Dada
2
Demo Agustus 2025: Alarm Keras Suara Rakyat
3
Kapolda Metro Jaya Diteriaki Pembunuh oleh Ojol yang Hadir di Pemakaman Affan Kurniawan
4
PBNU Bersama 15 Ormas Islam Serukan Masyarakat Tenang dan Menahan Diri di Tengah Memanasnya Situasi
5
Khutbah Jumat: Kritik Santun, Cermin Cinta Tanah Air dalam Islam
6
Massa Aksi Jarah Markas Gegana dan Bakar Halte Senen yang Tak Jauh dari Mako Brimob Kwitang
Terkini
Lihat Semua