Muhammad Zainul Mujahid
Kolomnis
Dikisahkan bahwa pada suatu hari, seorang pemuda sederhana bernama Tsabit sedang berjalan di tepi sungai. Perutnya lapar, sementara ia tidak memiliki bekal apa pun untuk dimakan. Ketika ia sedang berwudhu di tepi sungai tersebut, tanpa sengaja matanya tertuju pada sebuah apel yang hanyut terbaya aliran sungai. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil apel itu, membasuhnya sebentar, lalu memakannya dengan penuh syukur.
Namun, setelah Tsabit menghabiskan separuh dari apel tersebut, hatinya bergetar. Ia tersadar bahwa apel itu bukanlah miliknya. Karenanya, ia bertekad untuk mencari pemilik apel tersebut dan meminta kerelaan darinya.
Ia menelusuri aliran sungai, hingga akhirnya ia menemukan sebuah kebun apel yang tampak luas dan terawat. Dari situlah ia menduga bahwa apel yang hanyut itu berasal kebun tersebut. Tsabit pun memberanikan diri mengetuk pintu kebun, dan bertanya kepada seseorang yang ada di sana, “Tuan, tadi saya menemukan sebutir apel hanyut di sungai. Karena lapar, saya memakannya tanpa izin. Kini saya datang memohon kerelaan Tuan agar memaafkan kelalaian saya itu.”
Baca Juga
Kisah Ulama Berhaji Tanpa ke Tanah Suci
Lelaki itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Saya hanyalah penjaga. Saya tidak punya wewenang apapun disini. Temuilah pemiliknya, ia ada di daerah fulan.”
Mendengar penuturan dari penjaga kebun tersebut, Tsabit bergegas menuju lokasi rumah pemilik kebun. Rumahnya cukup jauh dari kebun apel yang tadi. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Tsabit akhirnya sampai di ruham si pemilik kebun. Ia pun menjelaskan maksud dan tujuannya untuk meminta kerelaan atas buah apel yang sudah terlanjur ia makan.
Pemilik kebun menatap pemuda itu dengan heran. Dalam hati ia bergumam, “Berapa banyak orang yang memakan sesuatu tanpa peduli halal atau haram, tetapi anak muda ini justru datang jauh-jauh hanya untuk meminta keikhlasanku atas sebuah apel yang sudah tidak berharga.” Pemilik kebun itu kagum dengan kesalehan dan keimanan Tsabit. Akhirnya, ia berniat untuk menguji Tsabit sejauh mana ia teguh dengan sikap terpujinya tersebut.
Untuk melihat sejauh mana keteguhan hati Tsabit, ia tida langsung mengikhlaskan. Ia justru berkata, “Aku tidak akan menghalalkan apel itu, kecuali dengan satu syarat.”
Tsabit menunduk penuh penasaran. “Syarat apakah itu, Tuan?”
Baca Juga
Kisah Rasulullah Mencoret Tujuh Kata
“Syaratku, engkau harus menikahi putriku.” kata lelaki tua pemilik kebun apel itu.
Mendengar hal itu, Tsabit terkejut. Ia bukan siapa-siapa, hanyalah pemuda sederhana. Bagaimana mungkin ia menikahi putri seorang tuan kebun yang terhormat? Namun, belum ia sempat ragu lebih jauh, pemilik kebun itu menjelaskan, “Ketahuilah, putriku bukanlah perempuan yang seperti bayanganmu. Ia lumpuh, tuli, bisu, dan buta. Jika engkau ikhlas menikahinya, maka aku akan merelakan apel yang engkau makan.”
Tsabit terdiam lama. Di satu sisi, ia merasa berat menerima syarat itu. Tetapi di sisi lain, ia khawatir apel yang telah masuk ke dalam perutnya menjadi haram dan merusak keberkahan hidupnya. Setelah merenung cukup lama, ia pun berkata dengan penuh pasrah, “Jika itu syaratnya, insyaAllah saya terima. Saya akan menikahi putri Tuan.”
Hari pernikahan pun dilangsungkan. Dengan hati bergetar, Tsabit memandang wajah istrinya untuk pertama kali. Alangkah terkejutnya ia, karena ternyata perempuan yang dalam bayangannya buruk rupa itu ternyata adalah seorang gadis yang cantik jelita. Ia tidak bisu, tidak tuli, dan tidak buta seperti yang digambarkan ayahnya.
Tsabit menceritakan keheranannya kepada perempuan itu, dan mengapa ayahnya berbohong mengenai dirinya. Ia menjawab, “Ayahku tidak berbohong. Ia mengatakan bahwa aku lumpuh karena aku tidak pernah keluar rumah. Bisu dari ucapan yang sia-sia. Tuli dari hal-hal yang diharamkan. Dan buta dari segala yang dilarang.” (Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi, Bariqah Mahmudiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 1348 H.], juz 4, hal. 206)
Tsabit pun bersyukur tiada terkira. Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akan mendapatkan seorang istri yang cantik paras wajah dan akhlaknya.
Validitas Kisah
Penting untuk diketahui bahwa kisah ini memiliki beragam versi, baik dari segi alur cerita maupun identitas pemuda yang menjadi aktor dalam cerita. Dalam beberapa versi disebutkan bahwa pemuda tersebut adalah ayah dari Imam Abu Hanifah, ada yang mengatakan bahwa beliau adalah ayahnya Imam al-Syafi’i, ada pula yang mengisahkan bahwa beliau adalah ayah dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah ayahnya Imam al-Ardabili dari kalangan syi’ah.
Sejauh ini, penulis masih belum menemukan data yang valid terkait versi mana yang paling sahih. Hanya saja, kisah ini cukup masyhur dituturkan secara verbal di kalangan umat Islam, dan penulis menyadur kisah ini dari kitab Bariqah Mahmudiyah. Dalam kitab tersebut, tidak disebutkan siapa nama ayah Imam Abu Hanifah. Namun, dalam kitab Maghanil Akhyar, Syaikh Badruddin al-Aini menjelaskan ada beberapa riwayat mengenai nama ayah Imam Abu Hanifah.
والحاصل أنهم اختلفوا فى نسبة أبى حنيفة اختلافًا كثيرًا، فقال أكثرهم: كان أبو حنيفة من العجم، اسمه النعمان بن ثابت بن النعمان بن المرزبان النسائى، ويقال: النعمان بن ثابت بن زوطا، ويقال: النعمان بن ثابت بن طاووس بن هرمز ملك بن شيبان
Artinya, "Kesimpulannya, terdapat banyak perbendaan terkait nasab Imam Abu Hanifah. Mayoritas mengatakan bahwa Abu Hanifah adalah orang ajam (non arab). Namanya Nu’man bin Tsabit bin Nu’man bin al-Marzaban al-Nasa’i. Ada yang mengatakan, Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Ada yang mengatakan Nu’man bin Tsabit bin Thawus Harmas Malik bin Syaiban," (Badruddin al-‘Aini, Maghanil Akhyar, [Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyah, 2006], juz 3, hal. 121)
Ibrah dari Kisah
Kisah apel yang memesona ini bukan hanya dongeng pengantar tidur. Ia mengandung pelajaran mendalam tentang arti kejujuran, amanah, dan ketakwaan. Bayangkan, seandainya Tsabit tidak peduli dengan apel itu, mungkin ia tidak akan mendapat keberkahan hidup dan keturunan seperti yang terjadi kemudian. Sikap hati-hati dalam perkara halal-haram ternyata mampu menanamkan pondasi yang kokoh, bahkan melahirkan generasi ulama besar.
Di zaman kita sekarang, godaan harta haram begitu mudah masuk ke perut manusia. Entah dari korupsi, manipulasi, atau ketidakpedulian terhadap hak orang lain. Kisah ini seakan menjadi teguran bahwa makanan haram atau syubhat tidak hanya merusak hati dan amal, tetapi juga bisa memengaruhi kualitas keturunan. Sebaliknya, sikap hati-hati seperti yang dicontohkan Tsabit akan melahirkan keberkahan yang panjang lintas generasi.
Lebih dari itu, kisah ini juga mengajarkan bahwa keikhlasan dalam menjaga diri dari hal-hal yang haram kadang dibalas Allah dengan jalan yang tak terduga. Tsabit datang hanya untuk meminta kehalalan sebuah apel, tetapi justru dipertemukan dengan jodoh salehah yang menjadi ibu dari seorang imam besar. Jalan hidup yang penuh keberkahan itu hanyalah buah dari sebuah ketakwaan kecil yang mungkin tampak sepele, namun nilainya besar di sisi Allah.
Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
Terpopuler
1
PMII Jakarta Timur Tuntut Keadilan Usai Kadernya Tertembak Peluru Karet hingga Tembus Dada
2
Demo Agustus 2025: Alarm Keras Suara Rakyat
3
Kapolda Metro Jaya Diteriaki Pembunuh oleh Ojol yang Hadir di Pemakaman Affan Kurniawan
4
PBNU Bersama 15 Ormas Islam Serukan Masyarakat Tenang dan Menahan Diri di Tengah Memanasnya Situasi
5
Khutbah Jumat: Kritik Santun, Cermin Cinta Tanah Air dalam Islam
6
Massa Aksi Jarah Markas Gegana dan Bakar Halte Senen yang Tak Jauh dari Mako Brimob Kwitang
Terkini
Lihat Semua