Syariah

Maulid Nabi Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Sab, 7 Oktober 2023 | 15:30 WIB

Maulid Nabi Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Foto ilustrasi (Freepik)

Bulan Rabiul Awal menjadi salah satu bulan yang memiliki sejarah istimewa dan tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah umat Islam. Pada bulan ini manusia terbaik sepanjang zaman dilahirkan. Ya, Nabi Muhammad saw dilahirkan tepat pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal.


Karena itu, tidak heran jika kaum muslimin seantero dunia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad di setiap bulan Rabiul Awal, mulai dari desa-desa hingga perkotaan dengan cara yang berbeda-beda namun memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama menghormati dan memuliakan hari kelahirannya.


Semua itu tidak lain untuk menunjukkan kebahagiaan mereka atas lahirnya manusia terbaik yang semua ucapan, tindakan dan perilakunya akan menjadi teladan bagi umatnya. Dan, sangat beruntung orang-orang yang mengikutinya, karena ia akan mendapatkan keselamatan, baik di dunia maupun akhirat.


Lantas, bagaimana hukum merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah? Berikut ini penulis akan menjelaskan hukum merayakan maulid nabi menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi sekaligus biografi singkatnya.


Maulid Menurut Imam as-Suyuthi

Berkaitan dengan hukum merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad, Imam Jalaluddin as-Suyuthi pernah ditanya perihal hukum tersebut. Bentuk pertanyaannya adalah sebagai berikut, “Bagaimana hukum merayakan maulid nabi di bulan Rabiul Awal menurut pandangan syariat? Apakah ia termasuk perbuatan yang terpuji atau tercela? Dan, apakah ia termasuk perbuatan yang berpahala atau tidak?


Kemudian Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad sebagaimana yang terjadi saat ini merupakan perbuatan bid’ah (baru) yang masuk dalam kategori bid’ah hasanah (bernilai baik). Sehingga orang-orang yang merayakannya atau hadir pada perayaan tersebut akan mendapatkan pahala dari Allah swt, karena mengagungkan kemuliaan nabi dan bahagia atas kelahirannya,


أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَة الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِي وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ ثُمَّ يَمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلىَ ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَافِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِي وَإِظْهَارِ الفَرْحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ


Artinya: “Hukum asal pelaksanaan maulid nabi, yang mana perayaan ini adalah berkumpulnya manusia, membaca Al-Qur’an, membaca kisah-kisah Nabi Muhammad pada permulaan perintah nabi, serta kejadian-kejadian luar biasa saat beliau dilahirkan, kemudian mereka menikmati hidangan yang disajikan dan kembali pulang ke rumah masing-masing tanpa ada tambahan lainnya merupakan perbuatan baru (bid’ah) yang dinilai baik (hasanah). Orang yang merayakannya akan mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat pemuliaan terhadap keagungan nabi dan menunjukkan kebahagiaan atas kelahirannya yang mulia.” (Imam as-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi fil Fiqh wa ‘Ulumit Tafsir wal Hadits wal Ushul wa Sairil Funun, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2000], juz I, halaman 181).


Dalam fatwa ini, Imam as-Suyuthi menghukumi perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad bagian dari bid’ah hasanah, yaitu perbuatan baru yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah dan para sahabat, hanya saja nilai-nilai dan kandungan yang ada di dalamnya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran nabi. Jadi, bid’ah hasanah seperti ini boleh dilakukan dan orang-orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala.


Lebih lanjut, ulama yang hidup pada abad kesembilan Hijriah tersebut juga menjelaskan bahwa sejarah adanya seremonial perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad sebagaimana yang terjadi saat ini bermula dari penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, salah seorang raja yang saleh dan taat dalam menjalankan agama dan berpaham Ahlussunnah wal Jamaah.


Setiap tanggal 12 Rabiul Awal, Raja Mudhaffar selalu mengundang banyak orang untuk hadir di kerajaan, kemudian ia memberikan jamuan yang sangat banyak kepada semua undangan saat itu. Semua itu ia lakukan dalam rangka untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw,


وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ اِرْبِل الَملِكُ الْمُظَفَّر أَبُوْ سَعِيْد كُوْكْبَرِي بِنْ زَيِنِ الدِّيْنِ عَلِي اِبْنِ بَكْتَكينْ أَحَدُ الْمُلُوْكِ الْأَمْجَادِ وَالكُبَرَاءِ الْأَجْوَادِ وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ، وَهُوَ الَّذِي عَمَّرَ الجَامِعَ الْمُظَفَّرِي بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ


Artinya, “Orang yang pertama kali mengadakan seremonial itu (maulid nabi) adalah penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan. Dia juga memiliki rekam jejak yang bagus. Dan, dia lah yang meneruskan pembangunan Masjid al-Mudhaffari di kaki gunung Qasiyun.” (Imam as-Suyuthi, 182).


Dari sinilah awal mula tersebarnya perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad di seluruh dunia, dan terus menyebar hingga saat ini, serta terus diperingati dalam setiap tahunnya, sebagai bukti cinta dan hormat atas kelahiran manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad saw.


Biografi Singkat Imam as-Suyuthi

Imam Jalaluddin as-Suyuthi merupakan ulama yang berqidah Ahlussunnah dan bermazhab Syafi’iyah yang lahir pada pertengahan abad kedelapan Hijriah. Tepatnya, ia lahir  setelah Maghrib malam Ahad pada permulaan bulan Rajab tahun 849 H di Kota Kairo, ibu kota Mesir. Ia wafat pada malam Jumat tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H.


Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mausu’atul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Imam as-Suyuthi bernama lengkap Abdurrahman bin Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin bin al-Fakhr Utsman bin Nazdiruddin Muhammad bin Saifuddin Khudr bin Najmuddin Abu Shalah Ayyub bin Nashiruddin Muhammad bin Himam.


perjalanan keilmuan Imam as-Suyuthi dimulai sejak usianya yang masih sangat kecil. Saat itu semangat untuk mendapatkan ilmu sangat tampak dari dirinya. Ia terlahir menjadi sosok yang haus akan ilmu pengetahuan, sehingga waktu-waktunya ia habiskan untuk belajar sejak usianya yang masih kecil.


Setelah tumbuh dewasa, ia melanjutkan rihlah keilmuannya dengan berguru kepada para ulama saat itu, seperti Imam Jalaluddin al-Mahalli, al-Kafiji, Ibrahim bin Abdul Jabbar, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan ulama-ulama lainnya. Di bawah bimbingan ulama tersohor tersebut, ia tumbuh menjadi sosok yang haus akan ilmu pengetahuan. Semua materi-materi yang disampaikan oleh guru-gurunya berhasil ia hapal semuanya dengan sempurna.


Setelah perjalanan panjang ia tempuh untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, akhirnya ia sukses dalam menuntut ilmu. Ia menjadi ulama yang sangat alim. Bahkan ia menjadi orang yang paling alim tentang ilmu fiqih dan hadits pada masa itu, sebagaimana disebutkan:


كَانَ عَالِمًا شَافِعِيًّا مُؤَرِّخًا أَدِيْبًا وَكَانَ أَعْلَمَ أَهْلِ زَمَانِهِ بِعِلْمِ الْحَدِيْثِ وَفُنُوْنِهِ وَالْفِقْهِ وَاللُّغَةِ


Artinya, “As-Suyuthi merupakan ulama yang sangat alim, bermazhab Syafi’i, ahli sejarah, pribadi yang sopan, dan ia merupakan paling alimnya ilmu hadits dan cabang-cabangnya, ilmu fiqih dan bahasa pada masa itu.” (Lihat, Mausu’atul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz I, halaman 355).


Tidak hanya itu, Imam Jalaluddin as-Suyuthi merupakan ulama yang sangat produktif dalam menulis sebuah karya. Ada banyak kitab karyanya yang terus dikaji hingga saat ini, bahkan disebutkan bahwa jumlah kitab karyanya mencapai 500 karya, di antaranya adalah (1) Al-Itqan fi Ulumil Qur’an; (2) Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur; (3) Asrarut Tanzil; (4) al-Hawi lil Fatawi; (5) Al-Muhadzab fima Waqa’a fil Qur’an minal I’rab; (6) Al-Iklil fis Tinbathit Tanzil; (7) At-Thibbun Nabawi; (8) Fathul Jalil lil ‘Abdiz Dzalil; (9) Ham’ul Hawami’; (10) Kasyful Ghutta’ fi Rijalil Muwattha’; dan masih banyak lagi karya-karya Imam as-Suyuthi lainnya.


Demikian penjelasan perihal perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad atau maulid perspektif Imam Jalaluddin as-Suyuthi, sekaligus biografi singkatnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.