Syariah

Memandang HAM dalam Perspektif Islam

Kam, 14 September 2023 | 13:00 WIB

Memandang HAM dalam Perspektif Islam

HAM dalam Islam. (Foto: NU Online/Freepik)

Pembahasan mengenai HAM akan selalu relevan dari masa ke masa sebagaimana isu kemanusiaan lainnya, mengingat HAM merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia karena ia seorang manusia. Lebih mendasar lagi, dengan sebuah hak maka seseorang boleh melakukan atau memiliki sesuatu. HAM dapat mewujud berupa norma legal yang membantu dan melindungi manusia dari pelanggaran hukum, sosial maupun politik.


Merujuk kepada definisinya, HAM menurut Miriam Budiardjo, adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya. Sedangkan menurut Eleanor Roosevelt, HAM adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir yg melekat pada esensinya sebagai manusia. (Nurliah Nurdin & Astika Ummy Athahira, Ham, Gender dan Demokrasi; sebuah tinjauan teoritis dan praktis, Jawa Tengah: Sketsa Media, cetakan pertama, 2022, halaman 20).


HAM memiliki karakteristik seperti bersifat umum dan berlaku bagi setiap manusia secara setara, tidak dapat dicabut, berkaitan dengan hak-hak lainnya, keberadaannya dilindungi oleh hukum internasional dan juga hukum nasional yang berlaku di setiap negara.


Cakupan HAM meliputi hak atas pelayanan, kebebasan dari kondisi-kondisi tertentu seperti perbudakan, penyiksaan dan lain sebagainya. HAM juga meliputi kebebasan beraktivitas dan berekspresi, selain itu mencakup perlindunagan bagi kelompok rentan seperti difabel, perempuan, anak-anak, pengungsi dan lain sebagainya.


Selanjutnya HAM memiliki beberapa prinsip yang banyak diimplementasikan di setiap perjanjian internasional dalam cakupan hak-hak yang lebih luas. Di antaranya adalah sebagai berikut.
 

  1. Prinsip Kesetaraan. Artinya secara fundamental seluruh manusia terlahir dengan memiliki kesetaraan yang sama dalam HAM.
  2. Prinsip Diskriminasi. Maksudnya adalah pelarangan terhadap tindakan diskriminasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan diskriminasi langsung terjadi pada perlakuan secara berbeda dari yang lainnya. Sedangkan diskriminasi tidak langsung terjadi misalnya pada dampak dari hukum. Contoh lainnya adalah pembatasan pada hak kehamilan akan berpengaruh lebih besar kepada perempuan daripada kepada laki-laki. Beberapa tindakan diskriminatif lainnya sering terjadi pada beberapa kasus seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan.
  3. Kewajiban positif dalam melindungi hak-hak tertentu. Mengenai prinsip ini, maka sebuah negara memiliki kewajiban memastikan terpenuhinya hak dan kebebasan warga negaranya. Tentunya kebebasan ini diiringi pembatasan tertentu. 


HAM dalam Islam

Islam sebagai agama yang komprehensif dan memiliki nilai-nilai yang universal sangat menjaga hak-hak orang-orang muslim. Terkait dengan HAM yang upayanya untuk memuliakan manusia, Allah telah memuliakan manusia sebagaimana sabda-Nya dalam Al-Qur'an dalam surah Al-Isra ayat 70:


وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا


“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra’: 70)


Sementara dalam hadis, terdapat kisah ketika Rasulullah saw menegur Abu Dzar karena memanggil Bilal dengan panggilan “Wahai anak orang hitam”, sebab ibunya yang berkulit hitam. Kisah tadi dijelaskan oleh Syekh Mushtafa al-Buga dalam catatannya terhadap hadis riwayat al-Bukhari, yaitu:


عَنْ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّبِالرَّبَذَةِ وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ وَعَلَى غُلَامِهِ حُلَّةٌ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ


Dari al-Ma’rur ibn Suwayd berkata: “Aku bertemu Abu Dzar di Rabadzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: ‘Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi saw menegurku: Wahai Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu masih memiliki (karakter) jahiliyyah. Saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Maka siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya) maka jika dia makan berilah makanan seperti yang dia makan, bila dia berpakaian berilah seperti yang dia pakai, janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.’” (HR al-Bukhari).


Lebih spesifik, Nabi Muhammad saw dalam riwayat yang disampaikan Imam Ahmad, menegaskan dalam khutbah pada hari Tasyriq, tentang kesetaraan dan tidak boleh adanya diskriminasi berasaskan perbedaan ras dan warna kulit. Riwayat tersebut berbunyi:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَأَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلَّا بِالتَّقْوَى


“Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu, dan bapak kalian satu. Ingat! orang Arab tidak lebih mulia dibanding orang non-Arab, dan orang non-Arab tidak lebih mulia atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak ada kelebihan bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan.” (Hadis riwayat Imam Ahmad)


Selanjutnya, dalam Islam, HAM akan diklasifikasi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) hak dasar (dharuriy). Maksudnya adalah hak yang apabila dilanggar maka akan membuat manusia kehilangan eksistensinya. 2) hak sekunder (hajiy), yaitu hak-hak yang apabila tidak dipenuhi maka seorang manusia akan kehilangan hak yang bersifat elementer seperti sandang pangan yang layak. 3) hak tersier (tahsiniy), yaitu hak yang tingkatannya di bawah kedua hak sebelumnya. 


HAM dalam Islam mengacu kepada al-dharuriyat al-khams atau lima hal pokok yang harus dijaga demi terciptanya kemaslahatan manusia di dalam urusan agama maupun dunia. Acuan ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Syathibi dalam al-Muwafaqat (Dar Ibn ‘Affan, cetakan pertama, 1997, jilid I, hal. 5):


هذه الشريعة المعصومة ليست تكاليفها موضوعة حيثما اتفق لمجرد إدخال الناس تحت سُلطة الدين، بل وُضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا، وروعي في كل حُكم منها: إما حفظ شيء من الضروريات الخمس: الدِّينُ، والنفس، والعقل، والنسل، والمال، التي هي أسس العمران المرعية في كل ملة، والتي لولاها لم تجر مصالح الدنيا على استقامة، ولفاتت النجاة في الآخرة. وإما حفظ شيء من الحاجيات؛ كأنواع المعاملات، التي لولا ورودها على الضروريات لوقع الناس في الضيق والحرج. وإما حفظ شيء من التحسينات، التي ترجع إلى مكارم الخلاق ومحاسن العادات. وإما تكميل نوع من النواع الثلاثة بما يُعين على تحققه.


Artinya, “Hukum Syariah yang infalibel ini tidak diberlakukan di mana pun supaya hanya untuk menjadikan orang-orang berada di bawah otoritas agama, melainkan diimplementasikan untuk mencapai tujuan hukum syar’i dalam menegakkan kemaslahatan mereka baik dalam segi agama maupun kehidupan dunia, dan yang diperhatikan di setiap hukumnya adalah: Adakalanya untuk memelihara sesuatu dari lima kebutuhan azasi, yaitu 1) menjaga agama, 2) menjaga diri, 3) menjaga akal, 4) memelihara keturunan, dan 5) menjaga harta, yang mana merupakan fondasi peradaban yang diperhatikan dalam setiap agama, yang tanpanya kepentingan dunia ini tidak akan tegak , dan keselamatan di akhirat tidak mungkin terjadi. Adakalanya menjaga beberapa kebutuhan; Seperti jenis-jenis transaksi atau muamalah, yang jika tidak dipenuhi maka orang-orang akan terjerumus dalam kesusahan dan kesulitan. Adakalanya kebutuhan yang bersifat tahsiniyyat, yang kembali pada karakter dan kebiasaan yang baik. Atau adakalanya kebutuhan yang melengkapi salah satu dari ketiga jenis di atas supaya implementasinya tercapai.”


Merujuk kepada Putusan Musyawarah Nasional Alim Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama pada 17-20 November 1997 di Nusa Tenggara Barat terkait Hak Asasi Manusia, terdapat penjelasan rinci mengenai hak-hak asasi dalam Islam, yang terimplementasikan dalam al-dharuriyat al-khams

 
  1. Hifz al-Din, atau menjaga agama berarti negara memberikan jaminan berupa hak umat Islam untuk mempertahankan agama dan kepercayaannya dan dan melarang pemaksaan suatu agama terhadap agama lain. 
  2. Hifz al-Nafs, atau menjaga diri berarti memberikan jaminan hak setiap jiwa manusia untuk tumbuh dan berkembang dengan selayaknya. Islam dalam kondisi seperti ini menuntut  keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar, lapangan kerja, kebebasan dan keamanan, kebebasan dari penindasan.
  3. Hifz al-‘Aql atau menjaga akal berarti memberikan jaminan berupa kebebasan berpendapat baik dalam forum bebas maupun forum yang bersifat ilmiah. Dalam hal ini misalnya, Islam melarang penggunaan ekstasi, meminum beralkohol, dan lain-lain yang berimplikasi pada pengrusakan akal.
  4. Hifz al-Nasl atau menjaga keturunan adalah jaminan untuk setiap individu demi perlindungan keturunannya. Dalam hal ini, Islam melarang seks bebas, perzinahan, homoseksual karena bertentangan dengan azas ini.
  5. Hifz al-Mal atau menjaga harta bertujuan untuk menjamin kepemilikan barang, properti, serta larangan perampasan hak milik orang lain seperti pencurian, korupsi, monopoli, dan lain sebagainya.


Secara prinsip, kelima kebutuhan asasi (al-dharuriyat al-khams) di atas sangat relevan dan berjalan beriringan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM). Hak-hak ini tentunya berlaku bagi setiap muslim, dengan menjamin kesetaraan, tidak adanya tindakan diskriminatif dalam hak-hak yang harusnya didapat karena suatu perbedaan berupa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa, warna kulit, mazhab, pendapat politik dan lain sebagainya.