Syariah

Mengenal Akad Salam dan Rukun Syaratnya

NU Online  ·  Jumat, 18 Oktober 2024 | 22:00 WIB

Mengenal Akad Salam dan Rukun Syaratnya

Akad salam, rukun dan syaratnya (freepik).

Akad salam atau jual beli salam merupakan salah satu jenis transaksi yang dikenal dalam ekonomi Islam.
 

Praktik dari jual beli ini adalah dengan melakukan transaksi jual beli yang barangnya masih berupa pesanan yang mana pembayarannya dilakukan di awal, sedangkan barangnya akan diserahkan atau dikirimkan di kemudian hari sesuai kesepakatan dari penjual dan pembeli.
 

Dengan kata lain, salam adalah jual beli barang yang ditangguhkan penyerahannya dengan pembayaran yang dilakukan secara tunai di awal. 
 

Dalil Akad Salam

Dalam beberapa literatur disebutkan, jual beli salam disebut juga dengan jual beli salaf. Istilah jual beli salaf banyak digunakan pada masa-masa awal Islam, yakni di masa Nabi Muhammad saw. Hal ini menunjukkan bahwa praktik jual beli ini telah dijalankan oleh Nabi Muhammad dan hukumnya dibolehkan.
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menyebutkan, praktik jual beli salam telah disyariatkan dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Adapun dalil dari Al-Qur’an mengenai transaksi salam dijelaskan dalam ayat utang:
 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ
 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya.” (QS Al-Baqarah: 282).
 

Ibnu Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu yang telah ditentukan telah dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan Dia mengizinkannya.” ([Damaskus, Darul Fikr: 1433 H), juz V, halaman 3602).
 

Adapun dalil dari sunnah, yaitu riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw tiba di Madinah, sementara penduduk Madinah melakukan akad salam untuk hasil pertanian yang akan dipanen satu, dua, atau tiga tahun kemudian. Beliau bersabda:
 

 من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم إلى أجل معلوم (مُتَّفَق عليه)
 

Artinya: “Barangsiapa melakukan akad salam dalam suatu barang, hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan waktu penyerahan yang jelas” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 

Adapun dalil dari ijma’ yaitu sebagaimana statemen Ibnu al-Mundzir: “Kami mendapati kesepakatan (ijma’) dari semua ulama yang kami kenal bahwa akad salam diperbolehkan.” Ini karena masyarakat sangat membutuhkannya. (Az-Zuhaili, V/3603).
 

Pada masa sekarang, praktik jual beli salam lumrah terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, yakni dengan menggunakan aplikasi jual beli online seperti shopee, tokopedia, lazada, dan lain sebagainya yang pembayarannya dilaksanakan di awal, dan barangnya datang di kemudian hari.
 

Rukun Akad Salam

Pembeli dalam akad salam disebut sebagai rabbus salam atau al-muslim, sementara penjualnya disebut al-muslam ilaih, dan barang yang diperjualbelikan disebut al-muslam fih, sedangkan harga yang dibayarkan disebut ra’su malis salam (modal salam). (Az-Zuhaili, V/3604).
 

Adapun rukun salam menurut selain mazhab Hanafi ada tiga seperti pada jual beli biasa, yakni:

  1. pelaku akad (al-muslim dan al-muslam ilaih),
  2. objek akad (ra’su malis salam dan al-muslam fih),
  3. lafal akad (ijab dan qabul). (Az-Zuhaili, V/3604).
 

Syarat Akad Salam

Sementara syarat-syarat akad salam menurut mazhab Syafi’i adalah sebagai berikut:

  1. Pelaku akad (al-‘aqidain) harus memenuhi syarat yang sama seperti pada akad jual beli biasa, yaitu harus baligh, berakal, dan memiliki kemampuan memilih (ikhtiyar).

    Namun, akad salam sah dilakukan oleh orang buta, karena barang yang dijual (muslam fih) adalah sesuatu yang dideskripsikan dalam tanggungan (utang), sedangkan dalam jual beli biasa, penjualan oleh orang buta tidak sah karena syaratnya adalah melihat barang yang dijual.
     
  2. Syarat ijab dan qabul (shighat) dalam salam sama dengan ijab qabul dalam jual beli biasa, yaitu kesatuan majelis (tempat akad) dan kesesuaian antara penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul).

    Namun, dalam akad salam harus menggunakan lafal 'salam' atau 'salaf', tidak sah menggunakan lafal lain.

    Selain itu, akad salam tidak boleh disertai dengan khiyar syarat, karena akan menunda penyerahan harga di majelis akad, yang mana hal ini dilarang dalam akad salam.
     
  3. Modal (ra'sul mal/pembayaran) dalam akad salam harus diketahui jumlah dan sifatnya oleh kedua belah pihak, dan harus diserahkan di majelis akad sebelum kedua belah pihak berpisah secara fisik. Ini untuk mencegah terjadinya transaksi utang dengan utang, yang dilarang dalam Islam.
     
  4. Barang yang dijual (muslam fih) disyaratkan:

    a. Barang yang dijual harus dapat dideskripsikan dengan jelas sehingga tidak ada ketidakjelasan, dan kualitas barang di antara barang-barang sejenisnya perbedaannya hanya sedikit.

    b. Barang yang dijual harus diketahui jenis, kualitas, kuantitas, dan sifatnya oleh kedua belah pihak.

    c. Barang yang dijual tidak boleh campuran dari berbagai jenis yang berbeda, seperti campuran biji tanaman gandum dengan biji gandum, atau campuran parfum misk dengan ‘ambar, dan lainnya.

    d. Barang yang dijual harus berupa tanggungan (utang) yang belum ditentukan wujudnya, sehingga jika barangnya ditentukan atau ditetapkan, akad salam tidak sah.

    e. Barang yang dijual harus diserahkan sesuai jenis dan waktu yang telah ditentukan. Tidak diperbolehkan mengganti barang yang dijual dengan yang lain, seperti mengganti gandum dengan mentega, atau kain dengan besi. Akad salam juga tidak sah untuk barang yang biasanya sulit didapatkan pada waktu penyerahan, seperti anggur di musim dingin.

    f. Waktu penyerahan harus ditentukan dan diketahui dengan jelas. Tidak sah jika waktu penyerahan tidak jelas, seperti "sampai datangnya seseorang dari perjalanannya" atau "sampai waktu panen".

    g. .Tempat penyerahan harus ditentukan, jika tempat akad tidak cocok untuk penyerahan, atau jika pengiriman barang memerlukan biaya tambahan.


Dalam akad salam, kepemilikan barang (muslam fih) menjadi hak pembeli (rabbus salam) secara tangguh, dan kepemilikan modal (ra’sul mal) menjadi hak penjual (muslam ilaih) baik berupa barang tertentu maupun dalam tanggungan. Akad ini diperbolehkan sebagai keringanan (rukhshah) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun dengan syarat-syarat khusus yang tidak berlaku dalam akad jual beli biasa. (Az-Zuhaili, V/3625-3627).
 

Demikian beberapa penjelasan seputar akad salam. Dari penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa akad salam melihat prinsip-prinsip dasarnya, dapat dikorelasikan dengan jual beli online dalam beberapa aspek. Karena prinsip-prinsip dasar yang mengatur akad salam mirip dengan beberapa mekanisme jual beli dalam platform online saat ini. Wallahu a’lam.

 

Ustadzah Arny Nur Fitri, Mahasantri Darus-Sunnah IIHS