Syariah

Mengenal Bendera Islam (III): Warna dan Tulisan di Dalamnya

Kam, 25 Oktober 2018 | 14:00 WIB

Mengenal Bendera Islam (III): Warna dan Tulisan di Dalamnya

Ilustrasi (via Wikipedia)

Warna atau Corak Bendera Islam

 
Publik saat ini banyak yang mengenal “bendera Islam” atau lebih tepatnya bendera perang kaum Muslimin di masa lalu sebagai bendera berwarna hitam yang mereka sebut ar-Râyah dan bendera berwarna putih yang disebut al-Liwâ’. Telah penulis bahas sebelumnya bahwa sebenarnya ar-Râyah dan al-Liwâ’, bahkan al-‘Alam atau al-Uqab menurut sebagian ulama adalah satu hal yang sama persis, sedangkan menurut sebagian ulama lainnya memang berbeda akan tetapi semuanya adalah bendera yang digunakan dalam konteks peperangan. 
 
Berbicara tentang warna ini, sebenarnya tidak ada warna khusus yang ditentukan oleh Rasulullah sebagai warna bendera kaum muslimin. Hanya saja, ada beberapa warna yang memang dipakai saat itu, yakni sebagai berikut:
 
Imam at-Turmudzi, Ibnu Majah dan lain-lain mencatat hadits Jabir yang menyatakan bahwa ketika peristiwa penaklukan kota Makkah Rasulullah memakai al-Liwâ’ berwarna putih dan ar-Râyah berwarna hitam yang berbentuk persegi empat. (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 126). Inilah yang kemudian menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk membedakan antara al-Liwâ’ dan ar-Râyah beserta warnanya. Ini juga yang dikenal oleh publik saat ini melalui serangkaian artikel yang ditulis oleh para aktivis HTI di masa lalu. Bagi ulama yang menganggap dua istilah itu sama, berarti saat itu Rasulullah membawa dua bendera sekaligus dengan dua warna berbeda.
 
Baca juga:
Mengenal Bendera Islam (I): Nama-nama dan Fungsinya
Mengenal Bendera Islam (II): Siapa yang Berhak Membawanya?

Akan tetapi, warna hitam dan putih dalam hadits Jabir itu hanya merekam kejadian yang terjadi di saat penaklukan kota Makkah saja. Kenyataannya, Rasulullah juga mempunyai bendera (al-Liwâ’) berwarna abu-abu, seperti diceritakan oleh Mujahid berikut:
 
وقال جابر: دخل رسول الله مكة ولواؤه أبيض. وقال مجاهد: كان لرسول الله - صلى الله عليه وسلم - لواء أغبر
“Jabir berkata: Rasulullah memasuki kota Makkah sedangkan liwâ’-nya berwarna putih. Mujahid berkata: Rasulullah mempunyai liwâ’ berwarna abu-abu.” (Ibnu al-Mulaqqin, at-Taudlîh Lisyarh al-Jâmi’ as-Shahîh, Juz XVIII, halaman 103)
 
Bila bendera yang diredaksikan dengan istilah al-Liwâ’ pernah tercatat ada yang berwarna putih dan ada yang abu-abu, demikian juga dengan bendera yang diredaksikan dengan ar-Râyah. Riwayat berikut ini menceritakan beberapa warna Rayah:
 
التوضيح لشرح الجامع الصحيح
وعن الحارث بن حسان: رأيت النبي - صلى الله عليه وسلم - وإذا رايات سود، فقلت: من هذا؟ قالوا: عمرو بن العاصي قدم من غزاة، وعقد لبني سليم راية حمراء وللأنصار صفراء
“Dari al-Harits bin Hassan yang berkata: Saya melihat Nabi ﷺ dan saat itu ada beberapa Rayah berwarna hitam. Lalu saya berkata: [milik] siapa ini? Para sahabat berkata: Amr Bin Ash telah tiba dari peperangan. Rasulullah membuat Rayah berwarna merah bagi Bani Sulaim dan berwarna kuning bagi kaum Anshar.” (Ibnu al-Mulaqqin, at-Taudlîh Lisyarh al-Jâmi’ as-Shahîh, Juz XVIII, halaman 103)
 
Ar-Râyah juga tidak hanya berwarna hitam saja, melainkan juga ada yang berwarna putih yang terdapat sedikit warna hitam di dalamnya. Ibnu Hajar menceritakan hal ini sebagai berikut:
 
وَقِيلَ كَانَتْ لَهُ رَايَةٌ تُسَمَّى الْعقَابَ سَوْدَاءُ مُرَبَّعَةٌ وَرَايَةٌ تُسَمَّى الرَّايَةَ الْبَيْضَاءَ وَرُبَّمَا جُعِلَ فِيهَا شَيْءٌ أَسْوَدُ
“Dikatakan bahwa Rasulullah mempunyai Rayah yang disebut al-Uqâb, berwarna hitam persegi empat dan Rayah yang disebut Rayah Putih. Biasanya dalam warna putih itu dibuat sedikit warna hitam.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 127)
 
Jadi, warna bendera yang pernah dipakai oleh Rasul, baik untuk dirinya sendiri atau bagi para sahabat yang beliau tugaskan dan baik itu disebut dengan istilah ar-Râyah atau al-Liwâ’, tidaklah mempunyai warna khusus yang konsisten. Ini menjadi bukti bahwa simbol bendera ini bukanlah sesuatu yang baku seperti bendera pada umumnya, namun sebatas pembeda teknis yang dipakai saat peperangan. Lain perang lain pula warnanya, lain kelompok juga lain warnanya, tergantung apa yang tersedia saat itu. 
 
Demikianlah juga yang dipahami oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Terbukti ketika terjadi perang Shiffin antara pihak Ali dan Mu’awiyah, saat itu Ali bin Abi Thalib membuat bendera baru (Rayah) yang berwarna merah bertuliskan “Muhammad Rasulullah” tanpa kalimat tauhid. Sepanjang penelusuran penulis, bentuk seperti ini belum pernah tercatat dalam sejarah di masa Rasul. Selain itu beliau juga membawa bendera berwarna hitam. (Ibnu al-Mulaqqin, at-Taudlîh Lisyarh al-Jâmi’ as-Shahîh, Juz XVIII, halaman 103) 
 
Andai betul ada bendera baku yang bisa disebut “bendera Islam” atau “bendera Rasul”, maka tentu tak akan ada banyak versi warna. Tidak mungkin Rasulullah kadang memakai warna hitam, putih, abu-abu, dan tak mungkin pula beliau memberikan warna merah dan kuning untuk kalangan sahabat. Tak mungkin pula Ali Bin Abi Thalib berkreasi memakai bendera warna merah bertuliskan “Muhammad Rasulullah.” Bila simbol semacam ini dianggap sebagai simbol Islam yang sakral, tentu hanya satu saja sebagai simbol persatuan kaum muslimin.
 

Tulisan di Bendera

 
Pembahasan terakhir, apakah bendera perang yang digunakan Rasulullah dan para sahabat punya ciri khas tulisan tertentu? Dalam hal ini ada sebuah riwayat tidak valid sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar berikut:
 
وَلِأَبِي الشَّيْخِ من حَدِيث بن عَبَّاسٍ كَانَ مَكْتُوبًا عَلَى رَايَتِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَسَنَدُهُ وَاهٍ
“Abu Syaikh mempunyai hadits dari Ibnu Abbas: Dalam bendera (Rayah) Rasulullah terdapat tulisan ‘La ilaha Ilallah Muhammad Rasulullah’. Adapun sanadnya amat lemah.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 127).
 
Sebagaimana dijelaskan pakar hadits paling otoritatif tersebut, cerita bahwa dalam bendera Rasulullah bertuliskan kalimat tauhid tidaklah valid sehingga tidak bisa dipastikan kebenarannya. Dari berbagai uraian tentang bendera sejak awal artikel ini, yang valid hanya disebutkan tentang warna saja yang beraneka ragam. Dengan demikian, yang bisa dipastikan adalah bahwa bendera perang Rasulullah hanya merupakan kain kosong tanpa tulisan tertentu. Adapun bendera yang dipakai oleh Khalifah keempat, maka bertuliskan “Muhammad Rasulullah” saja, itu pun hampir bisa dipastikan memakai gaya tulisan (khath) Kufi sebagai gaya tulisan yang dikenal saat itu.
 
Selanjutnya, berbagai kekhalifahan tampaknya mempunyai bendera versi masing-masing sebagai simbol negara atau simbol komando dalam perang. Hal ini murni dikembalikan pada kesepakatan bersama, tak ada satu pun himbauan atau petunjuk dari Rasulullah sehingga bentuk ini bukanlah hal yang secara syar’i dianggap baku. Dari hal ini pula dapat diketahui bahwa bendera Negara Indonesia, Merah Putih, juga bendera yang dapat diakui sepenuhnya dalam ajaran Islam sebagai simbol yang sah dan tak bertentangan dengan sejarah Islam. 
 
Dengan berbagai ulasan ini, kita dapat mengenal secara tepat bagaimana sebenarnya yang disebut “bendera Islam” itu. Masyarakat juga dapat membedakan mana bendera yang betul-betul sunnah untuk dipakai serta dalam konteks apa memakainya dan mana bendera yang sejatinya menjadi simbol kelompok tertentu tetapi mendompleng pada nama Rasul. Wallahu a'lam.
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Tim Ahli Aswaja NU Center Jawa Timur.