Syariah

Mengenal Bendera Islam (I): Nama-nama dan Fungsinya

Kam, 25 Oktober 2018 | 10:45 WIB

Mengenal Bendera Islam (I): Nama-nama dan Fungsinya

Ilustrasi (via n-num.com)

Akhir-akhir ini marak pembahasan tentang topik bendera Islam yang dianggap simbol umat Islam seluruhnya. Namun, tampaknya informasi yang sampai pada masyarakat hanya sepotong-sepotong sehingga beberapa orang meyakini bahwa “bendera Islam” itu mempunyai bentuk, warna dan motif tertentu dan dianggap baik untuk dibawa ketika melakukan aksi-aksi demonstrasi atau pada acara tertentu sebagai syiar Islam. Padahal bila kita membaca sejarah, tidak demikian ceritanya. Bagaimana sebenarnya bendera Islam ini? Dan bahkan pertanyaan intinya apakah benar agama Islam mempunyai bendera khusus? 
 
Untuk menjawab banyak pertanyaan seputar bendera ini, berikut penulis sajikan secara ringkas dalam beberapa poin bahasan yang terbagi dalam tiga artikel bersambung sebagaimana berikut:
 

Nama-nama Bendera Islam

 
Ada beberapa nama yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai kata yang menunjukkan makna bendera, yakni al-Liwâ’, ar-Râyah, al-‘Alam dan al-Uqâb. Dalam keterangan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Liwâ’, ar-Râyah dan al-‘Alam adalah satu hal dengan sebutan berbeda. Beliau berkata:
 
اللِّوَاءُ بِكَسْرِ اللَّامِ وَالْمَدِّ هِيَ الرَّايَةُ وَيُسَمَّى أَيْضًا الْعَلَمُ
Al-Liwâ’ dengan huruf lam yang dibaca kasrah dan waw panjang adalah ar-Râyah (bendera) dan disebut juga dengan al-‘Alam.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 126)
 
Indikasi kesamaan makna antara al-Liwâ’ dan ar-Râyah menurut Ibnu Hajar juga dapat diketahui dari redaksi pernyataan Rasul yang dalam satu redaksi mengatakan: “Aku akan memberikan ar-Râyah pada seorang lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”, tetapi dalam redaksi lainnya mengatakan: “Aku akan menyerahkan al-Liwâ’ pada seorang lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” Menurutnya, hal ini mengindikasikan bahwa al-Liwâ’ dan ar-Râyah adalah sama. Selain ketiga nama di atas juga ada istilah al-Uqâb, yakni bendera persegi empat yang berwarna hitam. (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 127)
 
Namun, beberapa ulama membedakan antara al-Liwâ’ dan ar-Râyah. Misalnya Abu Bakr Ibnu al-Arabi yang menyatakan:
 
أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ اللِّوَاءُ غَيْرُ الرَّايَةِ فَاللِّوَاءُ مَا يُعْقَدُ فِي طَرَفِ الرُّمْحِ وَيُلْوَى عَلَيْهِ وَالرَّايَةُ مَا يُعْقَدُ فِيهِ وَيُتْرَكُ حَتَّى تَصْفِقَهُ الرِّيَاحُ وَقِيلَ اللِّوَاءُ دُونَ الرَّايَةِ وَقِيلَ اللِّوَاءُ الْعَلَمُ الضَّخْمُ وَالْعَلَمُ عَلَامَةٌ لِمَحلِّ الْأَمِيرِ يَدُورُ مَعَهُ حَيْثُ دَارَ وَالرَّايَةُ يَتَوَلَّاهَا صَاحِبُ الْحَرْبِ
Al-Liwâ’ adalah bendera yang diikat di ujung tombak dan digerak-gerakkan sedangkan ar-Râyah adalah bendera yang diikat di ujung tombak lalu dibiarkan sehingga berkibar oleh angin. Katanya, al-Liwâ’ berbeda dengan ar-Râyah. Dikatakan juga, al-Liwâ’ adalah al-‘Alam (bendera) yang besar. Al-‘Alam adalah penanda lokasi Amir (Penguasa) yang berpindah ke mana pun Ia pergi. Sedangkan ar-Râyah dipegang oleh pemimpin perang.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 126).
 
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa para ulama dan demikian pula para sahabat periwayat hadits berbeda pendapat dalam menjelaskan al-Liwâ’ dan ar-Râyah beserta fungsinya masing-masing. Yang jelas, kesemuanya adalah bendera yang dipakai oleh Rasulullah dan para sahabat.
 

Konteks Pemakaian Bendera Islam

 
Terlepas apa pun namanya, kapankah bendera digunakan? Apakah sewaktu dalam keadaan normal sehari-hari ataukah ketika ada momen tertentu di mana umat Islam berkumpul? Jawabannya tidak demikian. Sepanjang penelusuran penulis, Rasulullah atau para sahabat tidak memakai bendera dalam acara-acara yang menyedot konsentrasi massa, para ulama pun tidak menyarankan hal itu sehingga wajar apabila banyak umat Islam yang merasa asing dengan bendera ini. Bendera-bendera itu hanya digunakan dalam konteks ketika berada di medan perang saja, ada yang diikat di ujung tombak dan ada yang dipakai di atas kepala pemimpin perang saat itu dan ada pula yang dikibarkan di lokasi Amir (Pejabat negara) yang ikut serta memantau peperangan.
 
Syaikh Ibnu Batthal, salah satu pakar hadits penyarah Shahih Bukhari, mengatakan:
 
قال: (لأعطين الراية) فعرفها بالألف واللام يدل أنها كانت من سنته - (صلى الله عليه وسلم) - فى حروبه فينبغى أن يسار بسيرته فى ذلك
“Redaksi ‘Aku akan memberikan ar-Râyah menggunakan awalan alif dan lam menunjukkan bahwa memakai bendera termasuk tradisi Nabi dalam peperangan-peperangannya. Maka seyogianya jejak beliau diikuti dalam hal itu.” (Ibnu Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz V, halaman 141)
 
Demikian juga Imam Ibnu Hajar menjelaskan:
 
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ اسْتِحْبَاب اتِّخَاذ الألوية فِي الحروب وَأَنَّ اللِّوَاءَ يَكُونُ مَعَ الْأَمِيرِ أَوْ مَنْ يُقِيمُهُ لِذَلِكَ عِنْدَ الْحَرْبِ
“Dalam beberapa hadits ini ada kesunnahan memakai bendera dalam peperangan-peperangan dan bahwa al-Liwâ’ dipegang oleh Amir (pemimpin negara) atau orang yang dia posisikan untuk memimpin ketika perang.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 127).
 
Dalam hal ini, kita bisa tahu bahwa tradisi membawa-bawa “bendera Islam” di luar konteks peperangan bukanlah hal yang diajarkan oleh Rasulullah ataupun dicontohkan para sahabat. Pemakaian bendera di luar konteks yang disunnahkan justru akan membuat bendera tersebut berubah fungsi menjadi simbol lain bagi kelompok pembawanya, tak sekadar sebagai “simbol Islam” semata sebagaimana asalnya. Apalagi bila bentuknya tidak merepresentasikan apa yang menjadi tradisi Rasulullah, sebagaimana nanti akan dibahas pada bagian selanjutnya.
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Tim Ahli Aswaja NU Center Jawa Timur
 
Bersambung ....