Syariah

Munas NU Bahas Kontrak Politik Pemimpin dan Rakyat

Rabu, 5 Februari 2025 | 21:00 WIB

Munas NU Bahas Kontrak Politik Pemimpin dan Rakyat

Kontrak politik pemimpin dan rakyat (NU Online).

Kontrak politik antara pemimpin dan rakyat telah menjadi bahan perbincangan penting dalam dunia politik, baik di kalangan pemikir Barat maupun pemikir Islam. Dalam konteks sosial-politik Islam, hubungan ini diatur dalam fiqih melalui konsep bai'at
 

Pada Musyawarah Nasional NU pekan ini, salah satu topik yang akan dibahas adalah bagaimana bai’at sebagai kontrak sosial-politik dapat berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial-politik di negara, serta bagaimana konsep ini dapat diintegrasikan dalam sistem pemerintahan modern.
 

NU sendiri pada Munas tahun 1997 pernah membahas secara implisit kontrak sosial-politik alias baiat kepada pemimpin. Dalam forum Munas tersebut, NU menegaskan pentingnya sebuah sistem kepemimpinan yang mengedepankan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan, kejujuran, dan kebersamaan (syura), yang merupakan bagian dari baiat (Ahkamul Fuqaha, halaman 775). 
 

 

Baiat bukan hanya sekadar perjanjian antara pemimpin dan rakyat, tetapi juga merupakan amanat yang mengikat kedua belah pihak untuk menjaga hak dan kewajiban antara keduanya. Seperti yang dijelaskan dalam beberapa dalil Al-Qur’an dan hadits, pemimpin memiliki kewajiban untuk menjaga hak-hak rakyat dan menegakkan keadilan, sementara rakyat juga berkewajiban untuk taat kepada pemimpin selama kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
 

Di antara beberapa landasan yang digunakan dalam putusan Munas 1997 adalah ayat Qur’an surat An-Nisa ayat ke-58:
 

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
 

Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” 
 

Selain itu, beberapa hadits yang melandasi putusan tersebut berkaitan dengan kontrak sosial-politik atau bai'at. Riwayat-riwayat tersebut adalah:
 

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
 

Artinya, “Barangsiapa yang meninggal, tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal pada pemimpin), ia mati secara jahiliyah.” (HR. Muslim).
 

إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قِيْلَ وَكَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
 

Artinya, “Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah masa kehancurannya. Nabi ditanya: ‘Bagaimana caranya menyia-nyiakan amanat itu?’ Rasulullah menjawab: ‘Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya’.” (HR Al-Bukhari).
 

إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
 

Artinya, “Jika ada tiga orang bepergian, hendaklah mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpin.” (HR Abu Dawud).
 

Dalam konteks sosial-politik, bai’at mengandung makna sebagai kontrak yang mengikat rakyat untuk memberikan ketaatan kepada pemimpin, selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat atau mengarah pada kemaksiatan. Sebagai balasannya, pemimpin memiliki kewajiban untuk menegakkan kemaslahatan dan keadilan bagi rakyatnya.
 

Abu Zahrah menjelaskan, bai’at berarti ahlul halli wal aqdi, pemimpin militer, dan mayoritas umat Islam memberikan janji untuk mendengar dan taat kepada khalifah, baik dalam kondisi senang maupun susah, selama perintah tersebut tidak berupa kemaksiatan. 
 

Di sisi lain, pemimpin berkomitmen untuk menegakkan hukum, kewajiban agama, dan keadilan, serta menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam Kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnah Rasulullah saw. Abu Zahrah menjelaskan:
 

البيعة تعني أن اهل الحل والعقد والجنود وجماهير المسلمين يعطون الخليفةَ عهدا على السمع والطاعة في المنشط والمكره ما لم تكن معصية ، ويعطيهم العهدَ على أن يقيم الحدود والفرائض ، ويسير على سنة العدل وعلى مقتضى كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم

واصل البيعة هذا يتفق مع نظرية العقد الاجتماعي التي فرضها علماء العصر الحديث في أصل الدولة، فقد قرر جان جاك روسو الفرنسي و جو زولوك الانجليزي بأن الأصل في قيام الدولة هو عقد بين الحاكم والمحكوم على ان يقوم الحاكم بمصلحة الرعية في نظير طاعتها والتزامها بما تفرضها الحكومة من ضرائب

 

Artinya, “Baiat berarti bahwa ahlul halli wal aqdi, pemimpin militer, dan mayoritas umat Islam memberikan janji kepada khalifah untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan senang maupun sulit, selama perintah tersebut bukan suatu kemaksiatan. Sebagai balasannya, khalifah memberikan janji kepada mereka untuk menegakkan hukum, kewajiban-kewajiban agama, menegakkan keadilan, dan mengikuti tuntunan Kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnah Rasulullah saw.
 

Dasar dari konsep baiat ini sejalan dengan teori kontrak sosial yang diusulkan oleh para pemikir modern tentang asal-usul negara. Jean-Jacques Rousseau dari Prancis dan John Locke dari Inggris, misalnya, menyatakan bahwa asal mula berdirinya negara adalah sebuah kontrak antara penguasa dan rakyat. Dalam kontrak ini, penguasa bertanggung jawab untuk mengurus kepentingan rakyat, sementara rakyat wajib menaati penguasa dan mematuhi kewajiban, termasuk membayar pajak yang ditetapkan pemerintah.” (Tarikhul Madzahib Al-Islamiyah, juz I, halaman 91).
 

Pertanyaan lain yang menarik untuk dibahas adalah apakah bai’at bisa digantikan dengan kontrak politik lain yang mengandung tujuan yang sama. Dalam pandangan fiqih, bai’at memiliki nilai dan keistimewaan tersendiri karena merupakan bentuk kontrak yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. 
 

Namun, dalam konteks modern, bai’at bisa dianggap setara dengan bentuk kontrak sosial-politik lainnya yang diatur dalam sistem pemerintahan modern, seperti konstitusi atau perjanjian sosial yang mengikat antara pemerintah dan rakyat. Secara substantif, penjelasan ini dapat dilihat dari pemaparan Syekh Wahbah:
 

تنعقد الإمامة عند فقهاء الإسلام بوجهين: أحدهما: باختيار أهل الحل والعقد (أي بالبيعة أو الانتخاب) والثاني: بعهد الإمام من قبل أو يجعل شورى بين قوم. وروي عن الإمام أحمد وغيره: أنها تثبت بالقهر والغلبة، ولا تفتقر إلى العقد، وعبارة الحنفية في ذلك: تنعقد الخلافة باستيلاء رجل جامع للشروط على الناس وتسلطه عليهم كسائر الخلفاء بعد النبوة
 

Artinya, “Kepemimpinan menurut para fuqaha Islam dapat terwujud dengan dua cara: pertama, melalui pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (yaitu melalui baiat atau pemilihan), dan kedua, dengan penunjukan imam oleh imam sebelumnya atau melalui musyawarah di antara sekelompok orang.
 

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan lainnya bahwa imamah dapat terwujud dengan cara kekuasaan dan kemenangan, tanpa memerlukan suatu perjanjian. Menurut madzhab Hanafi, kekhalifahan dapat terbentuk ketika seorang pria yang memenuhi syarat menguasai masyarakat dan memimpin mereka, seperti halnya para khalifah setelah masa kenabian.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu​​​​, [Damaskus, Darul Fikr: t.t.] jilid VIII, halaman 449).
 

Pembahasan bai’at dan kontrak sosial-politik akan menjadi bagian penting dalam Munas NU. Setidaknya ada dua poin penting yang menjadi tujuan utama pembahasan topik ini. Pertama, tentang bagaimana fiqih memandang tujuan utama (maqashid) dari bai’at, yang tidak hanya berkaitan dengan kepemimpinan dalam konteks agama, tetapi juga sebagai fondasi legitimasi politik dan hubungan moral antara pemimpin dan masyarakat. 
 

Kedua, diskusi berkembang dengan mempertanyakan apakah bai’at, sebagai institusi tradisional yang sudah mengakar dalam tradisi fiqih Islam, bisa digantikan dengan kontrak politik lain yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kemaslahatan bersama, keadilan, dan kesejahteraan umat.
 

Akan seperti apa hasil pembahasan Munas NU topik ini, kita tunggu argumentasi dan keputusan yang diambil oleh peserta musyawarah dalam forum MUNAS Alim Ulama NU 2025 yang diselenggarakan pekan ini. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Universitas PTIQ Jakarta.