Munas NU Bahas Pencatatan Pernikahan di Dukcapil untuk Perkawinan Belum Terdaftar di KUA
Rabu, 5 Februari 2025 | 08:00 WIB
Muhammad Zainul Millah
Kolomnis
Pernikahan merupakan momen sakral yang menyatukan dua jiwa. Namun, tidak semua pasangan memilih untuk mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan akses, biaya, atau bahkan ketidaktahuan akan pentingnya pencatatan pernikahan.
Pernikahan yang tidak tercatat dapat menimbulkan berbagai permasalahan hukum dan sosial seperti kesulitan mengurus administrasi, akta kelahiran anak, warisan, perselisihan harta gono-gini, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya.
Untuk mengatasi hal tersebut, melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), pemerintah telah menyediakan layanan pencatatan pernikahan bagi pasangan yang belum tercatat di KUA, meliputi perubahan status perkawinan di KTP, penerbitan kartu keluarga (KK), termasuk pembuatan akta kelahiran anak.
Baca Juga
Khutbah Nikah, Hukum dan Contohnya
Komisi Bahtsul Masail Qonuniyah, Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2025 akan mendiskusikan sejumlah persoalan, termasuk di antaranya tentang perundang-undangan pencatatan nikah di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) yang tidak mengacu pada hasil isbat nikah.
Isu ini diangkat lantaran adanya regulasi yang tidak sinkron antara Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang syarat sahnya perkawinan, dan Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 dan Nomor 109 Tahun 2019 yang mengatur prosedur pencatatan nikah.
Dalam UU perkawinan tersebut tercantum syarat bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, serta menyebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan Permendagri yang mengatur pencatatan nikah memungkinkan pasangan untuk mendapatkan Kartu Keluarga (KK) meskipun pernikahannya belum tercatat secara resmi, melalui mekanisme Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Sayangnya peraturan tersebut belum memberikan kejelasan mengenai prioritas antara isbat nikah dan pencatatan administrasi di Dukcapil.
Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah, Idris Mas'udi mengatakan "Dukcapil, kalau ada yang memohon untuk dicatatkan anaknya sebagai pasangan suami istri, maka akan diberikan asalkan melampirkan SPTJM dan permohonannya, padahal Dukcapil tidak pernah memeriksa status pernikahannya. Dukcapil hanya memeriksa kelengkapan administrasi," seperti dilansir dalam NU Online.
Idris juga menyampaikan bahwa dalam Islam, Isbat Nikah Perlu Jadi Syarat Administratif di Dukcapil, keabsahan pernikahan sangat bergantung pada pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan, seperti ijab kabul, wali, dan saksi yang harus dipenuhi. Hal ini menuntut adanya regulasi yang lebih jelas untuk mengatur mana yang harus didahulukan: isbat nikah atau pencatatan administrasi di Dukcapil.
Dalam kajian fiqih klasik, pengakuan nikah dapat diterima dan ditetapkan manakala suami istri telah sepakat mengakuinya, dengan menjelaskan wali dan dua saksi adilnya. Karena nikah adalah hak suami istri, maka pengakuan nikah tersebut diterima asal keduanya sepakat.
Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami menjelaskan bahwa jika ada perempuan mengaku telah menikah dengan seorang laki-laki, dan dia juga membenarkannya, maka pengakuan tersebut diterima, bahkan meskipun wali menolaknya.
(وَيُقْبَلُ إقْرَارُ مُكَلَّفَةٍ بِنِكَاحٍ لِمُصَدِّقِهَا ) وَإِنْ كَذَّبَهَا وَلِيُّهَا ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ حَقُّ الزَّوْجَيْنِ فَيَثْبُتُ بِتَصَادُقِهِمَا كَالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ وَلَا بُدَّ مِنْ تَفْصِيلِهَا الْإِقْرَارَ فَتَقُولُ : زَوَّجَنِي مِنْهُ وَلِيِّي بِحُضُورِ عَدْلَيْنِ وَرِضَايَ إنْ كَانَتْ مِمَّنْ يُعْتَبَرُ رِضَاهَا
Artinya “(diterima pengakuan seorang perempuan mukallaf tentang pernikahannya dengan orang yang membenarkannya) meskipun walinya menolak; Karena pernikahan adalah hak kedua suami-istri, maka pengakuan itu dapat dikukuhkan dengan persetujuan keduanya, seperti halnya jual beli dan lainnya.
Dan perempuan tersebut harus memerinci pengakuannya, maka ia mengatakan: ‘Wali saya telah menikahkan saya dengannya di hadapan dua orang adil dan dengan persetujuan saya,’ jika dia termasuk perempuan yang dipertimbangkan persetujuannya.” (Hasyiyah Al-Bujairimi 'alal Manhaj [Beirut: Darul Fikr, 2017] juz III, halaman 339).
Adapun berkaitan dengan keputusan pemerintah, dalam pembahasan qadha (keputusan pengadilan) dijelaskan bahwa keputusan yang berdasarkan informasi palsu tidak menghalalkan hal-hal yang diharamkan, begitu pula sebaliknya.
Zainuddin Al-Malibari menjelaskan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan pada kebohongan hanya berlaku pada yang tampak di luar (zahir), sehingga keputusan tersebut tidak dapat menghalalkan yang haram, baik dalam urusan harta maupun pernikahan.
تَنْبِيْهٌ وَالْقَضَاءُ الْحَاصِلُ عَلَى أَصْلٍ كَاذِبٍ يَنْفُذُ ظَاهِرًا لَا بَاطِنًا فَلَا يُحِلُّ حَرَامًا وَلَا عَكْسُهُ فَلَوْ حَكَمَ بِشَاهِدَيْ زُوْرٍ بِظَاهِرِ الْعَدَالَةِ لَمْ يَحْصُلْ بِحُكْمِهِ الْحِلُّ بَاطِنًا سَوَاءٌ الْمَالُ وَالنِّكَاحُ أَمَّا الْمُرَتَّبُ عَلَى أَصْلٍ صَادِقٍ فَيَنْفُذُ الْقَضَاءُ فِيْهِ بَاطِنًا أَيْضًا قَطْعًا وَجَاءَ فيِ الْخَبَرِ أُمِرْتُ أَنْ أَحْكُمَ بِالظَّاهِرِ وَاللهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ
Artinya “Peringatan: Putusan yang berdasarkan asas batil itu dilaksanakan secara lahiriah, bukan secara batiniah, sehingga tidak memperbolehkan perbuatan yang diharamkan atau sebaliknya, jika diputuskan hukum dengan dasar dua orang saksi palsu yang terlihat adil, maka putusan itu tidak akan menghalalkan secara batiniah, baik terkait uang atau nikah.
Adapun hukum yang berdasarkan asas yang benar, maka hukum itu pasti dilaksanakan secara batiniah pula. Dan di dalam satu riwayat disebutkan: Saya diperintahkan untuk memutuskan hukum berdasarkan hal yang tampak di luar, dan Allah mengusai hal-hal yang tidak tampak” (Fathul Mu’in bi Hamisyi I’anatuth Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 2019] juz IV, halaman 271).
Berkaitan dengan relevansi qanun wadh’i (hukum positif) dan hukum syar’i, permasalahan tersebut sudah pernah diputuskan pada Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama, dalam komisi bahtsul masail madhu’iyyah, tahun 2010 di Makassar.
Forum tersebut memutuskan bahwa posisi hukum positif di hadapan hukum syar'i terdapat beberapa kemungkinan:
- Hukum positif mengatur hal-hal yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur'an, bahkan kadang sengaja dibiarkan oleh syariat. Ini membuka ruang bagi umat Muhammad untuk menciptakan aturan dalam hal yang tidak diatur syara' (al-maskut 'anhu). Hukum positif seperti ini dapat diterima dan diikuti, sesuai dengan penegasan Utsman bin Affan.
- Hukum positif menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum syar'i, maka dalam posisi ini harus ditolak.
- Apabila hukum positif menetapkan dan menganjurkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i, atau hukum positif menetapkan sesuatu yang ditetapkan hukum syar'i baik dalam perkara wajib atau mandub (disunnahkan), maka wajib ditaati, sedang bila menetapkan sesuatu yang mubah (diperbolehkan), apabila bermanfaat bagi kepentingan umum maka juga wajib ditaati, tetapi kalau tidak bermanfaat untuk umum maka tidak wajib ditaati. (Ahkamul Fuqaha, [Surabaya: Khalista, 2011] halaman 911).
Persoalan tentang pencatatan pernikahan oleh Dukcapil bagi perkawinan yang tidak tercatat di KUA ini, akan dibahas dalam Munas Konbes NU, Komisi Qonuniyah, pada 5-7 Februari 2025 di Hotel Sultan Jakarta.
Berikut tahapan-tahapan pencatatan pernikahan oleh Dukcapil:
Pencatatan pernikahan yang tidak tercatat di KUA oleh Dukcapil dilakukan dengan mengisi Surat Pertanggung Jawaban Mutlak (SPTJM). SPTJM ini menggunakan formulir F-1.05, yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum tercatat di instansi yang berwenang.
Berikut langkah-langkah untuk mencatatkan pernikahan yang tidak tercatat di KUA:
- Kunjungi kantor Disdukcapil sesuai domisili
- Siapkan Kartu Keluarga (KK) dan dokumen pendukung lainnya
- Isi dan serahkan SPTJM Perkawinan Belum Tercatat (F-1.05)
Pencatatan pernikahan yang tidak tercatat di KUA penting untuk menghindari masalah administrasi di masa mendatang. Pernikahan yang tidak tercatat di KUA juga bisa diproses dengan mengajukan permohonan pengesahan nikah atau isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Pencatatan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu perkawinan sah menurut hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 UU Perkawinan sebagai berikut :
- Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya suatu perkawinan telah dianggap sempurna dan sah apabila secara kumulatif telah memenuhi 2 (dua) syarat tersebut di atas yaitu dilangsungkan menurut agama dan dicatatkan.
Terkait pencatatan perkawinan menurut Pasal 2 PP 9/1975 ada dua lembaga yang berwenang untuk mencatatkan perkawinan tersebut, yaitu pegawai pencatat pada Kantor Urusan Agama (“KUA”) untuk perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama Islam atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (“Disdukcapil”) untuk perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama selain Islam.
Langkah dan Prosedur Permohonan Itsbat Nikah
Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama (“KUA”) atau Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang.
Adapun yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Namun, perlu diperhatikan, pengajuan itsbat nikah hanya dimungkinkan jika mengenai hal-hal berikut ini:
a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. hilangnya akta nikah;
c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan;
e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan menurut UU Perkawinan.
Langkah dan Syarat Itsbat Nikah
Berikut 5 langkah mengajukan permohonan itsbat nikah:
1. Datang dan mendaftar ke kantor pengadilan setempat
- Datangi kantor Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal Anda.
- Buat surat permohonan itsbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri. Jika tidak bisa, Anda dapat meminta bantuan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-cuma.
- Fotokopi formulir permohonan itsbat nikah sebanyak 5 rangkap, kemudian isi dan tanda tangani formulir yang telah lengkap. Serahkan 4 rangkap formulir permohonan kepada petugas pengadilan dan simpan 1 rangkap sisanya untuk Anda.
- Lampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahan Anda tidak tercatat.
2. Bayar panjar biaya perkara
Setelah menyerahkan panjar biaya perkara, minta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar biaya perkara.
3. Tunggu panggilan sidang dari pengadilan
Pengadilan akan mengirim surat panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada pemohon dan termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan.
4. Hadiri persidangan.
- Datanglah ke pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan.
- Pada sidang pertama, bawa dokumen seperti Surat Panggilan Persidangan serta fotokopi formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para pihak misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu, hakim mungkin akan melakukan pemeriksaan isi permohonan.
- Pada sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan Anda harus mempersiapkan dokumen dan bukti yang diminta oleh hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta Anda menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan Anda di antaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan Anda.
5. Putusan/penetapan pengadilan
Jika permohonan Anda dikabulkan, pengadilan akan mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah. Salinan putusan/ penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu 14 hari sejak sidang terakhir, dan dapat diambil sendiri ke kantor pengadilan atau diwakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa.
Akan seperti apa hasil pembahasan MUNAS NU mengenai pencatatan pernikahan di Dukcapil untuk perkawinan yang belum terdaftar di KUA, kita tunggu argumentasi dan keputusan yang diambil oleh peserta musyawarah dalam forum MUNAS NU 2025 yang diselenggarakan pekan ini. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar
Terpopuler
1
KH Bisri Syansuri (1): Nasab dan Sanad Keilmuan
2
Tak Ada Respons Istana, Massa Aksi Bertahan hingga Malam
3
Cara Gus Baha Sambut Ramadhan: Perbanyak Ngaji
4
Pakar Tanggapi Dampak Pemangkasan Anggaran Kementerian untuk Program MBG
5
Ribuan Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Gelap di Patung Kuda
6
Pelunasan Bipih Jamaah Haji Reguler Hingga 14 Maret 2025, Berikut Besar Bipih Tiap Embarkasi
Terkini
Lihat Semua