Syariah

Nilai Kemanusiaan pada Bab ‘Barang Temuan’ dalam Fiqih

Jum, 27 November 2020 | 13:30 WIB

Nilai Kemanusiaan pada Bab ‘Barang Temuan’ dalam Fiqih

Barang temuan oleh sebagian orang kadang disalahpahami sebagai 'rezeki nomplok' atau 'anugerah yang tak disangka-sangka'.

Ada saja pertanyaan masyarakat seputar barang temuan. Mereka kebingungan antara menjadikan barang temuan sebagai hak milik, disedekahkan ke masjid, atau harus mengembalikan kepada pemiliknya, sementara tidak diketahui siapa pemiliknya.


Pertanyaan ini sebenarnya sudah terjawab dalam kajian fiqih bab luqathah: si penemu barang setidaknya menyimpan dengan baik dan mengumumkan kepada masyarakat luas dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun. Jika pemiliknya belum ditemukan juga maka barang tersebut bisa menjadi hak milik dengan syarat-syarat tertentu.


Hadits Zaid bin Khalid al-Jahini menjelaskan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang barang temuan berupa emas dan perak, maka Nabi bersabda;


اعرف وكائها وعفاصها ثم عرفها سنة....


“Beritahukan wadah dan talinya kemudian umumkan selama satu tahun.”


Aturan fiqih terkait luqathah ini mengandung ajaran pentingnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Di antara nilai yang dapat diurai adalah nilai empati, tidak mengambil hak orang lain, dan pengendalian hawa nafsu.

 

Baca: Ini Sikap Kita saat Menemukan Harta di Jalan


Pertama, empati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Bayangkan saja ketika ada sejumlah uang berceceran di jalan dan pemiliknya ternyata orang fakir yang sangat membutuhkan uang tersebut. Ibarat kata makan tidaknya anak dan istri hari itu bergantung pada setiap lembaran uang yang hilang tersebut. Pantaskah sampai hati ketika sebagian manusia tertawa bahagia mendapatkan uang tanpa bersusah payah, sementara ada yang sedang menangis memikirkan nasib keluarganya?


وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (٨)


“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik” (QS. An-Nisa[4]: 8).


Rasulullah juga menambahkan dalam haditsnya:


حديث أبي موسى الأشعري قال: قال رسول الله ﷺ: المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضً. رواه البخاري


Dari Abi Musa al-Asy’ari dia berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan” (HR. Bukhari).


Kedua, tidak mengambil hak orang lain. Setiap manusia masing-masing memiliki hak yang wajib dilindungi. Tidak halal bagi seseorang mengambil hak orang lain secara batil. Firman Allah subhanahu wata’ala:


أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (٧٩)


Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (QS. Al-Kahfi: 79).


Dalam ayat lain Allah berfirman;


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ (٢٩)


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (QS. An-Nisa: 29).


Secara sederhana ayat tersebut dapat dipahami adanya kewajiban saling menjaga dan menghargai hak setiap manusia. Dengan demikian tidak mudah seseorang mengambil segala sesuatu yang bukan haknya, termasuk barang temuan, kecuali setelah menjalankan aturan sebagaimana dijelaskan dalam fiqih.


Ketiga, pengendalian hawa nafsu. Ada seorang ibu bertanya bagaimana hukumnya mengambil lembaran-lembaran uang yang hanyut di sungai? 


Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dijelaskan beberapa hal; kira-kira dari mana uang itu berasal? Apakah uang tersebut dimungkinkan milik perorangan atau golongan? Ketika secara hukum masih ragu (syubhat), maka lebih baik mana, mengambil untuk digunakan sendiri atau sekadar mengamankan?


Siapa sih yang tidak suka uang? Tidak heran jika secara spontan seseorang bereuforia ketika menemukan tumpukan uang. Walaupun uang tersebut merupakan hak orang lain. Oleh karenanya perlu diketahui mana yang merupakan hak sendiri dan mana yang merupakan hak orang lain. Pengambilan hak orang lain secara batil bisa jadi akibat dari hawa nafsu yang tidak terkendali. Dalam al-Qur’an secara jelas Allah menjelaskan


وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (٢٨)


“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 28).


Syekh Nawawi menafsirkan kata fitnah dengan cobaan. Oleh karenanya, kita perlu menyeimbangkan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Dalam tafsirnya, Syekh Nawawi mengilustrasikan dengan kisah Abi Lubabah sebagai contoh seseorang yang sangat mencintai dunia, hatinya senantiasa terpaut dengan dunia sehingga lupa ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Na’udzu billahi min dzalik. (Syekh Nawawi, Tafsir An-Nawawi, Surabaya: Dar Al-‘Ilmi, hal. 319).


Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta