Syariah

Prinsip Kemudahan Beribadah dalam Agama Islam

Sel, 26 Oktober 2021 | 16:30 WIB

Prinsip Kemudahan Beribadah dalam Agama Islam

Prinsip Kemudahan Beribadah dalam Agama Islam. (Foto: Ilustrasi)

Semua umat beragama meyakini adanya tuhan. Setiap agama juga pasti memiliki ritual ibadah sebagai bentuk penghambaan dan untuk menjaga hubungan ruhani dengan tuhan yang disembahnya. Sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan, tentu tabiat manusia adalah menyukai segala bentuk kemudahan dalam beraktivitas, termasuk kemudahan dalam aktivitas ibadah.

 

Sebagai agama yang membumi, Islam menyadari realitas tersebut. Namun agama Islam memiliki karakter dan prinsip yang tidak dimiliki oleh agama-agama terdahulu, bahkan agama-agama yang masih eksis sampai hari ini. Islam menganut prinsip ‘memudahkan dalam beribadah’ (raf’ul ḫaraj). Sebuah prinsip ‘mahal’ yang berasaskan kasih sayang untuk pemeluknya, yang jarang dimiliki oleh agama pada umumnya.

 

Agama Islam sudah diformat oleh Allah swt dengan aturan-aturan yang tidak akan pernah lapuk dimakan zaman. Sampai kapan pun, Islam akan selalu relevan. Oleh karena itu, syariat yang ada di dalamnya dibangun atas dasar kemudahan. Dengan kemudahan itu, Islam bisa tetap eksis sampai kapan pun.

 

Syekh Dr. Ahmad Ath-Thayyib, petinggi mufti Darul Ifta (lembaga fatwa) Mesir, menjelaskan (sebagaimana dikutip dari situs alkhaleej),

 

الشريعة الإسلامية هي التي تضبط وتنظم كل شؤون المسلمين في مختلف مجالات الحياة ولذلك ينبغي أن تبنى أحكام هذه الشريعة على التيسير لا على التعسير التزاما بقول الحق سبحانه وتعالى يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر، وقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: يسروا ولا تعسروا وبشروا ولا تنفروا

 

Artinya: “Syariat Islam sudah diformat untuk mengatur situasi dan kondisi umat muslim sepajang roda kehidupan. Oleh karena itu, hukum-hukum syariat yang berlaku dibangun atas dasar ‘memudahkan’, bukan ‘memberatkan’. Sebagaimana firman Allah, ‘Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu,’ (QS. Al-Baqarah [2]: 185) dan hadits Nabi ﷺ, ‘Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat orang lari” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Jika kita bandingkan syariat Bani Israil (umat Nabi Musa), kita akan menemukan perbedaan yang sangat kontras dalam praktik ibadah yang dilakukan oleh umat Islam (umat Nabi Muhammad ﷺ). Dalam syariatnya, Bani Israil harus mengeluarkan zakat sebesar seperempat dari harta yang mereka miliki. Jika punya harta sebanyak 100 juta saja, berarti harus membayar zakat sebesar 25 juta. Bani Israil juga wajib melaksanakan shalat sebanyak 50 waktu dalam satu hari satu malam. Cara Bani Israil bertaubat juga sangat ekstrem, yaitu dengan cara bunuh diri.

 


Kita umat Islam cukup membayar kewajiban zakat fitrah sebesar 2,5 sampai 3,0 kilogram. Shalat juga hanya diwajibkan lima waktu dalam sehari semalam, dan bertaubat cukup dengan menyesali dosa serta berjanji untuk tidak mengulanginya. Anehnya, sudah sebegitu ringan, masih saja kita malas-malasan untuk shalat dan jarang, atau bahkan belum pernah bertaubat kepada Allah swt. Ini yang perlu kita benahi dalam diri kita.

 

Mengutip Syekh Ar-Rahmani, Syekh Abu Daud Sulaiman al-‘Ujaili menuturkan,

 

إزَالَةُ النَّجَاسَةِ بِالْمَاءِ مِنْ خَصَائِصِنَا قَالَ تَعَالَى {وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا} [البقرة: 286] أَيْ أَمْرًا يَثْقُلُ عَلَيْنَا حَمْلُهُ يَأْصِرُ صَاحِبَهُ أَيْ يَحْبِسُهُ فِي مَكَانِهِ يُرِيدُ التَّكَالِيفَ الشَّاقَّةَ عَلَى بَنِي إسْرَائِيلَ مِنْ قَتْلِ النَّفْسِ فِي التَّوْبَةِ وَإِخْرَاجِ رُبُعِ الْمَالِ فِي الزَّكَاةِ وَقَطْعِ مَوْضِعِ النَّجَاسَةِ وَخَمْسِينَ صَلَاةٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ اهـ.

 

Artinya: “Cara menghilangkan najis bagi umat Islam merupakan keistimewaan umat itu sendiri. Allah swt berfirman, ‘Janganlah Engkau bebankan kepada kami,’ (QS. Al-Baqarah [2]: 286), maksudnya adalah (jangan membebani) sesuatu yang memberatkan kami (umat Islam) dalam bentuk beban-beban yang terlalu berat sebagaimana yang dulu dialami Bani Israil. Cara bertaubat mereka dengan bunuh diri, zakat mereka dengan mengelurakan ¼ dari harta yang dimiliki, mensucikan najis dengan memotong bagian yang terkena najis, dan melalukan shalat sebanyak 50 waktu dalam sehari semalam. (Sulaiman al-‘Ujaili, Hâsyiyatul Jamal, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2013], juz I, hal. 266)

 

Senada dengan al-‘Ujaili, menurut Ibnu Hajar, dulu Bani Israil jika bagian tubuhnya terkena najis, konsekuensinya adalah memotong bagian yang terkena najis itu. Kita umat Islam cukup mencuci bagian yang terkena naji dengan air saja. (Ibnu Hajar, Fatḫul Bârî {Kairo, Darul Fikr al-Islami, 2000], juz II, h. 311).

 

Termasuk di antara keistimewaan yang dimiliki umat Islam adalah, jika melakukan dosa, mereka tidak langsung menerima siksa. Bahkan jika melanggar aturan syariat karena tidak sengaja atau karena lupa, maka tidak terhitung sebagai dosa. Berbeda dengan Bani Israil, begitu mereka melakukan dosa, meskipun tidak disengaja atau lupa, maka seketika itu juga siksa turun, plus hukuman tambahan yaitu haram untuk makan minum sesuai kadar dosa yang mereka perbuat. (Syekh Tsana’ullah al-Madzhari, Tafsîr al-Madzharî, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2007], juz I, h. 427).

 

Sebagai umat Muslim, mari kita syukuri nikmat kemudahan beribadah kepada Allah swt dengan meningkatkan kuantitas serta kualitas ibadah. Bayangkan, jika syariat Bani Israil diadopsi total oleh umat Islam, setiap kita nyeker dan menginjak najis, habis sudah kaki kita dipotong karena sering menginjak najis. Mungkin orang akan berpikir dua kali untuk memelihara ayam di rumah, karena pasti akan lebih sering menginjak kotoran ayam.

 

Ustadz Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, Alumnus Pesantren KHAS Kempek, Mahasantri Mahad Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI