Syariah

Tahqiqul Manath menurut Imam al-Ghazali (Bagian I)

Sen, 31 Januari 2022 | 21:30 WIB

Tahqiqul Manath menurut Imam al-Ghazali (Bagian I)

Tahqiqul manath menurut Imam al-Ghazali (Bagian I)

Dalam artikel “Posisi Tahqiqul Manath dalam Fatwa” penulis menyebutkan bahwa Tahqiqul Manath adalah penelaahan untuk menemukan illat hukum (yang sudah ditemukan imam mujtahid) di dalam far’u (maqîs) yaitu masalah (wâqi’ah) yang dibahas. Penjelasan ini dalam konteks menempatkan Tahqiqul Manath dalam bab masâlikul ‘illah, metode penemuan illat. Sejatinya, Tahqiqul Manath bukan hanya merujuk pada illat hukum. Imam al-Ghazali (w. 505 H.) dalam karya puncak ushul fiqh-nya, al-Mustashfa, memaparkan banyak contoh dengan dimensi yang lebih luas  (Al-Mustashfa, juz II, hal. 237-239). Imam al-Ghazali sendiri seperti informasi Imam Ar-Razi (w. 606 H.) dalam al-Mahshul adalah yang pertama merumuskan istilah Takhrij, Tanqih, dan Tahqiqul Manath.

 

Imam al-Ghazali mencontohkan bahwa kriteria pemimpin negara, pejabat, dan hakim diketahui melalui dalil syariat, sedangkan penentuan apakah si fulan masuk kriteria tersebut adalah dengan ijtihad Tahqiqul Manath ukuran-ukuran yang ditetapkan syariat (misalnya ukuran air dua kullah, nishab-nishab zakat, dan presentase zakat yang dikeluarkan), untuk mengaplikasikannya adalah bentuk ijtihad Tahqiqul Manath (misalnya dalam sebuah bak air atau hasil panen milik si Fulan). Kecukupan kebutuhan hidup (qadrul kifâyah) sebagai batas minimal nafkah untuk orang tua atau anak adalah ketentuan yang diketahui melalui dalil syariat, sedangkan menentukan berapa nominal untuk kecukupan hidup si fulan hanya diketahui melalui ijtihad Tahqiqul Manath.

 

Ketentuan uang ganti rugi atas kerusakan barang non-mistli (jenis barang yang satuan-satuannya tidak ada yang sama, seperti hewan, mobil bekas dan rumah), diketahui melalui dalil syariat, sedangkan menentukan berapa nominal ganti rugi atas kerusakan benda tertentu hanya dengan melalui ijtihad Tahqiqul Manath. Ketentuan ganti rugi atas (arsy) beberapa jenis tindak pidana melukai orang lain (jinâyât) diketahui melalui dalil syariat, sedangkan penentuan berapa nominal ganti rugi hanya diketahui melalui ijtihad Tahqiqul Manath. Ketentuan denda bagi orang yang sengaja membunuh hewan buruan di tanah haram dengan hewan ternak yang mitsl (sama atau paling mirip) diketahui melalui dalil syariat, sedangkan penentuan denda dalam kasus, misalnya pembunuhan keledai liar manakah hewan ternak yang paling mirip, adalah termasuk ijtihad Tahqiqul Manath. Demikian pula, menghadap qiblat sebagai syarat sah shalat diketahui melalui dalil-dalil syariat namun saat orang berada di tempat yang jauh dari Ka’bah maka ia mengetahui arah qiblat dengan ijtihad Tahqiqul Manath.

 

Contoh-contoh yang dipaparkan Imam al-Ghazali di atas termasuk penggunaan Tahqiqul Manath dalam fungsi menentukan manâthul hukmi berupa kaedah-kaedah umum yang ada dalam syariat. Manâthul hukmi dalam pengertiannya yang luas adalah semua hal yang menjadi penentu sebuah hukum baik berupa illat hukum maupun kaedah umum syariat yang terkait hukum tersebut. Untuk itulah, berdasar contoh-contoh dalam Al-Mustashfa, Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali (w. 620 H.) dalam Raudlatun Nadhir (juz II, hal. 145-146) dan diikuti Najmuddin Al-Thufi Al-Hanbali (w. 716 H.) dalam Syarah Mukhtashar Raudlah (juz  III, hal 233-236) menyimpulkan bahwa ijtihad Tahqiqul Manath ada dua macam. Pertama, yang merujuk pada illat hukum dan kedua, yang merujuk pada kaedah-kaedah umum sebuah hukum.

 

Baca juga: Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi meski dalam Satu Mazhab

 

Menurut penulis, illat hukum dikenal hanya di hukum syar’iyyah-taklifiyah; yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sedangkan Dan kaedah-kaedah umum (qawa’id kulliyyah) -penulis terjemahkan dengan ketentuan-ketentuan syariat- masuk dalam wilayah hukum syar’iyyah-wadl’iyyah yaitu penentuan sabab, syarat atau mani’ atas sebuah hukum. Misalnya, kewajiban mengangkat pemimpin yang adil termasuk hukum syar’iyyah-taklifiyah. Sedangkan syarat adil dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi seorang pemimpin merupakan konsep yang masuk di dalam hukum syar’iyyah-wadl’iyyah.

 

Sementara kata ijtihad yang dimaksud dalam Tahqiqul Manath ini bukanlah ijtihad secara istilah, yang menjadi ranah para mujtahid yaitu menggali hukum dari dalil-dalil syariat. Ijtihad ini adalah ijtihad secara kebahasaan, yaitu mengerahkan kemampuan semaksimal mungkin untuk mengetahui sesuatu, dengan memperhatikan tanda-tanda yang menunjukkan (amârât) sesuatu tersebut.  Dalam ijtihad Tahqiqul Manath ini yang dibutuhkan bukan dalil syariat bukan pula ilmu fiqih, melainkan semua ilmu pengetahuan yang relevan untuk megetahui secara utuh atas obyek (far’u/ al-wâqi’ah) yang sedang dikaji hukumnya.

 

Ijtihad Tahqiqul Manath dengan dua jenisnya ini, jika diperhatikan, dipergunakan di hampir seluruh hukum fiqih. Termasuk bagi pengikut mazhab ketika berfatwa atau memutuskan hukum sebuah masalah. Misalnya, apakah penduduk daerah A boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan kurma, sementara itu ketentuan zakat fitrah yang dirumuskan imam Mazhab harus berupa bahan makanan pokok (qūtul balad). Maka untuk menentukan hukum, pengikut mazhab Syafi’i harus meneliti seperti apa penduduk daerah A dalam mengonsumsi kurma; apakah mereka menjadikannya bahan makanan pokok? Misalnya, terdapar rencana seorang bapak A menikahkan secara paksa (ijbâr) anak gadisnya dengan pria B, sementara diantara ketentuan (baca: syarat) yang dirumuskan imam mazhab: tidak adanya permusuhan yang tampak (‘adâwah dhâhirah) antar bapak dan anak gadisnya serta status calon mempelai pria harus sepadan (kuf’u). Untuk memutuskan apakah pernikahan tersebut boleh berlangsung, harus ada penelitian atas dua obyek; pertama karakteristik hubungan bapak A dan anak gadisnya, kedua tentang kesepadanan antara profil keluarga bapak A dan profil si B. Dan sebenarnya, semua ketentuan dalam mazhab,  untuk mengaplikasiannya mengharuskan ijtihad Tahqiqul Manath yaitu penelitian atas obyek. Untuk itulah, Imam al-Ghazali dalam kitab Asasul Qiyas (hal.40) menyebutkan bahwa ijtihad Tahqiqul Manath menghasilkan 90 persen dari seluruh produk hukum fiqih, wahuwa -‘alâ at-taqîq- tis’atu a’syâr al-fiqh. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, Muhadlir Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda