Tanggung Jawab Negara Menurut Islam: Perlindungan Total untuk Anak Terlantar
NU Online · Rabu, 23 April 2025 | 13:00 WIB
Ahmad Maimun Nafis
Kolomnis
Anak terlantar merupakan bagian dari anggota masyarakat yang paling rentan dan membutuhkan perlindungan menyeluruh. Dalam perspektif fiqih Islam, negara tidak hanya memiliki wewenang, tetapi juga kewajiban untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Kewajiban ini bukan sekadar amanah moral, namun juga tanggung jawab syar'i yang berdiri di atas landasan nash-nash yang jelas dari khazanah hukum Islam.
1. Kewajiban Menyediakan Biaya Hidup
Salah satu bentuk tanggung jawab paling mendasar dari negara adalah menjamin keberlangsungan hidup anak-anak terlantar, khususnya ketika mereka tidak memiliki harta atau pihak keluarga yang menanggung. Ibnus Simnani menjelaskan:
وَنَفَقَةُ اللَّقِيطِ فِي بَيْتِ الْمَالِ، لِأَنَّهُ أَحَدُ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ. وَإِنْ كَانَ مَعَهُ مَالٌ كَانَتْ نَفَقَتُهُ فِي مَالِهِ كَالْبَالِغِ
Artinya, "Biaya hidup anak terlantar (laqīṭ) menjadi tanggungan Baitul Mal, karena ia termasuk salah satu fakir miskin dari kalangan kaum Muslimin. Namun, jika ia memiliki harta, maka biaya hidupnya diambil dari hartanya sendiri, sebagaimana orang dewasa." (Raudhatul Qudhat wa Thariqin Najah, [Oman, Darul Furqan: 1984], jilid IV, halaman 1398).
Argumentasi ini menunjukkan bahwa anak terlantar termasuk golongan yang berhak atas dana sosial negara. Negara tidak boleh menunda ataupun mengabaikan pengalokasian anggaran untuk mereka, karena kelalaian dalam hal ini termasuk bentuk pembiaran terhadap jiwa manusia yang lemah dan tidak berdaya.
2. Kewajiban Pengawasan dan Pengasuhan
Pengasuhan anak terlantar merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi masyarakat. Selama masih ada pihak yang mengambil peran, maka kewajiban itu gugur dari yang lain. Namun, bila tak seorang pun menunaikannya, maka seluruh masyarakat yang mengetahui kondisi tersebut menanggung dosa.
Imam As-Asyuthi menjelaskan:
وَالتِقَاطُ الْمَنْبُوذِ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، فَأَمَرَ بِالْمُعَاوَنَةِ عَلَى الْبِرِّ، وَهَذَا مِنَ الْبِرِّ، فَتَقَرَّرَ أَنَّ الْتِقَاطَ الْمَنْبُوذِ فَرْضُ كِفَايَةٍ. وَفَرْضُ الْكِفَايَةِ: إِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُ النَّاسِ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنِ الْبَاقِينَ، وَإِنْ تَرَكُوهُ أَثِمَ جَمِيعُ مَنْ عَلِمَ بِهِ
Artinya, "Mengambil anak terlantar (yang dibuang) hukumnya fardhu kifayah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: "Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan" (QS Al-Ma’idah: 2).
Ayat ini memerintahkan untuk saling membantu dalam kebaikan, dan mengambil anak terlantar termasuk bagian dari kebaikan tersebut. Karenanya ditetapkan bahwa mengambil anak terlantar merupakan kewajiban kifayah.
Kewajiban kifayah adalah jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Namun jika semuanya meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang mengetahui hal itu. (Jawahirul Uqud wa Muʿinul Qudhat wal Muwaqqi‘in was Syuhud, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], jilid I, halaman 325).
Meski kewajiban ini bersifat kolektif, negara sebagai pihak yang memiliki otoritas dan kekuatan untuk bertindak, tetap memegang tanggung jawab utama dalam menjamin keberlangsungan pengasuhan tersebut. Apabila tidak ada satu pun pihak masyarakat yang melaksanakannya secara layak, maka negara tidak boleh bersikap pasif.
Bahkan, dalam pandangan Al-Maqdisi, negara wajib memantau dan memastikan kualitas pengasuhan terhadap anak terlantar. Jika pengasuh yang telah ditunjuk terbukti lalai, maka negara harus mencarikan pengasuh lain yang lebih amanah. Al-Maqdisi menyatakan:
وَمَنْ أَخَذَ لَقِيطًا فِي كَفَالَتِهِ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ بِحَقِّ الْتِقَاطِهِ، أَوْ يُسَلِّمَهُ إِلَى مَنْ يَلْتَزِمُ بِكَفَالَتِهِ
Artinya, "Barangsiapa yang mengambil anak terlantar untuk diasuh, jika ia lalai dalam memenuhi hak-hak asuhan tersebut, maka pemerintah harus memerintahkannya untuk memenuhi kewajibannya atau menyerahkan anak tersebut kepada pihak yang mampu/ berkomitmen menanggung asuhannya". (Badzlun Naṣhaiḥ As-Syar‘iyah fima ‘alas Sulṭhan wa Wulatil Umur wa Sa’irir Ra‘iyah, [Arab, Risalah Magister: 1996], jilid I, halaman 254).
Dalam konteks hukum positif di Indonesia, negara memegang tanggung jawab konstitusional untuk memelihara anak-anak yang terlantar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara."
Tanggung jawab ini diwujudkan melalui program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, dengan dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang tentang Penanganan Fakir Miskin.
Di tingkat pusat, penanganan anak terlantar dilakukan oleh Kementerian Sosial, sementara di daerah dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan pembagian kewenangan yang berlaku.
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa dalam pandangan Islam, kewajiban negara terhadap anak terlantar mencakup dua aspek utama: penyediaan kebutuhan hidup melalui anggaran yang memadai, dan pengawasan terhadap proses pengasuhan secara serius dan bertanggung jawab. Negara tidak dapat bersikap netral, apalagi lepas tangan, karena anak-anak terlantar adalah amanah yang harus dijaga bersama. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua