Syariah

Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh

Jum, 25 Agustus 2017 | 06:30 WIB

Tiga Tanda Seorang Anak Dikatakan Baligh

Ilustrasi (Bethanygu.edu)

Setiap Muslim, orang yang beragama Islam, wajib melakukan setiap hal yang diwajibkan oleh syari’at untuk dilaksanakan. Melaksanakan kewajiban itu akan berbuah pahala dan meninggalkannya akan berakibat dosa. Seorang Muslim juga berkewajiban meninggalkan segala hal yang syari’at melarang untuk melakukannya. Melanggar larangan ini akan berbuah dosa dan meninggalkannya akan meraih pahala.

Hanya saja, dari sisi usia, kewajiban seorang Muslim untuk mentaati aturan syari’at tersebut tidak secara mutlak dibebankan kepada setiap umat penganutnya tanpa memandang berapa pun usianya. Kewajiban ini hanya menjadi beban bagi orang yang telah mencapai usia akil baligh. Anak yang belum mencapai usia akil baligh masih belum terbebani dengan berbagai kewajiban.

Lalu bagaimana bisa diketahui seorang anak telah mencapai usia akil baligh atau belum? Adakah tanda tertentu yang menunjukkan seorang anak telah memasuki masa akil baligh?

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najah menyebutkan ada 3 (tiga) hal yang menandai bahwa seorang anak telah menginjak akil baligh.

تمام خمس عشرة سنة في الذكر والأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين والحيض في الأنثى لتسع سنين

“Ketiga tanda baligh tersebut adalah sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan”.(lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najah, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).

Dalam kitab Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi Al-Bantani secara singkat padat memaparkan penjelasan ketiga tanda tersebut sebagai berikut:

1. Sempurnanya umur lima belas tahun berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan dengan menggunakan perhitungan kalender hijriah atau qamariyah. Seorang anak—baik laki-laki maupun perempuan—yang telah mencapai umur lima belas tahun ia telah dianggap baligh meskipun sebelumnya tidak mengalami tanda-tanda baligh yang lain.

2. Tanda baligh kedua adalah keluarnya sperma (ihtilaam) setelah usia sembilan tahun secara pasti menurut kalender hijriyah meskipun tidak benar-benar mengeluarkan sperma, seperti merasa akan keluar sperma namun kemudian ia tahan sehingga tidak jadi keluar. Keluarnya sperma ini menjadi tanda baligh baik bagi seorang anak laki-laki maupun perempuan, baik keluar pada waktu tidur ataupun terjaga, keluar dengan cara bersetubuh (jima’) atau lainnya, melalui jalannya yang biasa ataupun jalan lainnya karena tersumbatnya jalan yang biasa.

3. Adapun haid atau menstruasi menjadi tanda baligh hanya bagi seorang perempuan, tidak bagi seorang laki-laki. Ini terjadi bila umur anak perempuan tersebut telah mencapai usia sembilan tahun secara perkiraan, bukan secara pasti, dimana kekurangan umur sembilan tahunnya kurang dari enam belas hari menurut kalender hijriyah. Bila ada seorang anak yang hamil pada usia tersebut, maka tanda balighnya bukan dari kehamilannya tetapi dari keluarnya sperma sebelum hamil (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), hal. 31).

Seorang anak yang telah mengalami salah satu dari tiga hal tersebut dianggap telah baligh atau biasa disebut telah mukallaf yang berarti menanggung beban perintah-perintah syari’at. Ia telah berkewajiban melakukan shalat lima waktu sebagaimana mestinya, puasa di bulan Ramadlan, berhaji bila mampu dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Lebih lanjut Syaikh Nawawi juga menjelaskan bahwa secara fardlu kifayah seorang anak yang telah mencapai usia tujuh tahun dan telah mumayyiz adalah wajib bagi orang tuanya untuk memetintahkannya melakukan shalat beserta segala hal yang berkaitan dengannya seperti wudlu dan lainnya. Orang tua juga wajib memerintahkannya untuk melakukan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya seperti berpuasa bila mampu. Perintah ini tentunya disertai dengan kalimat ancaman seperti “bila engkau tidak mau shalat maka uang jajanmu tidak diberikan” atau kalimat lainnya. Pada usia ini pula kepada sang anak orang tua wajib mengenalkannya perihal Nabi Muhammad SAW, kapan dan di mana beliau dilahirkan, meninggal dan dikebumikan. Adapun batasan seorang anak telah mumayyiz adalah apabila ia telah mampu makan, minum, dan beristinja’ secara mandiri. Bila anak telah mumayyiz namun belum mencapai usia tujuh tahun maka orang tua hanya disunahkan, bukan diwajibkan, memerintahkan anaknya melakukan kewajiban-kewajiban syari’at.

Saat usianya telah mencapai sembilan tahun dan di pertengahan menuju usia sepuluh tahun bila sang anak masih belum juga mau melakukan kewajiban-kewajiban tersebut maka orang tua wajib memukulnya tentunya dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Ini dikarenakan pada usia ini ada kemungkinan sang anak telah masuk masa baligh.

Pendek kata sebelum anak mencapai status baligh atau mukallaf orang tua semestinya telah membiasakannya dengan melakukan kewajiban-kewajiban syari’at agar kelak ketika sang anak telah baligh ia telah terbiasa dengan kewajiban-kewajiban tersebut. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)