Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan antara dua insan, melainkan perjanjian suci yang melibatkan nilai-nilai agama, keluarga, dan komunitas. Di balik prosesi sakral pernikahan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah wali nikah beragama Islam.
Lalu, siapa wali nikah bagi wanita mualaf?
Bagi wanita mualaf yang baru mendapatkan percikan cahaya keimanan untuk menapaki jalan Islam, persoalan wali nikah bisa menjadi tantangan tersendiri. Sebab masalah ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menyinggung sisi emosional.
Wanita mualaf sering kali berada di persimpangan antara keinginannya untuk menjalani hidup sesuai syariat Islam dan upaya menjaga hubungan baik dengan keluarganya.
Proses penunjukan wali nikah dapat menjadi momentum yang membingungkan dan penuh tekanan. Terutama jika ada perbedaan pemahaman antara keluarga kandung dan komunitas Muslim di sekitarnya.
Ketidaktahuan terhadap aturan perwalian atau minimnya dukungan dari orang-orang terdekat sering kali membuat wanita mualaf merasa terisolasi dalam menghadapi masalah ini.
Ketentuan Wali Nikah Wanita Mualaf
Dalam Islam, wali nikah merupakan salah satu rukun pernikahan. Kehadiran wali yang memenuhi syarat-syaratnya, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan mempunyai sifat adil (tidak fasik), merupakan syarat sah akad nikah.
Dengan demikian tidak boleh seorang nonmuslim menjadi wali pernikahan putrinya yang telah memeluk agama Islam.
Syekh Taqiyuddin Al-Hishni menjelaskan:
لَا يجوز أَن يكون ولي الْمسلمَة كَافِرًا. قَالَ الله تَعَالَى: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ. فالكافر لَيْسَ بناصر لَهَا لاخْتِلَاف الدّين فَلَا يكون وليا
Artinya, "Tidak boleh seorang nonmuslim menjadi wali bagi wanita Muslimah. Allah Ta'ala berfirman: "Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong (wali) bagi sebagian yang lain" (At-Taubah: 71).
Karenanya, nonmuslim tidak dapat menjadi penolong bagi seorang Muslimah karena perbedaan agama, sehingga ia tidak bisa menjadi walinya." (Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 1994], halaman 356).
Kemudian jika ayah kandung wanita mualaf tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah sebab tidak beragama Islam, maka kewaliannya berpindah kepada kakeknya.
Jika kakeknya juga nonmuslim, maka kewalinya pindah kepada wali ab'ad (wali jauh), yaitu wali dalam garis kerabat selain ayah dan kakek.
Mereka secara berurutan adalah saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan anak laki-lakinya paman.
Apabila semua kerabatnya tidak ada satupun yang beragama Islam, maka kewalinya berpindah kepada hakim. Syekh Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan:
وَلَا يَلِي الْكَافِرُ الْمُسْلِمَةَ وَلَا الْمُسْلِمُ الْكَافِرَةَ بَلْ يَلِي الْأَبْعَدُ. المُسْلِمُ فِي الْأُولَى وَالْكَافِرُ فِي الثَّانِيَةِ فَإِنْ فُقِدَ فَالْحَاكِمُ يُزَوِّجُ بِالْوِلَايَةِ الْعَامَّةِ
Artinya, "Seorang nonmuslim tidak dapat menjadi wali bagi wanita Muslimah, begitu pula sebaliknya, seorang Muslim tidak dapat menjadi wali bagi wanita nonmuslim, melainkan dalam kasus pertama (wanita Muslimah), yang bertindak menjadi wali adalah wali ab'ad (wali dalam garis kerabat selain ayah dan kakek) yang Muslim, dan dalam kasus kedua (wanita nonmuslim), wali nonmuslim yang bertindak sebagai walinya. Jika tidak ditemukan, maka hakim akan menikahkannya dengan otoritas perwalian umum yang dimilikinya."
Lebih lanjut Syekh Al-Qalyubi menjelaskan keterangan Al-Mahalli sebagai berikut:
قوله: (فإن فقد) أي الولي الخاص في المسألتين الحاكم ولو قاضي ضرورة يزوج فيهما بالولاية العامة، والمراد بالحاكم من له ولاية على محل الزوجة، ويزوج حاكم المسلمين لهم، وحاكم الكفار لهم
Artinya, "Ungkapan Al-Mahalli: 'Jika tidak ditemukan wali', maksudnya adalah wali khusus, maka hakim meskipun hanya berstatus sebagai hakim dalam keadaan darurat, dapat menikahkan dalam kedua kasus tersebut dengan otoritas umum yang dimilikinya.
Yang dimaksud hakim adalah orang yang memiliki otoritas kekuasaan di tempat tinggal mempelai wanita. Hakim Muslim menikahkan umat Islam, sedangkan hakim nonmuslim menikahkan umat nonmuslim." (Kanzur-Raghibin dan Hasyiyah Al-Qalyubi wa Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 228).
Dari uraian di atas dapat dipahami, wali nikah wanita mualaf adalah wali aqrabnya (ayah dan kakeknya) yang sudah beragama Islam.
Jika mereka belum mendapatkan hidayah keislaman, maka wali nikahnya berpindah kepada wali ab'ad (wali jauh) yang beragama Islam.
Jika dari mereka tidak ada satupun yang beragama Islam, maka yang sah bertindak menjadi wali nikah adalah hakim yang mempunyai otoritas di tempat wanita mualaf tersebut tinggal.
Dalam konteks Indonesia wali hakim yang dimaksud adalah Penghulu atau Kepala KUA Kecamatan setempat. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.
Terpopuler
1
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
2
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
3
Gus Miftah Sambangi Kediaman Bapak Penjual Es Teh untuk Minta Maaf
4
LD PBNU Ingatkan Etika dan Guyon dalam Berdakwah, Tak Perlu Terjebak Reaksi Spontan
5
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
6
Respons Pergunu soal Wacana Guru ASN Bisa Mengajar di Sekolah Swasta
Terkini
Lihat Semua