Dalam salah satu karya yang berjudul Al-Kasyfu wat Tabyin fi Ghuruuril Khalqi Ajma'in, Abu Hamid Al-Ghazali membongkar macam-macam bentuk keterperdayaan yang dialami manusia saat mereka berusaha mendekatkan diri pada Allah melalui berbagai jalan ibadah. Salah satu dari bentuk ketertipuan manusia yang dikuak dalam risalah tersebut adalah berhinggapnya rasa waswas (keragu-raguan) pada seseorang ketika melaksanakan berbagai ritual ibadah khususnya dalam shalat.
Berdasarkan realitas keseharian kita dan pengalaman empiris di masyarakat, waswas memang bisa menghinggapi siapa saja. Fenomena waswas bisa ditemui baik di lingkungan pesantren maupun komunitas masyarakat umum. Berdasarkan pengamatan kami, orang terpelajar dalam pengertian orang yang sudah mengerti hukum fiqih, paham ketentuan dan kaifiyah pelaksanaan suatu ibadah tertentu, tidak lantas menjamin bahwa ia selamat atau bebas dari terkena waswas.
Menurut Al-Ghazali, rasa waswas acap menjangkiti kelompok ahli ibadah di antaranya adalah pada saat niat shalat. Setan tidak akan membiarkan begitu saja seseorang yang sedang berniat shalat secara sah. Namun Setan akan menggodanya hingga seseorang yang dilanda waswas itu tidak dapat menjumpai shalat jamaah, sehingga tertinggal dari kesempatan mengikuti shalat berjamaah.
Selanjutnya orang yang mengalami waswas ketika takbiratul ihram, lanjut Al-Ghazali, dapat berakibat mengubah sifat bacaan takbir tersebut dari yang semestinya, misalnya panjangnya takbir berlebihan dari ketentuan yang semestinya lantaran sangat berhati-hati. Selain itu waswas dalam takbiratul ihram ini juga membawa dampak orang tersebut tidak dapat konsentrasi mendengarkan bacaan Al-Fatihahnya imam.
Imam Al-Ghazali berasumsi bahwa orang yang didera waswas di sepanjang pelaksanaan shalatnya ini, dirinya telah tertipu oleh semua keragu-raguaan yang dialaminya, seraya tidak menyadari bahwa hadirnya hati (khusu') saat shalat itu wajib. Dirinya benar-benar terpedaya oleh godaan iblis dan dihiasi dengan keragu-raguan akan semua itu.
Menurut Al-Ghazali, sumber pemantik atau penyebab datangnya sikap waswas pada orang yang mendirikan shalat ini ialah karena kehati-hatian (ihtiyath) yang terlampau ekstrem agar bisa sama persis sebagaimana kriteria yang ditentukan oleh fiqih dan tajwid, seraya menduga bahwa kehati-hatian yang berlebihan itu menjadi pembeda antara shalat dirinya dengan shalatnya orang awam kebanyakan, sehingga dengan cara begitu ia berharap dirinya tetap lebih baik di sisi Allah. Padahal perasaan seperti itu tidak lain merupakan bisikan Iblis. (M. Haromain)
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua