Syariah

Zakat Saham: Hukum dan Ketentuannya

Kam, 30 November 2023 | 14:00 WIB

Zakat Saham: Hukum dan Ketentuannya

Zakat saham. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam ialah zakat. Hal ini dikarenakan ia merupakan perwujudan dari rasa keadilan dan persaudaraan dalam Islam. Secara tegas Allah swt. menyatakan dalam Alquran bahwa zakat merupakan sebuah kewajiban yang bersandingan dengan kewajiban shalat. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 43 Allah berfirman:


وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ


Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.


Zakat diwajibkan pada beberapa harta yang telah ditentukan oleh syariat dengan segala macam persyaratannya. Kemajuan zaman dan perkembangan inovasi manusia menuntut jawaban atas segala persoalan khususnya di bidang perekonomian. Salah satunya ialah tentang hukum zakat saham.


Sebelum menjelaskan hukum dan ketentuan zakat itu sendiri, terlebih dahulu akan kami bahas mengenai pengertian dan hukum sahamnya itu sendiri. Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islam wa Adilatuhu, j. VII, h. 5036 menjelaskan sebagai berikut:


أما الأسهم: فهي حصص الشركاء في الشركات المساهمة، فيقسم رأس مال الشركة إلى أجزاء متساوية، يسمى كل منها سهما، والسهم: جزء من رأس مال الشركة المساهمة، وهو يمثل حق المساهم مقدرا بالنقود، لتحديد مسؤوليته ونصيبه في ربح الشركة أو خسارتها. فإذا ارتفعت أرباح الشركة ارتفع بالتالي ثمن السهم إذا أراد صاحبه بيعه، وإذا خسرت انخفض بالتالي سعره إذا أراد صاحبه بيعه.


Artinya: "Adapun saham gabungan adalah bagian-bagian para sekutu dalam perusahaan dengan saham gabungan. Modal perusahaan tersebut terbagi dalam bagian-bagian yang sama besar, yang masing-masing disebut saham. Saham ialah bagian dari modal perusahaan dengan saham gabungan tersebut, dan mencerminkan kepemilikan hak pemegang saham yang dinilai dengan uang untuk menentukan tanggung jawab dan bagiannya dalam laba atau rugi perusahaan. Jika laba suatu perusahaan meningkat maka harga sahamnya akan naik jika pemiliknya ingin menjualnya, dan jika rugi maka harganya akan turun jika pemiliknya ingin menjualnya."


Masih menurut Syekh Wahbah, kajian hukum jual beli saham adalah masalah ijtihadiyah imam-imam madzhab serta mujtahid yang semasa mereka belum pernah membicarakan dalam kitab peninggalan mereka, dari beberapa referensi kitab-kitab ulama kontemporer. Maka dengan demikian, kategorisasinya berdasarkan pada ijtihad ulama saat ini dengan mempertimbangkan prinsip muamalah Islam.


Terkait dengan hukum saham, Syekh Wahbah mendukung pendapat Syeklh Abdurrahman Isa yang menyatakan bahwa saham bisa dibagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan objek investasinya:


Pertama, saham-saham perusahaan industri yang tidak melakukan aktivitas perdagangan seperti perusahaan sablon, perusahaan pendingin, perusahaan hotel, periklanan, perusahaan mobil, kendaraan listrik, perusahaan angkutan darat dan laut, maka tidak ada kewajiban zakat di dalamnya. Kecuali, laba yang dihasilkan oleh saham-saham ini, digabungkan dengan harta pemegang saham lalu menzakatkannya bersama zakat hartanya setelah genap satu tahun dan mencapai nishab syara'. Sebab nilai dari saham-saham ini terwujud pada alat-alat, administrasi, bangunan, dan sejenisnya.


Kedua, saham-saham perusahaan dagang, yaitu yang membeli barang dagangan dan menjualnya seperti perusahaan-perusahaan dagang luar negeri, perusahaan eksport import, perusahaan penjualan produk dalam negeri, atau perusahaan yang memproduksi sebagian bahan mentah atau membelinya seperti perusahaan minyak, perusahaan benang dan tenun, perusahaan besi baja, perusahaan kimia, maka zakat wajib di dalamnya. Ini karena perusahaan ini melakukan aktivitas perdagangan, baik produksi maupun tidak.

Saham-sahamnya ditaksir dengan nilainya sekarang, setelah memotong nilai bangunan, alat-alat, dan perkakas yang dimiliki oleh perusahaan ini. Ini berarti bahwa perusahaan-perusahaan dagang yang murni zakat sahamnya wajib sesuai dengan nilai perdagangan di pasar dengan laba yang ditentukan di akhir tahun, seperti zakat barang dagangan sebesar 2,5%, jika modal dan laba mencapai nishab syara'.

Tidak ada kewajiban zakat atas tempat berdagang dari segi bangunan dan perangkat yang ada di dalamnya. Dengan catatan adanya kewajiban zakat atas perusahaan-perusahaan industri jika hasil produksinya adalah berupa dagangan yang siap dijual atau dieksport , setelah memotong nilai alat dan bangunan.


Terkait hal ini, di Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) telah mengeluarkan SK BAZNAS Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Penerimaan Zakat, Infak dan Sedekah Dalam Bentuk Saham Syariah. Lihat selengkapnya: https://baznas.go.id/zakatsaham#:~:text=Zakat%20saham%20dapat%20dibayarkan%20dengan,rekening%20dana%20Investor%20milik%20BAZNAS.


Kurang lebih ada persamaan antara penjelasan Syekh Wahbah Zuhaily dengan ketentuan yang telah dibuat oleh BAZNAS mengenai zakat saham. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.