Tafsir

Sampah Plastik dan Kebakaran Lahan dalam Tafsir Etika Sosial

NU Online  ·  Sabtu, 28 September 2019 | 01:00 WIB

Jenna R Jambeck dari Universitas Georgia melaporkan bahwa produksi sampah plastik dunia tahun 2010 mencapai 275 juta ton per tahun. Sebanyak 4.8 sampai 12.7 juta ton di antaranya terbuang ke laut. Sisanya sebanyak 264.3 juta tersebar mencemari tanah.

Indonesia diinformasikan pada tahun 2016 mendulang andil 5.4 juta ton sampah plastik. Tahun 2019 ini diperkirakan andil itu meningkat sebesar 12 juta ton sampah plastik. Di wilayah pesisir, penduduk Indonesia yang tinggal dan menetap di sana, dengan perkiraan angka sebesar 187.2 juta, menyumbang 3.22 juta ton sampah dan terbuang ke laut.

Angka ini cukup miris bila dibandingkan dengan populasi penduduk pesisir yang kurang lebih sama dengan India, yang menyumbang 0.48 sampai dengan 1.29 juta ton sampah ke laut. Angka ini setidaknya mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan kampanye sampah plastik di Indonesia masih perlu disemarakkan. Selain kampanye, pengelolaannya pun juga turut serta perlu dikampanyekan dan disosialisasikan. 

Limbah plastik merupakan ekses dari maraknya pembangunan industri. Negara tidak akan maju tanpa keberadaan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi. Namun, industri harus memperhatikan dampak jangka panjang yang merugikan masyarakat dan lingkungan.

Ekses itu biasanya mewujud dalam bentuk efek kerusakan. Setiap kerusakan merupakan sebab bagi wajibnya perusahaan memberikan corporate and social responsibility (CSR) dalam bentuk pertanggungjawaban dampak terhadap sosial dan lingkungan Ayat yang telah dilanggar oleh perusahaan itu adalah Surat Al-Baqarah ayat 195:

وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله يحب المحسنين

Artinya, “Infaqkanlah harta kalian di jalan Allah! Jangan menjatuhkan tangan kalian pada kerusakan! Berbuat baiklah kalian! Sungguh Allah mencintai orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan,” (Surat Al-Baqarah ayat 195).

Sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy dengan sanad yang berasal dari Aslam Abu ‘Imrân RA berbunyi sebagai berikut:

 كُنَّا بِمَدِينَةِ الرُّومِ فَأَخْرَجُوا إِلَيْنَا صَفًّا عَظِيمًا مِنْ الرُّومِ ، فَحَمَلَ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى صَفِّ الرُّومِ حَتَّى دَخَلَ فِيهِمْ، فَصَاحَ النَّاسُ وَقَالُوا : سُبْحَانَ اللَّهِ ! يُلْقِي بِيَدَيْهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ ! فَقَامَ أَبُو أَيُّوبَ الأَنْصَارِيُّ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّكُمْ تَتَأَوَّلُونَ هَذِهِ الآيَةَ هَذَا التَّأْوِيلَ ، وَإِنَّمَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةَ فِينَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ ، لَمَّا أَعَزَّ اللَّهُ الإِسْلامَ ، وَكَثُرَ نَاصِرُوهُ ، فَقَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ سِرًّا دُونَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَمْوَالَنَا قَدْ ضَاعَتْ ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعَزَّ الإِسْلامَ ، وَكَثُرَ نَاصِرُوهُ ، فَلَوْ أَقَمْنَا فِي أَمْوَالِنَا فَأَصْلَحْنَا مَا ضَاعَ مِنْهَا ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْنَا مَا قُلْنَا ( وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ) فَكَانَتْ التَّهْلُكَةُ الإِقَامَةَ عَلَى الأَمْوَالِ وَإِصْلاحِهَا ، وَتَرْكَنَا الْغَزْوَ . فَلَمْ يَزَلْ أَبُو أَيُّوبَ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى دُفِنَ بِالْقُسْطَنْطِينِيَّة

Artinya, “Suatu ketika kami berada di tengah-tengah Kota Rum. Tiba-tiba bala tentara Rum mengeluarkan selaksa barisan yang besar. Salah seorang laki-laki dari kalangan muslimin bergegas (mencabut pedangnya) dan maju ke arah barisan tersebut hingga ia mampu menembusnya. Para sahabat kaget dan berteriak, ‘Maha Suci Allah! Ia telah menjatuhkan tangannya dalam kerusakan!’ Lalu Abu Ayub Al-Anshary berdiri dan berkata, ‘Wahai manusia! Sungguh kalian telah menakwilkan ayat ini dengan takwil demikian rupa. Namun, (ketahuilah) bahwa ayat ini diturunkan kepada kami, kalangan sahabat Anshar. Saat itu, Allah telah benar-benar memuliakan agama-Nya–yakni Islam–serta menambah banyak jumlah para pemeluknya, lalu di antara kami saling bergumam (lirih) tanpa sepengetahuan Rasulullah SAW. [Mereka bergumam], ‘Harta kita telah habis. Allah telah meluhurkan Islam dan menambah banyak jumlah pemeluknya. Maka, alangkah baiknya sekiranya kita memperbaiki ekonomi kita dulu dan menambal sesuatu yang telah hilang.’ Allah SWT menyambut gumaman kita saat itu itu seraya menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya (dan infaqkanlah hartamu di jalan Allah, dan jangan menjatuhkan tanganmu pada at-tahlukah). Maka dari itulah, yang dimaksud dengan at-tahlukah adalah [mengikuti kemauan kami] memperbaiki kondisi ekonomi, memulihkannya, namun meninggalkan perang. Abu Ayyub Al-Anshary merupakan sahabat yang senantiasa berjihad hingga beliau kemudian wafat dan dikebumikan di Konstantinopel.”

Hadits di atas, jika kita bawa pada konteks tafsir adaby ijtima’iy (tafsir etika sosial) adalah seolah mengajak kita agar jangan sampai modernnya zaman, melalaikan kita dari senantiasa berjuang menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Menjaga kelestarian alam dan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama dalam jangka panjang.

Jangka pendeknya, adalah mendapatkan kemudahan dari hasil kemajuan teknologi saat ini. Namun, kemudahan dan kemajuan teknologi itu tidak boleh menghentikan inovasi guna mendapatkan efek yang minim risiko dampak kerugian terhadap lingkungan dan alam sekitar, bahkan jika perlu 0% risiko. Inovasi harus senantiasa terus digalakkan.

Plastik merupakan salah satu produk teknologi yang memiliki keuntungan dalam jangka pendek, namun memiliki efek merugikan dalam jangka panjangnya. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah inovatif guna meminimalisasi efek merugikannya, dan pihak yang paling diutamakan untuk melakukan langkah itu adalah pihak produsen. Inovasi utamanya diarahkan pada menghasilkan produk pengganti yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Sebenarnya, penafsiran ayat dan hadits di atas bisa dibawa ke ranah sosial yang lain, suatu misal, pembukaan lahan dengan cara pembakaran. Meskipun cara ini dinilai praktis dan memudahkan, namun karena berefek merugikan yang besar dalam jangka pendek serta jangka panjangnya, tak urung tindakan tersebut merupakan tindakan yang kontrasosial dan lingkungan.

Tindakan semacam inilah yang dimaksud dengan istilah at-tahlukah. Tindakan ingin mudah, dan enaknya sendiri, tanpa mau menjaga hajat masyarakat banyak. Wallahu a’lam bis shawab
 
 
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur