Tafsir

Tafsir Mimpi Nabi Ibrahim Kurbankan Putranya menurut Ash-Shawi dan Ibnu Arabi

Jum, 14 Juni 2024 | 16:00 WIB

Tafsir Mimpi Nabi Ibrahim Kurbankan Putranya menurut Ash-Shawi dan Ibnu Arabi

Ilustrasi Nabi Ibrahim. (Foto: NU Online)

Jamak kita ketahui bahwa ritual penyembelihan hewan kurban (at-tadhhiyyah) bermula dari wahyu berupa mimpi yang dialami Nabi Ibrahim. Dikisahkan, dalam mimpi tersebut sang Khalilullah melihat dirinya menyembilih sang putra tercinta.

 

Beragam refleksi dan tafsir pun bermunculan atas kisah pengorbanan luar biasa yang dilakukan oleh sang Bapak Para Nabi (abul anbiya’) tersebut. Salah satunya ditulis oleh Syaikh Ash-Showi dalam Hasyiyah-nya atas Tafsir Jalalain.

 

Menurut Ash-Showi, peristiwa mimpi yang dilihat oleh Nabi Ibrahim adalah ujian atas statusnya sebagai kekasih (khalil) Allah ﷻ. Kata khalil (خليل) dalam bahasa Arab berasal dari kata khillah (خلّة) yang berarti cinta yang murni (صَفَاءُ المَوَدَّة).

 

Tanda dari cinta yang murni juga bermakna ketiadaan sekutu dalam cinta tersebut. Namun demikian, sebagai seseorang yang telah mendambakan kehadiran anak sekian lama, di hati Nabi Ibrahim muncul cabang cinta yang lain ketika lahir anak pertamanya.

 

Dalam kondisi hati yang mulai mendua inilah, Allah ﷻ mengujinya dengan mewahyukan titah lewat alam mimpi kepada Nabi Ibrahim dalam penampakan dirinya sedang menyembelih sang anak.
Tujuan dari perintah itu tak lain adalah untuk menguji kesetiaan cinta Nabi Ibrahim sebagai seorang Khalilullah yang pada akhirnya berhasil beliau buktikan. 

 

Dalam merunut hikmah ini, Ash-Shawi menulis:

 

وَكَانَ قَدْ سَأَلَ رَبَّهُ الوَلَدَ، فَلَمَّا وَهَبَهُ لَهُ, تَعَلَّقَتْ شُعْبَةٌ مِن قَلْبِهِ بِمَحَبَّتِه، فَجَاءَت غَيْرَةُ الخِلَّةِ تَنْزَعُهَا مِن قَلْبِ الخَلِيلِ، فَأَمَرَ بِذِبْحِ المَحْبُوبِ، لِتَظْهَرَ صَفَاءُ الخِلَّةِ وَعَدَمُ المُشَارَكَةِ فِيهَا حَيْثُ إِمْتَثَلَ أَمْرَ رَبِّهِ وَقّدَّمَ مَحَبَّتَهُ عَلى مَحَبَّةِ وَلَدِهِ

 

Artinya, “Nabi Ibrahim telah meminta seorang anak kepada Tuhannya, hingga tatkala Allah ﷻ memberikannya anak tersebut, tumbuh cabang cinta dari hati Ibrahim dengan mencintai sang anak. Maka datanglah kecemburuan Kekasih mencerabut rasa cinta itu. Allah ﷻ pun memberi perintah penyembelihan anak tercinta agar terbukti kemurnian cinta dan ketiadaan sekutu dalam cinta tersebut ketika Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Tuhan dan mendahulukan cinta-Nya atas cinta anaknya.”  (Syaikh Ahmad Ash-Shawi, Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain, [Jeddah: Darul Minhaj, 2020], Juz 3 Halaman 479).

 

Oleh sebab itu, di waktu Nabi Ibrahim sudah membuktikan tekadnya, Allah ﷻ mengganti sang putra dengan kambing karena tujuan dari mimpi itu adalah menguji kesetiaan cinta sang kekasih, bukan betul-betul perintah menyembelih putranya.

 

Tafsir lain yang tidak kalah mendalam sekaligus anti maisntream datang dari seorang pembesar sufi, yaitu Syaikh Ibnu Arabi. Dalam kitabnya Fushushul Hikam, Ibnu Arabi mendakwa bahwa Nabi Ibrahim ‘keliru’ dalam memahami mimpi yang datang kepadanya.

 

Jika Ash-Shawi dan sebagian besar ulama lainnya menafsirkan mimpi Nabi Ibrahim sebagai ujian kesetiaan kepada Allah ﷻ, Ibnu Arabi justru memahaminya sebagai ujian ilmu. Menurut Ibnu Arabi, penampakan putranya sebagai yang disembelih di alam mimpi adalah simbol yang perlu ditakwil lebih jauh.

 

Alasannya, mimpi adalah alam imajinatif yang menampilkan simbol-simbol, bukan peristiwa sebenarnya. Maka dari itu, simbol-simbol yang terlihat di dalam mimpi tidak seyogyanya diambil sebagaimana adanya, melainkan perlu dipahami makna yang ada di baliknya. Terkait pendapat ini Ibnu Arabi berkata:

 

اِعْلَمْ أيَّدنا الله وإيَّاك أنَّ إِبْراهيمَ الخَلِيلَ عَليهِ الصّلاةُ والسَّلامُ قَالَ لِابْنِهِ (إِنِّي أَرى فِي المَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ)، وَالمَنَاُم حَضْرَةُ الخَيَّالِ فَلَمْ يُعَبِّرْهَا، وَكَانَ كَبْشٌ ظَهَرَ فِي صُورَةِ ابْنِ إِبْراهيمَ فِي المَنَامِ، فَصَدَّقَ إِبْرَاهِيمُ الرُّؤْيَا، أَيْ لَمْ يُعَبِّرْهَا لِمَا تَعَوَّدَ بِهِ مِنَ الأَخْذِ عَنْ عَالَمِ المِثَال

 

Artinya, “Ketahuilah -semoga Allah menguatkan kami dan engkau- bahwasanya Ibrahim sang Khalil, berkata kepada putranya, ‘sesungguhnya aku melihat dalam mimpi sedang menyembelihmu’. Adapun mimpi adalah area khayal sedangkan beliau tidak menafsirkannya. Dalam mimpi tersebut, kambing yang dimaksudkan tampak dalam wujud putra Ibrahim, maka Ibrahim membenarkan (gambaran) mimpi, maksudnya dia tidak menafsirkannya karena telah terbiasa mengambil ilmu dari alam perumpaan.” (Syaikh Ibnu ‘Arabi, Fushushul Hikam, [Kairo: Daru Afaq, 2016], Halaman 85).

 

Oleh karenanya, Allah ﷻ berfirman, “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi” (Ash-Shafat: 105), bukan “Sungguh engkau benar dalam (menafsirkan) mimpi”. Bagi Ibnu Arabi, ungkapan itu adalah pertanda bahwa Ibrahim membenarkan gambaran mimpi tanpa tafsir yang memadai.

 

Penggantian tubuh sang putra dengan kambing oleh Allah ﷻ merupakan bukti bahwa kambing itulah yang Allah maksudkan di dalam mimpi Nabi Ibrahim. Artinya, penggantian kambing itu adalah penegasan dari Allah ﷻ atas salah tangkapnya Nabi Ibrahim as atas isyarat mimpi yang sampai kepadanya. Ibnu ‘Arabi menyatakan:

 

ثُمَّ قّالّ (هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ المُبِينُ) أَي الإِخْتِبَارُ المُبِينُ -أي الظَّاهِرُ, يَعْنِي الإِخْتِبَارَ فِي العِلْمِ: هَلْ يَعْلَمُ مَا يَقْتَضِيهِ مَوْطِنُ الرُّؤْيَا مِنَ التَّعْبِيرِ أّْم لَا؟... فَغَفَلَ فَمَا وَفَّى المَوْطِنَ حَقَّهُ

 

Artinya, “Kemudian Allah berfirman ‘sungguh ini adalah cobaan yang nyata’, maksudnya ujian yang nyata, yaitu ujian dalam ilmu: apakah Ibrahim mengetahui tafsir wilayah mimpi atau tidak? … Maka Ibrahim lupa dan tidak menyempurkan hak wilayah mimpinya.” (Syaikh Ibnu ‘Arabi, Fushushul Hikam..., halaman 86).

 

Namun begitu, luputnya Nabi Ibrahim dari menafsirkan mimpi sesungguhnya muncul justru karena terlalu dekatnya beliau dengan Allah ﷻ. Kedekatan yang sangat dekat tersebut membuat Nabi Ibrahim memahami mimpi yang sampai kepada beliau sebagai perintah pengorbanan yang terberat, yaitu mengorbankan putra yang sangat ia cintai.

 

Syaikh Shainuddin Ali bin Muhammad At-Turkah dalam syarah Fushushul Hikam (Qum: Mathba’ah Amir, 1420 H) halaman 353 menjelaskan bahwa tujuan pengujian ini adalah penguatan sisi keilmuan Ibrahim sebagai seorang Nabi. Melalui peristiwa ini Allah ﷻ berkehendak untuk memperingati Nabi Ibrahim agar kedekatan dengan-Nya tidak membuat beliau lalai dari landasan ilmu dalam memulai setiap tindakan.

 

Meskipun tampak berbeda, kedua tafsir tersebut memberikan hikmah yang mendalam kepada kita. Dari Tafsir Ash-Shawi, kita memahami bahwa kedekatan cinta dengan Allah ﷻ mensyaratkan kemauan untuk melakukan pengorbanan yang besar. Namun demikian, diungkapkan Ibnu Arabi, jangan sampai aspek spiritualitas kita menghalangi kita dari menggunakan landasan ilmu yang tepat.

 

Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy.