Tafsir

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 58: Dosa dan Azab akibat Sakiti Orang Lain

Sel, 30 Januari 2024 | 18:00 WIB

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 58: Dosa dan Azab akibat Sakiti Orang Lain

Menyakiti orang. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab [33] ayat 58, Allah melarang umat Islam untuk menyakiti orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa kesalahan yang mereka perbuat. Ayat ini juga mengingatkan bahwa orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin tanpa kesalahan akan menanggung kebohongan dan dosa yang nyata. Allah berfirman: 


وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ࣖ


Artinya: "Orang-orang yang menyakiti mukminin dan mukminat, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, sungguh, mereka telah menanggung kebohongan dan dosa yang nyata."


Tafsir Al-Misbah

Profesor Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Misbah, Volume XI, halaman 318 menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan, menyakiti orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa kesalahan yang mereka perbuat, adalah perbuatan yang dosa. Mereka telah melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama Islam.


Lebih lanjut, sejatinya orang-orang mukmin adalah pengikut-pengikut Nabi yang mencintai beliau serta yang beliau cintai. Maka menyakiti orang mukmin berarti pula menyakiti Rasul saw. Karena itu ayat ini melanjutkan bahwa: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat yang sempurna imannya apalagi tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan yang melampaui batas dan dosa yang nyata."


Tafsir Al-Azhar

Sementara Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar, Jilid VIII, halaman 5776 menjelaskan bahwa ayat ini lanjutan dari ayat sebelumnya [Al-Ahzab ayat 57], yang menjelaskan bahwa menyakiti Allah dan Rasul berarti tidak menghormati mereka dengan tidak menjalankan perintah-perintah, atau menghina dan mencela. Hal ini belumlah cukup, seorang Mukmin juga harus menjauhi menyakiti sesama Mukmin. Jangan sampai hati orang Mukmin tersakiti.


Sudah jelas, bahwa kita tidak dapat hidup sendiri menyembah Allah dengan memutuskan hubungan dengan orang lain. Keindahan beribadah hanya dapat dilaksanakan jika kita juga berbuat baik kepada orang lain sesama mukmin. Selama hubungan sesama Mukmin masih belum lancar, selama kita hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli kepada orang lain, selama itu pula jiwa kita tidak akan tenang.


Terlebih lagi, janganlah kita membuat-buat cerita yang tidak benar, mengarang-ngarang kebohongan, atau menyebarkan fitnah. Semua itu termasuk dalam kategori menyakiti. Orang-orang yang menyakiti sesama mukmin itu, tukang-tukang fitnah yang membuat kabar bohong untuk memburukkan orang lain dan merugikan mereka, adalah memikul kebohongan.


Lebih lanjut, membicarakan keburukan orang lain di balik belakangnya, meskipun hal itu benar kesalahannya, itu adalah gunjing atau umpat. Karena meskipun hal itu benar kesalahannya, namun tidaklah ada orang yang senang kalau keburukannya dipaparkan di balik belakangnya.


Tafsir Marah Labib

Pada sisi lain, Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Marah Labib, Jilid II, halaman 261, mengatakan bahwa penjelasan ayat 58 ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang larangan menyakiti orang-orang beriman, sedangkan bagian kedua menjelaskan tentang dosa yang akan diterima oleh orang yang menyakiti orang-orang beriman tersebut.


Untuk itu, orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat dengan perkataan atau perbuatan tanpa yang mereka kerjakan, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Kebohongan yang dimaksud adalah tuduhan keji yang tidak benar. Dosa yang nyata adalah dosa yang tampak jelas dan nyata, yaitu dosa menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat.


Dosa ini akan mendapat hukuman di akhirat, yaitu berupa azab yang pedih. Oleh karena itu, kita harus menjauhi perbuatan menyakiti orang lain, terutama orang-orang mukmin dan mukminat. Syekh Nawawi berkata;


وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِناتِ بقول أو فعل بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا أي بغير جناية يستحقون بها الأذية فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتاناً أي زورا وَإِثْماً مُبِيناً (٥٨) ، أي ذنبا ظاهرا موجبا للعقاب في الآخرة.


Artinya: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat dengan perkataan atau perbuatan tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 58), maksudnya dosa yang tampak jelas dan mendatangkan hukuman di akhirat."


Lebih lanjut, Syekh Nawawi menyebutkan setidaknya ada tiga penyebab turunnya ayat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang menyakiti Sahabat Ali, dan menyebutnya dengan nama yang tidak baik. 


Sementara itu, pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang membuat fitnah terhadap Aisyah dan Shafwan [hadits al-ifki]. Hadits al-ifki adalah hadits yang menceritakan peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah binti Abu Bakar, istri Nabi Muhammad saw. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 Hijriah, ketika Aisyah sedang dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah bersama rombongan haji.


Dalam perjalanan tersebut, Aisyah tertinggal dari rombongan karena sakit. Ketika itu, ia ditemani oleh seorang pelayan bernama Shafwan bin Mu'atthal. Shafwan adalah seorang laki-laki yang bertubuh besar dan kuat. Ketika Aisyah tertinggal, Shafwan menawarkan diri untuk membantunya.


Sesampainya di Madinah, Aisyah disambut oleh rombongan yang telah mendahuluinya. Namun, ada beberapa orang yang menyebarkan fitnah bahwa Aisyah telah berzina dengan Shafwan. Fitnah ini menyebar dengan cepat dan menyebabkan Aisyah menjadi terhina.


Nabi Muhammad saw sangat terpukul dengan fitnah tersebut. Beliau tidak percaya bahwa Aisyah telah berbuat zina. Namun, beliau juga tidak dapat berbuat apa-apa untuk membela Aisyah karena tidak ada bukti yang dapat membuktikan kebenaran fitnah tersebut.


Setelah beberapa hari, Allah swt menurunkan surat An-Nur ayat 11-21 untuk membela Aisyah. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah SWT menyatakan bahwa Aisyah adalah wanita yang suci dan tidak bersalah.


Peristiwa hadits al-ifki merupakan ujian berat bagi Aisyah. Namun, Aisyah berhasil melewati ujian tersebut dengan kesabaran dan ketabahannya. Beliau tetap menjaga kehormatannya dan tidak pernah marah kepada orang-orang yang telah menyebarkan fitnah tersebut.  


Pendapat ketiga mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan pezina yang mengikuti para wanita saat mereka keluar pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena ayat ini menyebutkan larangan untuk memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Hal ini sesuai dengan perbuatan para pezina yang menggoda wanita dengan memanggilnya dengan nama yang tidak baik.


Para wanita yang menjadi korban pelecehan seksual ini kemudian mengadukan hal ini kepada suami mereka. Suami mereka kemudian menceritakan hal ini kepada Rasulullah saw. Maka turunlah ayat ini sebagai peringatan bagi umat Islam untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dalam Islam, termasuk pelecehan seksual. [Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, Jilid II, Beirut; Dar Kutub Ilmiyah, 1417 H], halaman 261. 


Dengan memahami tafsir Surah Al-Ahzab ayat 58 ini, kita diharapkan menjadi pribadi yang lebih baik. Kita diajarkan untuk senantiasa berlaku baik kepada sesama, menjaga lisan dan perbuatan, serta menyebarkan kebaikan dan kasih sayang di lingkungan sekitar.


Marilah bersama-sama wujudkan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam, di mana hak asasi dihargai, rasa kasih sayang dijunjung tinggi, dan saling menyakiti dijauhi. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga kesucian hati dan perbuatan, serta dicintai oleh Allah swt.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat