Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 134: Balasan Berdasarkan Amal, Bukan Keturunan

Jumat, 30 Agustus 2024 | 19:30 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 134: Balasan Berdasarkan Amal, Bukan Keturunan

Ilustrasi dosa. Sumber: Canva/NU Online

Pada ayat-ayat sebelumnya (mulai dari ayat 124 Al-Baqarah) Allah telah memuji, dan menyanjung Nabi Ibrahim as beserta keturunannya, serta mencela orang-orang yang tidak mengikuti jejak langkah mereka. 


Hal tersebut tentunya berkemungkinan besar akan menjadikan orang-orang yang terbujuk dan terbuai berkata, “Meskipun kami berbuat salah, namun kami akan mendapatkan jalan keselamatan karena kedudukan mulia nenek moyang kita.”


Oleh karena alasan itu, dalam ayat 134 surat Al-Baqarah Allah menegaskan bahwa balasan itu tergantung pada amal perbuatan, bukan berdasarkan ketergantungan pada seseorang.


Berikut adalah teks, transliterasi, terjemah dan kutipan beberapa tafsir ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 134:


تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۝١٣٤


tilka ummatung qad khalat, lahâ mâ kasabat wa lakum mâ kasabtum, wa lâ tus'alûna ‘ammâ kânû ya‘malûn


Artinya: “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 134)


Ragam tafsir surat Al-Baqarah ayat 134

Secara garis besar, surat al-Baqarah ayat 134 ini memuat bahasan utama perihal tidak adanya siksaan bagi seseorang atas dosa yang dilakukan oleh orang lain. Artinya, setiap orang yang melakukan dosa harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.


Tafsir Al-Qurthubi

Menurut Imam Qurthubi, dalam ayat ini terkandung argumentasi yang menunjukkan bahwa amal dan perbuatan itu disandarkan kepada seorang hamba, meski (pada hakikatnya) Allah lah yang menakdirkan amal dan perbuatan tersebut. 


Lebih lanjut, Imam Qurthubi menyatakan bahwa jika suatu perbuatan adalah perbuatan baik, maka itu terjadi karena anugerah dari Allah. Namun, jika perbuatan tersebut adalah perbuatan buruk, maka itu terjadi karena keadilan Allah. Pendapat ini dipegang oleh kelompok Ahlussunnah. Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang mengandung makna serupa.


Menurut Qurthubi, seorang hamba adalah pelaku dari perbuatannya. Artinya, Allah telah menciptakan kemampuan dalam diri hamba tersebut untuk melakukan perbuatan. Dengan ini, dapat dibedakan antara gerakan yang didasari oleh kehendak pribadi dan gerakan yang merupakan ketetapan dari Allah. Kemampuan yang dimiliki seorang hamba inilah yang menjadi dasar dari taklif (pembebanan kewajiban).


Selanjutnya, Imam Qurthubi juga menyebutkan bahwa kelompok Jabariyyah menolak keberadaan kehendak manusia dalam berbuat. Pendapat tersebut menggambarkan manusia seperti tumbuhan yang ditiup angin. Sementara itu, kelompok Qadariyyah dan Mu’tazilah memiliki pandangan yang berbeda; mereka berpendapat bahwa seorang hamba adalah sosok yang menciptakan perbuatannya sendiri.


Adapun yang dimaksud dari frasa, وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ adalah tidaklah seseorang dihukum karena dosa seorang lainnya. Menurut Imam Qurthubi, frasa tersebut senada dengan firman Allah dalam surat Al-Fathir ayat 18, yang berbunyi:


وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ ۝١٨

wa lâ taziru wâziratuw wizra ukhrâ, 


Artinya, “Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-Fathir: 18)


Maksudnya, seseorang tidak akan membawa beban orang lain. (Imam Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyyah, 1964], jilid II, hal. 139)


Tafsirul Munir

Syekh Wahbah dalam kitab tafsirnya, Tafsirul Munir, mengatakan bahwa dalam ayat ini terdapat suatu dalil bahwa seseorang tidak disiksa lantaran dosa orang lain. Hal ini, menurut Syekh Wahbah sebagaimana yang dinyatakan juga oleh surat al-An’am ayat 164 ini, yang berbunyi:


وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ ۝١٦٤


wa lâ taziru wâziratuw wizra ukhrâ, 


Artinya, “Seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)


Lebih lanjut, Syekh Wahbah, dengan mengutip pendapat Imam Al-Jashash, yang menyatakan bahwa dalam ayat ini terdapat tiga petunjuk. Salah satunya adalah bahwa anak tidak mendapatkan pahala dari ibadah orang tuanya dan tidak dihukum karena dosa-dosa mereka.


Menurut Al-Jashash, ayat ini juga menolak pandangan mazhab yang berpendapat bahwa anak-anak dari kaum musyrikin dapat disiksa karena dosa orang tua mereka, serta menolak pandangan sebagian orang Yahudi yang beranggapan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa mereka karena kesalehan nenek moyang mereka. Allah telah menyinggung konsep ini dalam ayat-ayat lain yang sejalan, misalnya dalam firman-Nya:


وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ اِلَّا عَلَيْهَاۚ


wa lâ taksibu kullu nafsin illâ ‘alaihâ


Artinya, “Setiap orang yang berbuat dosa, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab.” (QS. Al-An’am: 164)


وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ ۝١٦٤


wa lâ taziru wâziratuw wizra ukhrâ


Artinya, “Seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)

 

Kemudian dalam firman-Nya yang serupa, yaitu surat An-Nur ayat 54, yang berbunyi:

 

فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَّا حُمِّلْتُمْۗ ۝٥٤


fa in tawallau fa innamâ ‘alaihi mâ ḫummila wa ‘alaikum mâ ḫummiltum


Artinya, “Jika kamu berpaling, sesungguhnya kewajiban Rasul (Nabi Muhammad) hanyalah apa yang dibebankan kepadanya dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu.” (QS. An-Nur: 54)


Nabi juga telah menjelaskan hal ini ketika beliau bersabda kepada Abu Rimtsah sewaktu beliau melihatnya bersama putranya, “Apakah dia anakmu?” la pun menjawab, “Ya.” Beliau saw. lantas bersabda:


أما إنه لا يجني عليك، ولا تجني عليه


Artinya, “Ketahuilah bahwa ia tidak berbuat kesalahan yang dosanya kau tanggung dan kau pun tidak berbuat kesalahan yang dosanya ia tanggung.” (HR. Abu Daud)


Hadits di atas menegaskan prinsip bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Hal ini memperkuat konsep keadilan dan tanggung jawab pribadi dalam Islam, di mana setiap orang harus berusaha keras dengan amal baiknya sendiri untuk mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah, tanpa bergantung pada keistimewaan duniawi atau keturunan mereka. Rasulullah juga pernah bersabda:


من بطّأ به عمله لم يسرع به نسبه


Artinya, “Siapa pun yang dilambatkan oleh amal buruknya (untuk mencapai derajat kebahagiaan di akhirat) maka kemuliaan nasabnya tidak dapat membantunya apa-apa.” (HR. Muslim) (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991], jilid II, hal. 326)


Tafsir At-Tahrir wat Tanwir

Syekh Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsirnya, At-Tahrir wat Tanwir mengatakan bahwa alasan dari mengapa ayat-ayat sebelumnya (dari mulai ayat 124 al-Baqarah) diiringi dengan ayat 134 ini adalah karena pada ayat-ayat sebelumnya terkandung pujian bagi Nabi Ibrahim dan keturunannya, serta sanjungan terhadap keadaan mereka, dan celaan bagi orang-orang yang tidak mengikuti jejak mereka.
 

Hal ini bisa saja membuat orang-orang tergoda dan terbuai, berpikir, “Meskipun kami berbuat salah, kami tetap akan selamat karena kedudukan mulia nenek moyang kami.” Oleh karena itu, ayat 134 disebutkan setelah ayat-ayat sebelumnya untuk mengingatkan bahwa balasan di sisi Allah bergantung pada amal perbuatan individu, bukan pada ketergantungan terhadap seseorang, termasuk nenek moyang.

 

Adapun khithab (objek pembicaraan) dalam ayat ini, menurut Syekh Ibnu ‘Asyur, ditujukan kepada orang Yahudi. Sehingga, maksudnya kira-kira begini:


لَا يَنْفَعُكُمْ صَلَاحُ آبَائِكُمْ إِذَا كُنْتُمْ غَيْرَ مُتَّبِعِينَ طَرِيقَتَهُمْ


Artinya: “Kesalehan nenek moyang kalian tidak memberi manfaat sama sekali pada kalian Ketika kalian tidak mau mengikuti ‘jalan’ yang mereka tempuh.” (Tafsir at-Tahrir wat Tanwir, [Tunisia: Ad-Daru At-Tunisia, 1984], jilid I, hal. 735).


Tafsir Al-Misbah

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyatakan bahwa setelah ayat sebelumnya menegaskan Bani Israil sebenarnya telah melanggar wasiat para leluhur mereka dan menyembah selain Tuhan mereka, maka ayat ini menjelaskan bahwa “Itu adalah umat yang telah berlalu lama sekali sebelum kamu, kalian tidak mungkin menyaksikannya.


Lebih lanjut, Prof Quraish juga mengatakan bahwa ayat 134 ini memberi isyarat bahwa garis keturunan yang menghubungkan orang-orang Yahudi sampai kepada Ya'qub dan Ibrahim tidak akan berguna untuk mereka. 


Menurut pakar tafsir Indonesia tersebut, hal ini disebabkan karena amal perbuatan mereka tidak sesuai dengan amal perbuatan para nabi tersebut. Setiap individu akan menerima balasan berdasarkan amal perbuatannya, bukan berdasarkan garis keturunan. (Prof. Quraish, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], jilid II, hal. 333). 


Berdasarkan paparan di atas, kita dapat memahami bahwa ayat 134 ini menegaskan tidak ada seseorang yang akan disiksa karena dosa yang dilakukan oleh orang lain. Setiap individu bertanggung jawab atas dosanya sendiri.


Selain itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa amal dan perbuatan disandarkan kepada hamba, meskipun pada hakikatnya Allah yang menentukan amal dan perbuatan tersebut.


Jika amal perbuatan itu baik, maka hal itu terjadi karena anugerah dari Allah SWT. Namun, jika amal perbuatan itu buruk, maka hal itu terjadi karena keadilan Allah. Wallahu a’lam.

​​​​​​​


M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah