Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 223: Istri adalah Ladang bagi Suaminya

Sen, 3 Juni 2024 | 21:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 223: Istri adalah Ladang bagi Suaminya

Suami dan istri. (Foto: NU Online/Freepik)

Berdasarkan sejarah umat manusia, kecenderungan suami terhadap istri dimulai semenjak Hawa diciptakan sebagai pasangan Adam as di dalam surga. Kemudian setelahnya, dari keduanya, Allah swt memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan melalui sistem khusus. Yakni seperti menanam bibit tanaman di ladang atau lahan yang kemudian tumbuh menjadi tanaman yang banyak.


Bukti yang menegaskan tentang sistem tersebut termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 223. Secara global, ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan istri bagi suaminya bagaikan ladang yang boleh ditanami dari mana saja. Dengan catatan, bahwa istri tidak dalam kondisi datang bulan. Sebab pada ayat sebelumnya, Allah melarang seorang suami menggauli istrinya ketika haid. 


Berikut teks, terjemahan dan beberapa tafsiran ulama terhadap Surat Al-Baqarah ayat 223:


نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ


Nisâ'ukum ḫartsul lakum fa'tû ḫartsakum annâ syi'tum wa qaddimû li'anfusikum, wattaqullâha wa‘lamû annakum mulâqûh, wa basysyiril-mu'minîn


Artinya: “Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin.


Ragam Tafsir


Tafsir Mafatihul Ghaib

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya, Mafatihul Ghaib, menjelaskan tafsir ayat tersebut dengan membaginya menjadi 3 masalah:

1.    Asbabunnuzul. Ulama menyebutkan bahwa terdapat 3 asbabunnuzul dari ayat ini:

  • Diriwayatkan bahwasanya orang-orang Yahudi berkata, “Siapa saja yang bersetubuh dengan istri melalui kemaluannya, akan tetapi dari arah belakang, maka anak yang lahir dari persetubuhan itu, memiliki penyakit juling dan idiot.” Apa yang mereka sampaikan tersebut sampai kepada Rasulullah saw kemudian direspon, “Mereka telah berbohong.” Lalu turun ayat di atas.
  • Ibnu Abbas ra meriwayatkan, bahwa Umar datang kepada Nabi Muhammad Saw sembari berkata, “Celakalah aku, wahai Rasullullah.” Sambil menceritakan kisahnya yang menyetubuhi istrinya dari arah belakang. Kemudian turun ayat di atas.
  • Bahwasanya orang-orang Anshar mengingkari adanya seorang laki-laki yang bersetubuh dengan istri melalui kemaluannya akan tetapi dari arah belakang. Mereka mengambil referensi dari perkataan orang-orang Yahudi. Selain itu juga, orang-orang Quraisy melakukan hal yang sama, maka orang Anshar pun tidak menyukainya. Lalu, turunlah ayat di atas.


2.    Pengertian “ḫartsul lakum”. Fakhruddin ar-Razi menjelaskan bahwa makna “ḫartsul lakum” dalam ayat tersebut adalah ladang dan tempat menanam sesuatu. Hal ini ditinjau dari segi perumpamaan. Sedangkan secara spesifik, kemaluan istri bagaikan tanah dan air mani suami sebagai benih. Begitu juga anak, diumpamakan seperti tanaman yang tumbuh. Sehingga dapat disimpulkan, maknanya adalah,


نِسَاؤُكُمْ ذَوَاتُ حَرْثٍ لَكُمْ فِيهِنَّ تَحْرُثُونَ لِلْوَلَدِ 


Artinya: “Istri-istri kalian itu punya ladang untuk kalian, kepada mereka kalian bisa bercocok tanam agar memperoleh anak (keturunan).”


3. Pemahaman mayoritas ulama. Selanjutnya, Ar-Razi menjelaskan pemahaman ulama berkenaan dengan ayat di atas, bahwa maknanya adalah seorang suami mempunyai kebebasan dalam menggauli istrinya, baik dari arah belakang maupun depan. Dengan catatan, tetap melalui kemaluan. Sebab dalam sebuah hadits dijelaskan:


لَا تؤتوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ


Artinya: “Janganlah kalian menggauli istri-istri kalian dari belakang mereka (anus).” (HR. Ahmad) (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya’ At-Turats, 1999], juz 6, halaman 421-422) 


Tafsir Marah Labid

Selanjutnya, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut secara umum dalam kitab tafsirnya, Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud ladang adalah kemaluan istri, yakni ladang untuk menanam bakal calon bayi.


Sedangkan kalimat, “Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai” maknanya adalah seorang suami bebas menggauli istrinya dari arah mana saja yang ia kehendaki. 


Selanjutnya, Asbabunnuzul dari ayat ini adalah perkataan orang-orang Yahudi yang menganggap kalau suami bersetubuh melalui kemaluan istrinya dari arah belakang, bisa berakibat pada kecacatan anak ketika lahir. Mereka berasumsi bahwa hal itu bersumber dari kitab Taurat. Namun Rasulullah saw merespon bahwa apa yang mereka katakan tidak benar.


Lalu, maksud dari “Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu” pada ayat di atas adalah mengutamakan amal yang baik untuk diri sendiri, seperti membaca bismillah sebelum bersetubuh. Syekh Nawawi mengutip Hadits dari Nabi saw,


من قال بسم الله عند الجماع فأتاه ولد فله حسنات بعدد أنفاس ذلك الولد وعدد عقبه إلى يوم القيامة


Artinya: “Siapa saja yang membaca bismillah ketika hendak bersetubuh, maka ia akan memperoleh ganjaran kebaikan sesuai dengan jumlah hembusan nafas dari anak (yang lahir akibat persetubuhan itu) dan jumlah keturunan setelahnya sampai hari kiamat.”


Selain itu, maksud dari “Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu” dalam ayat tersebut adalah mendahulukan hal-hal yang bisa menjadi pahala dan menjauhkan diri dari mengikuti syahwat. “Bertakwalah kepada Allah” yakni hendaknya bertakwa kepada Allah dalam menggauli istri, berusaha mengontrol diri ketika ia sedang haid. (Nawawi al-Bantani, Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1997] juz 1, halaman 78)


Tafsir Maturidi

Syekh Abu Mansur al-Maturidi menafsirkan ayat tersebut dalam kitab Ta’wilat Ahlissunnah atau yang masyhur dengan Tafsir Maturidi. Ia menjelaskan bahwa kata “hartsu” pada ayat di atas bermakna tanaman. 


Dalam ayat tersebut juga, terdapat dalil larangan untuk menarik diri dari istri yang diumpamakan sebagai tanaman. Sebab apabila ditinggalkan, maka ia menjadi tidak bermanfaat, tidak terawat, dan hancur dengan sendirinya.


Begitupun, dalam ayat tersebut mengindikasikan adanya dalil kebolehan merayu istri untuk meminta keturunan. Bukan hanya bertujuan memenuhi hasrat hawa nafsu. Hal ini yang menjadi landasan, kalau istri bagaikan ladang untuk suaminya.


Selain itu, pada ayat di atas juga merupakan dalil bahwa menggauli istri pada selain tempatnya (kemaluan) itu tidak boleh (haram). Banyak atsar yang membahas hal ini, bahkan perbuatan demikian disebut sebagai tindakan kaum Luth dalam skala kecil. 


Dengan alasan adanya larangan menyetubuhi istri dari arah belakang (anus). Karena dalam sebagian akhbar dijelaskan, kalau menggauli istri dari bagian belakang tersebut, termasuk kategori kufur nikmat.


Kemudian makna “Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai” dalam ayat tersebut adalah bagaimanapun dan dari arah mana saja yang suami kehendaki terhadap istrinya itu diperbolehkan. 


Selanjutnya, tidak masalah jika suami menarik diri dari istrinya. Dengan catatan, istri tersebut mengizinkan suaminya bertindak seperti itu. 


Perintah yang ada dalam ayat ini berlaku untuk suami yang menginginkan keturunan, bukan hanya sekedar menuruti syahwat. (Abu Mansur al-Maturidi, Ta’wilat ahlissunnah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 2005] juz 2, halaman 138)


Demikianlah penjelasan tentang istri bagaikan ladang untuk suaminya. Dalam hal ini, suami berhak bercocok-tanam pada istri. Ia diperkenankan mendatanginya dari mana saja yang ia kehendaki dengan tujuan meminta keturunan, melalui tempat yang sudah ditentukan. Selain itu juga, ayat ini adalah respon terhadap perkataan orang-orang Yahudi berkaitan dengan istri yang digauli dari arah belakang. Wallahua’lam


Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta