Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 27

Jum, 16 Oktober 2020 | 22:15 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 27

Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil karya Imam Al-Baidhawi mengatakan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 27 menjelaskan celaan dan penegasan kefasikan orang-orang fasik.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat Al-Baqarah ayat 27:


الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ


Alladzīna yanqudhūna ‘ahdallāhi min ba‘di mītsāqih, wa yaqtha‘ūna mā amarallāhu bihī an yūshala wa yufsidūna fil ardhi, ulā’ika humul khāsirūna.


Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang membatalkan perjanjian Allah sesudah ikatan itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Surat Al-Baqarah ayat 27).


Ragam Tafsir

Tafsir Jalalain menyebutkan bahwa Allah dan mereka telah mengadakan perjanjian di dalam kitab-kitab suci yang telah diturunkan untuk beriman kepada nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Kata “min ba‘di mītsāqih” atau “sesudah ikatan itu teguh” berarti ikatan itu dikuatkan oleh Allah terhadap mereka.


Mereka juga memutuskan hubungan yang seharusnya disambung, yaitu keimanan terhadap Nabi Muhammad SAW, silaturahmi, dan hubungan lainnya. mereka berbuat kerusakan melalui tindakan maksiat dan upaya menghalangi orang lain untuk beriman. Mereka yang memiliki sifat demikian terbilang golongan yang merugi karena kepulangan mereka kepada api neraka yang abadi.


Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil karya Imam Al-Baidhawi mengatakan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 27 menjelaskan celaan dan penegasan kefasikan orang-orang fasik. Kata “an-naqdhu” berarti perusakan terhadan susunan sesuatu. Kata “al-‘ahdu” atau perjanjian adalah suatu ikatan dan ditempatkan sebaik-baiknya untuk diperihara dan dijaga seperti wasiat dan sumpah.


Kata ini juga berarti rumah atau sejarah yang terpelihara. Tetapi perjanjian di sini dapat berarti akal, yaitu hujjah Allah terhadap para hamba-Nya yang menunjukkan keesaan, kepastian eksistensi, dan kebenaran utusan-Nya.


Bisa jadi perjanjian itu adalah para rasul atas umatnya masing-masing di mana Allah mengirim utusan-Nya yang dibenarkan dengan mukjizat untuk diimani dan diikuti. Sedangkan mereka tidak menyembunyikan perintah-Nya dan melanggar hukum-Nya sebagaimana isyarat pada Surat Ali Imran ayat 81.


Imam Al-Baidhawi mengutip sebagian ahli tafsir yang menyebutkan 3 janji Allah, yaitu janji-Nya terhadap semua keturunan Adam AS untuk mengakui ketuhanan-Nya, janji-Nya terhadap para nabi untuk menegakkan agama dan tidak membeda-bedakannya, dan janji-Nya terhadap ulama untuk menerangkan kebenaran dan tidak menyembunyikannya.


Hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambung kemudian diputuskan oleh mereka, kata Imam Al-Baidhawi, mengandung setiap pemutusan yang tidak diridhai Allah, seperti memutuskan tali silaturahmi, berpaling dari jalan orang-orang yang beriman, pembedaan terhadap para nabi serta kitab-kitab suci, meninggalkan shalat berjamaah yang diwajibkan, dan segala bentuk penolakan terhadap kebaikan.


Pemutusan hubungan dalam Surat Al-Baqarah ayat 27 ini, kata Imam Al-Baidhawi, dapat berbentuk perbuatan keburukan atau kejahatan yang dapat memutuskan hubungan antara Allah dan hamba-Nya.


Adapun kerusakan yang mereka buat adalah keengganan mereka untuk beriman, olok-olok mereka terhadap kebenaran, dan pemutusan hubungan yang menjadi pijakan struktur dan kemaslahatan alam.


Mereka, kata Imam Al-Baidhawi, adalah kelompok yang merugi karena mengabaikan pertimbangan akal pikiran dan mengabaikan pilihan yang bermanfaat kepada mereka dalam kehidupan yang kekal. Mereka merugi karena memilih pengingakaran dan penyangkalan terhadap ayat Al-Qur’an daripada mengimaninya; memilih pengingkaran janji daripada memikirkan hakikat ayat-ayat Al-Qur’an dan mengambil cahayanya; memilih kerusakan daripada kemaslahatan; dan memilih siksa daripada pahala.


Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang terkenal mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 27 menjelaskan sifat orang kafir yang bertentangan dengan sifat orang beriman. Ia mengutip perbedaan pandangan ulama tafsir perihal makna “perjanjian Allah” yang dilanggar oleh orang-orang fasik.


Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip Muqatil bin Hayan bahwa mereka adalah orang yang merugi di akhirat sebagaimana dijelaskan oleh Surat Ar-Ra’du ayat 25. Sementara Sayyidina Ibnu Abbas RA dari Ad-Dhahhak mengatakan, semua sebutan dinisbahkan Allah kepada non-muslim dengan istilah “khasir” atau orang yang merugi. Sedangkan yang disnisbahkan Allah kepada muslim adalah orang yang berdosa.


Imam Ibnu Katsir mengutip Imam At-Thabari bahwa orang yang merugi adalah orang yang mengurangi rahmat Allah untuk dirinya melalui maksiat sebagaimana orang yang merugi modalnya dalam aktivitas jula beli. Demikian juga orang kafir dan orang munafik yang merugi karena luput dari rahmat Allah yang disiapkan bagi hamba-Nya pada hari kiamat di mana semua orang lebih membutuhkan rahmat-Nya tersebut.


Adapun Tafsir Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil karya Imam Al-Baghowi menyebutkan, kata “membatalkan” berarti melanggar dan meninggalkan. Asal kata “yanqudhuna atau an-naqdhu” bermakna “memecahkan.” Sedangkan perjanjian Allah adalah perintah Allah yang menjadi ikatan di hari perjanjian, “Alastu bi rabbikum? Qālū, ‘Balā,’” sebagaimana tersebut dalam Surat Al-A’raf ayat 172.


Sebagian ahli tafsir, kata Imam Al-Baghowi, berpendapat “perjanjian” yang dimaksud adalah janji Allah dengan para nabi dan semua umatnya untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapat pada Surat Ali Imran ayat 81. Tetapi sebagian ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa perjanjian Allah yang dimaksud adalah janji Allah yang tersebut di kitab Taurat agar mereka beriman dan menjelaskan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW.


Hubungan yang mereka putuskan, kata Imam Al-Baghowi, adalah keimanan terhadap Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya karena mereka beriman kepada sebagian nabi dan mengingkari sebagian nabi lainnya. Sementara orang yang beriman beriman kepada semua nabi tanpa membedakan satu sama lain sebagaimana Surat Al-Baqarah ayat 285. Tetapi ada juga ulama tafsir yang mengatakan bahwa hubungan yang mereka putuskan adalah hubungan silaturahmi.


Mereka berbuat kerusakan melalui maksiat, upaya menghalangi orang lain untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW, dan kepada Al-Qur’an. Sedangkan mereka yang merugi adalah mereka yang terpedaya dalam masalah ini. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)