Tafsir

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Prasangka Buruk dan Mencari-cari Kesalahan Orang Lain

Kamis, 25 Juli 2024 | 21:00 WIB

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Prasangka Buruk dan Mencari-cari Kesalahan Orang Lain

Prasangka buruk dan mencari kesalahan orang lain. (Foto: NU Online/Freepik)

Surat Al-Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang larangan berprasangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain. Dalam ayat ini, Allah swt mengingatkan bahwa banyak prasangka dapat berujung pada dosa, yang dapat merusak hubungan antar individu. Ketika seseorang mulai mencari-cari kesalahan orang lain, maka berpotensi merusak keharmonisan sosial dan menciptakan ketidakpercayaan. 


Dalam konteks ini, Allah mengajak kita untuk introspeksi dan berfokus pada memperbaiki diri daripada menghakimi orang lain. Simak firman Allah berikut:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ۝١٢


Yâ ayyuhalladzîna âmanujtanibû katsîran minadh-dhanni inna ba‘dladh-dhanni itsmun wa lâ tajassasû wa lâ yaghtab ba‘dlukum ba‘dlâ, a yuḫibbu aḫadukum ay ya'kula laḫma akhîhi maitan fa karihtumûh, wattaqullâh, innallâha tawwâbur raḫîm


Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."


Syekh Nawawi Banten dalam kitab Marah Labib, Jilid II, halaman 439 menjelaskan bahwa Surat Al-Hujurat ayat 12 menjelaskan pentingnya menjauhi banyak prasangka buruk. Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman, mengingatkan mereka untuk berhati-hati dan merenungkan setiap prasangka yang muncul dalam hati. Prasangka dapat memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan sosial dan spiritual seorang Muslim. 


Oleh karena itu, seorang Muslim seyoganya selalu memeriksa jenis prasangka yang mereka miliki, apakah prasangka tersebut memiliki dasar yang kuat atau tidak. Dengan demikian, mereka dapat menghindari prasangka buruk yang dapat merusak hubungan sosial dan mendatangkan dosa akibat prasangka negatif.


Lebih lanjut, Syekh Nawawi mengatakan bahwa tidak semua prasangka harus dihindari. Ada prasangka yang memang perlu diikuti, terutama prasangka baik dalam hubungannya dengan Allah. Umat Islam diajak untuk selalu berprasangka baik kepada Allah, karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Prasangka baik ini akan membawa ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup, serta memperkuat iman dan keyakinan kepada Allah.


Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman: 


 «أنا عند ظن عبدي بي فلا يظن بي إلّا خيرا»


Artinya; "Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka janganlah ia berprasangka kepada-Ku kecuali yang baik.


Hadits ini menegaskan betapa pentingnya prasangka baik kepada Allah. Ketika seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, ia akan merasakan kedamaian dan rahmat dari-Nya. Sebaliknya, prasangka buruk kepada Allah dapat menyebabkan kegelisahan dan keraguan. Oleh karena itu, umat Islam didorong untuk selalu menjaga prasangka baik, baik dalam hubungan mereka dengan Allah maupun dalam hubungan mereka dengan sesama manusia.


ومنه ما يحرم كالظن في الإلهيات والنبوات، وظن السوء بالمؤمن، ومنه ما يباح كالظن في الأمور المعاشية. إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ أي ذنب يستحق العقوبة وَلا تَجَسَّسُوا أي ولا تبحثوا عن عورات المسلمين.


Artinya; "Dan ada yang diharamkan, seperti prasangka dalam hal-hal ilahiah dan kenabian, dan prasangka buruk terhadap orang mukmin. Dan ada yang dihalalkan, seperti prasangka dalam hal-hal duniawi. "Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa" (Al-Hujurat: 12), yaitu dosa yang pantas dihukum. "Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain" (Al-Hujurat: 12), yaitu jangan mencari-cari aib orang Islam." [Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, Jilid II, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H] halaman 439].


Sementara itu Imam Thabari dalam kitab Tafsir Jami' al-Bayan, Jilid XXII, halaman 304 menjelaskan berprasangka buruk terhadap sesama mukmin. (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ) "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka!" . Hal ini dikarenakan prasangka buruk yang tidak berdasar dapat membawa dampak negatif, seperti perpecahan dan permusuhan. Lebih jauh lagi, prasangka buruk terhadap sesama Muslim, termasuk perbuatan dosa.


يقول: إن ظنّ المؤمن بالمؤمن الشرّ لا الخير إثم، لأن الله قد نهاه عنه، ففعل ما نهى الله عنه إثم


Artinya; "Dikatakan: Bahwa prasangka orang beriman terhadap orang beriman lainnya dengan keburukan, bukan kebaikan, adalah dosa. Karena Allah telah melarangnya. Dan melakukan apa yang dilarang Allah adalah dosa." [Imam Thabari, Tafsir Jami' al-Bayan, Jilid XXII, [Mekkah Mukarramah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt] halaman 304.]


Lebih lanjut, [اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ] ayat ini menunjukkan tidak semua prasangka dilarang. Prasangka yang baik, seperti berprasangka baik terhadap saudara seiman, adalah bagian dari etika yang dianjurkan dalam Islam. Prasangka baik dapat memperkuat ikatan persaudaraan dan menciptakan lingkungan yang harmonis dan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk senantiasa berprasangka baik terhadap sesama mukmin dan menghindari prasangka buruk yang bisa menimbulkan fitnah dan keretakan hubungan.


Sementara itu ayat [وَّلَا تَجَسَّسُوْا] artinya "Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain" maksudnya adalah Allah melarang keras perbuatan saling mengintip dan mencari aib orang lain. Perbuatan ini dikategorikan sebagai dosa, karena menunjukkan sikap tidak hormat dan mencampuri urusan pribadi yang tidak seharusnya. 


Kata "تجسّس" (tajassas) dalam ayat ini merujuk pada tindakan mencari-cari informasi tersembunyi tentang seseorang, baik dengan cara memata-matai, menyelidiki, ataupun mendengarkan pembicaraan mereka secara diam-diam. Tujuannya biasanya untuk mengetahui aib atau kekurangan mereka, agar bisa digunakan untuk menjatuhkan atau merendahkan mereka.


Lebih lanjut, Allah swt memerintahkan kita untuk fokus pada apa yang nampak di permukaan, dan cukuplah dengan itu untuk menilai seseorang. Kita tidak boleh berprasangka buruk atau menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas. Sikap saling menghormati dan menjaga privasi sangatlah penting dalam membangun hubungan persaudaraan yang erat dan harmonis di antara sesama Muslim.


Sebagai gantinya, kita dianjurkan untuk saling memaafkan dan menutupi aib saudara kita. Kita harus saling mengingatkan dengan cara yang baik jika melihat ada kekurangan pada diri mereka, bukan dengan cara menjelek-jelekkan atau menyebarkan aib mereka. Dengan demikian, tercipta suasana persaudaraan yang saling mendukung dan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama Muslim.


قوله (وَلا تَجَسَّسُوا) يقول: ولا يتتبع بعضكم عورة بعض، ولا يبحث عن سرائره، يبتغي بذلك الظهور على عيوبه، ولكن اقنعوا بما ظهر لكم من أمره، وبه فحمدوا أو ذموا، لا على ما لا تعلمونه من سرائره.


Artinya; "Katanya (Dan janganlah kamu saling mengintip), artinya: Janganlah di antara kamu mencari-cari aib orang lain, dan janganlah menyelidiki rahasianya dengan tujuan untuk mengetahui kekurangannya. Tapi puaslah dengan apa yang nampak dari keadaannya, dan dengan itu pujilah dia atau caci maki dia, janganlah kamu mencacinya dengan apa yang tidak kamu ketahui dari rahasianya." [Imam Thabari, Tafsir Jami' al-Bayan, Jilid XXII, [Mekkah Mukarramah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt] halaman 304].


Selanjutanya,  "(وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا)", artinya: Dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain" melarang manusia untuk membicarakan keburukan orang lain di belakang mereka. Hal ini dianalogikan dengan memakan daging saudara yang sudah mati, yang tentu saja menjijikkan dan tidak disukai.


عن أبي هريرة، قال: "سُئل رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم عن الغيبة، فقال: هُوَ أنْ تَقُولَ لأخِيكَ ما فِيهِ، فإنْ كُنْتَ صَادِقا فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإنْ كُنْتَ كاذِبا فَقَدْ بَهَتَّهُ"


Artinya; "Dari Abu Hurairah, dia berkata: "Rasulullah saw ditanya tentang ghibah, beliau bersabda: 'Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu apa yang ada padanya. Jika engkau benar, maka engkau telah menggunjingnya, dan jika engkau berbohong, maka engkau telah memfitnahnya," [HR. Muslim]


Lebih lanjut, larangan ghibah bukan hanya karena menjijikkan, tetapi juga karena memiliki konsekuensi negatif. Ghibah dapat merusak persaudaraan dan menumbuhkan kebencian antar sesama Muslim. Hal ini dapat memecah belah komunitas dan menghambat terjalinnya hubungan yang harmonis.


Oleh karena itu, Allah swt memerintahkan orang-orang beriman untuk saling menghormati dan menjaga kehormatan satu sama lain. Kita harus fokus pada kebaikan dan berusaha untuk saling memaafkan.


وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا: يقول: ولا يقل بعضكم في بعض بظهر الغيب ما يكره المقول فيه ذلك أن يقال له في وجهه. وبنحو الذي قلنا في ذلك جاء الأثر عن رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم 


Artinya; "(Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain) maksudnya, janganlah sebagian kamu mengatakan sesuatu yang tidak disukai oleh orang yang dibicarakan di belakangnya, yang jika dikatakan di hadapannya ia akan merasa tidak senang. Dan hal yang serupa dengan yang kami katakan ini telah datang dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam." [Imam Thabari, Tafsir Jami' al-Bayan, Jilid XXII, [Mekkah Mukarramah: Darul Tarbiyah wa Turats, tt] halaman 304].


Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk menjauhi ghibah dan menggantinya dengan sikap saling menghormati dan menjaga kehormatan diri sendiri maupun orang lain. Sebaiknya kita fokus pada memperbaiki diri sendiri dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Ingatlah bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat semua perbuatan kita, dan Dia akan memberikan balasan yang setimpal di hari akhirat.


Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menjelaskan, surat Al-Hujurat ayat 12 menekankan bahwa sebagian besar dugaan yang tidak berdasar dapat dianggap sebagai dosa, terutama jika itu adalah prasangka buruk terhadap orang lain. Dalam konteks ini, ayat tersebut melarang praktik dugaan yang tidak memiliki landasan yang kuat, karena hal ini bisa menjurus seseorang ke dalam perbuatan dosa. Dengan menghindari prasangka buruk, individu dapat menjalani kehidupan yang lebih tenang dan produktif, tanpa dibebani oleh keraguan atau kecurigaan terhadap orang lain. [Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid XIII, [Ciputat: Penerbit Lentera, 2002], halaman 254-255].


Pentingnya ayat ini terletak pada kemampuan untuk membentengi masyarakat dari tindakan yang didasari oleh prasangka. Dengan menekankan bahwa seseorang tidak boleh dianggap bersalah sebelum ada bukti yang kuat, prinsip keadilan dan objektivitas ditegaskan. Ini menciptakan lingkungan yang lebih harmonis, di mana individu dapat berinteraksi tanpa rasa takut atau cemas akan penilaian yang tidak adil.


Dalam konteks kehidupan sehari-hari, bisikan-bisikan buruk yang mungkin muncul dalam pikiran bisa saja ditoleransi, tetapi tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi dugaan yang merugikan. Rasulullah saw mengingatkan agar kita tidak meneruskan dugaan negatif ini, mengajak kita untuk bersikap lebih bijaksana dan kritis terhadap pikiran-pikiran tersebut. Dengan demikian, ajaran ini mendorong kita untuk selalu berprasangka baik dan menilai berdasarkan fakta yang ada.


Secara keseluruhan, tafsir ini menegaskan pentingnya menjaga pikiran dan hati dari prasangka buruk, serta berusaha untuk saling memahami dan menghargai. Dengan melaksanakan ajaran ini, kita berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik, di mana kepercayaan dan kerjasama dapat berkembang tanpa adanya gangguan dari dugaan yang tidak berdasar. Hal ini penting untuk membangun hubungan yang harmonis di antara sesama anggota masyarakat.


Lebih lanjut, surah Al-Hujurat ayat 12 juga melarang umat Islam untuk mencari-cari kesalahan orang lain, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai tajassus. Dalam ayat 12 tersebut,  kata ( تَجَسَّسُوْا ) tajassasu terambil dari kata  jassa, yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Larangan ini ditegaskan dengan analogi yang gamblang, yaitu ibarat memakan daging saudara yang sudah mati, suatu perbuatan yang menjijikkan dan terlarang.


Imam Ghazali menjelaskan bahwa larangan tajassus ini bermakna menghormati hak privasi setiap individu. Setiap orang berhak untuk menjaga kerahasiaannya, dan tidak boleh dipaksa untuk membuka apa yang ingin dirahasiakan. Upaya mencari-cari kesalahan orang lain biasanya berawal dari prasangka buruk, dan oleh karena itu dilarang dalam ayat ini.


Lebih lanjut, tajassus biasanya dilandasi oleh prasangka buruk terhadap orang lain. Hal ini dapat memicu kesalahpahaman dan perselisihan, sehingga tajassus dilarang secara umum. Namun, perlu dicatat bahwa dalam beberapa situasi tertentu, tajassus dapat dibenarkan, seperti untuk menjaga keamanan negara atau mencegah bahaya yang lebih besar.


Dengan demikian, pesan ayat ini jelas, bahwa anjuran untuk menjauhi prasangka buruk, jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan menghormati privasi orang lain. Ingatlah, setiap orang memiliki kekurangan dan aib, dan kita harus saling menutupi kekurangan tersebut, bukan malah berusaha mengungkapnya.


Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat