Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 12

Ahad, 14 Februari 2021 | 10:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 12

Surat An-Nisa ayat 12 berkaitan dengan hak waris.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 12:


وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ، وَصِيَّةً مِنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ 


Walakum nishfu mā taraka azwājukum in lam yakul lahunna waladun, fa in kāna lahunna waladun fa lakumur rubu’u mim mā tarakna mim ba’di washiyyatin yūshina bi hā aw dayn; wa lahunnar rubu’u mim mā taraktum in lam yakul lakum waladun, fa in kāna lakum waladun fa lahunnats tsumunu mim mā taraktum mim ba’di washiyyatin tūshūna bi hā aw dayn,; wa in kāna rajulun yūratsu kalālatan aw imra’atun wa lahū akhun aw ukhtun fa li kulli wāhidim minhumas sudus, fa in kānū aktsara min dzālika fa hum syurakā’u fits tsulutsi mim ba’di washiyyatin yūshā bi hā aw daynin ghaira mudhār, washiyyatam minallāh, wallāhu ‘alīmun halīmun 


Artinya, “Bagi kalian para suami adalah separo dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian bila mereka tidak mempunyai anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Dan bagi para istri mendapat seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak; bila kalian mempunyai anak, maka mereka mendapatkan seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan; setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar hutang kalian. Bila seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai satu orang saudara laki-laki (seibu) atau satu orang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mempunyai hak bagian sepertiga; setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan tidak merugikan. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”


Ragam Tafsir

Dalam Tafsir Al-Wasith Grand Syekh Universitas al-Azhar Muhammad as-Sayyid Thanthawi (1347-1431 H/1928-2010 M) menjelaskan, sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat 12 mencakup tiga pembahasan utama, yaitu  bagian waris suami, bagian waris istri dan dan bagian waris saudara seibu. 


Pembahasan pertama, berkaitan dengan bagian waris suami yang ada dua kondisi. Satu, bila istri tidak mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—secara mutlak, baik laki-laki atau perempuan, baik satu atau lebih, baik dari suami yang mewaris atau mantan suaminnya, maka suami mendapatkan bagian separo dari harta warisan istri. Dua, bila istri mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—, dengan perincian seperti sebelumnya, maka suami mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan istri.

 

Dalam dua kondisi ini, sisa harta warisan yang ada maka untuk ahli waris lainnya. Kemudian bagian warisan suami dapat diambil setelah pemenuhan wasiat atau hutang mayit bila memang ada. Semuanya sesuai dengan frasa: وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ “dan bagi kalian para suami adalah separo dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian bila mereka tidak mempunyai anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya.”


Pembahasan kedua, berkaitan dengan bagian waris istri yang juga ada dua kondisi. Satu, bila suami tidak mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—dengan perincian seperti pada pembahasan bagian waris suami, maka istri mendapatkan seperempat harta warisan yang ditinggalkan suami. Dua, bila suami mempunyai anak—termasuk pula mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—dengan perincian seperti sebelumnya, maka istri mendapatkan seperdelapan harta warisan yang ditinggalkan suami.


Dalam dua kondisi ini, sisanya untuk ahli waris lainnya. Pengambilan bagian warisan istri ini juga dilakukan setelah pemenuhan wasiat atau hutang mayit bila memang ada. Semuanya sesuai dengan frasa: وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ “dan bagi para istri mendapat seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak; bila kalian mempunyai anak, maka mereka mendapatkan seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan; setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar hutang kalian”.


Pembahasan ketiga, berkaitan dengan bagian waris saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu secara kalalah, yaitu ketika mayit tidak mempunyai ahli waris orang tua ke atas dan anak ke bawah, sebagaimana jawaban Abu Bakar As-Shiddiq saat ditanya tentangnya:


اَلْكَلَالَةُ مَنْ لَا وَلَدَ لَهُ وَلَا وَالِدَ. (رواه عبد الرزاق


Artinya, “Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak dan orang tua.” (HR. Abdurrazzaq). (Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam as-Shan’ani, Mushannaf ‘Abdurrazzaaq, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1403 H], tahqiq: Habiburrahman Al-A’zhami, cetakan kedua, juz X, halaman 304).


Pembatasan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja dalam tafsir ayat berdasarkan dua argumentasi. Satu, adanya qira’ah Sa’d bin Abi Waqqash RA yang jelas-jelas menyantumkan redaksi: وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ “dan mayit mempunyai satu orang saudara laki-laki atau satu orang saudara perempuan seibu”. Dua, untuk saudara laki-laki dan perempuan seayah seibu dan seayah telah terkover dalam ayat 176 di akhir surat, yaitu: يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ “Mereka bertanya kepadamu tentang waris kalalah, katakanlah: ‘Allah akan memberitahukan kepada kalian tentang waris kalalah”. 


Dalam kasus bagian waris saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu secara kalalah terdapat dua kondisi. Satu, bila mayit hanya mempunyai satu saudara laki-laki atau satu saudara perempuan seibu, maka masing-masing mendapatkan bagian waris seperenam, tanpa perbedaan dari sisi laki-laki dan perempuan sebagaimana prinsip ‘laki-laki mendapat bagian dua perempuan’, sebab jalur mereka kepada mayit sama-sama melalui perempuan, yaitu ibunya. Dua, bila mayit mempunyai lebih dari satu saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, maka mereka bersama-sama mendapatkan bagian warisan sepertiga. Dalam kata lain, sepertiga itulah yang menjadi bagian warisan mereka dan dibagi rata tanpa membeda-bedakan dari sisi laki-laki dan perempuannya. Sementara sisanya dibagikan kepada ahli waris lainnya, ashabul furudh dan ‘ashabah yang ada. 


Pembagian harta waris dalam dua kondisi ini juga dilakukan setelah pemenuhan wasiat dan hutang yang menjadi tanggungan mayit. Semuanya sesuai dengan frasa: وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ “bila seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai satu orang saudara laki-laki (seibu) atau satu orang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mempunyai hak bagian sepertiga; setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya.” (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, juz I, halaman 875-883).


Adapun diksi غَيْرَ مُضَارٍّ “dengan tidak merugikan”, maksudnya tidak merugikan ahli waris yaitu wasiatnya tidak melebihi sepertiga harta. Bila melebihinya maka wasiatnya batal kecuali diperbolehkan oleh para ahli waris. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ ala Tafsir al-Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 276-277).


Sementara frasa penghujung ayat: وَصِيَّةً مِنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ “Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”, maksudnya adalah berbagai ketentuan pembagian waris yang telah dijelaskan merupakan ketentuan dari Allah. Ia maha mengetahui terhadap siapa saja yang berbuat zalim atau berbuat adil di dalamnya; dan maha bijaksana terhadap orang yang zalim dengan menunda hukumannya, sebab itu hendaknya ia tidak terlena dengan penundaan hukuman tersebut. (Muhammad Nawawi al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 157).


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda