Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 5

Jum, 18 Desember 2020 | 02:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 5

Surat An-Nisa’ ayat 5 ini ditujukan kepada orang tua, sehingga secara substansial Allah melarang orang tua untuk memberikan harta anak-anaknya kepada mereka dalam kondisi mereka belum mampu mengelola hartanya secara mandiri.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa’ ayat 5:


وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا 


Walā tu’tus sufahā’a amwālakumul lati ja’alallāhu lakum qiyāman warzuqūhum fīha, waksūhum waqūlu lahum qaulam ma’rūfan.


Artinya, “Jangan berikan harta-harta (mereka yang diurus oleh) kalian, yaitu harta yang Allah jadikan untuk kalian sebagai biaya hidup kepada anak-anak yatim yang masih bodoh itu. Berikanlah mereka rezeki dalam harta tersebut; berikanlah pakaian mereka; dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik.”


Ragam Tafsir

Para ulama mufassirin berbeda pendapat berkaitan konteks Surat An-Nisa’ ayat 5. Apakah ditujukan untuk para wali yatim atau orang tua. Pendapat pertama, menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada wali yatim, sehingga secara substansial Allah berfirman, “Wahai para wali yatim jangan kalian berikan harta mereka yang kalian kelola dalam kondisi mereka masih safih atau bodoh belum mampu mengelola harta.”


Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa Surat An-Nisa’ ayat 5 ini ditujukan kepada orang tua, sehingga secara substansial Allah melarang orang tua untuk memberikan harta anak-anaknya kepada mereka dalam kondisi mereka belum mampu mengelola hartanya secara mandiri.


Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) menyatakan, pendapat pertama adalah pendapat yang lebih unggul dengan dua argumentasi. Satu, lahiriah ayat menunjukkan keharaman memberikan harta orang-orang safih kepada mereka, sementara di sisi lain ulama telah sepakat bahwa orang tua tidak haram memberi harta berapapun kepada anak-anaknya yang masih kecil.


Demikian pula ulama telah sepakat bahwa haram bagi wali yatim untuk menyerahkan harta mereka dalam kondisi belum mampu mengelolanya secara mandiri. Bila demikian, maka idealnya pemahaman ayat ini diarahkan pada pendapat pertama, yang dimaksud ayat adalah para wali yatim.


Dua, frasa penutup ayat وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا “dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik” lebih tepat dipahami sebagai perintah kepada para wali yatim. Sebab kalau orang tua sudah secara alami mengasihi anaknya sendiri, maka tidak perlu diperintah untuk berkata baik terhadap anaknya sendiri sebagaimana dalam ayat sehingga ayat ini lebih tepat diarahkan kepada orang lain yang menjadi wali yatim yang tidak punya kasih sayang alamiah sebagaimana orang tua kepada anaknya. (Fakhruddin Muhammad bin Umar At-Tamimi Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], juz IX, halaman 149-150).


Imam Ahmad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M) menjelaskan, dalam frasa وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا “dan berikanlah mereka rejeki dalam harta tersebut”, terdapat hikmah pilihan diksi yang digunakan adalah fīha (di dalam harta tersebut), bukan minhā (dari harta tersebut), yaitu agar yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan anak yatim sebisa mungkin bukan dari hartanya, tapi hasil atau laba dari pengembangan hartanya.


Demikian pula bila harta anak yatim banyak dan terkena wajib zakat, maka zakatnya juga diambilkan dari laba pengembangan hartanya, bukan dari harta pokoknya. Dalam konteks ini diriwayatkan:


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهُا الزَّكَاةُ. (رواه الطبراني في الأوسط وإسناده صحيح


Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian kembangkan/bisniskanlah harta anak-anak yatim sehingga zakat tidak memakannya (menguranginya),’” (HR At-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath. Sanadnya shahih).  (Nurrudin Ali bin Abi Bakr al-Haitsami, Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawaid, [Beirut, Darul Fikr: 1412 H], juz III, halaman 207).


Dari sini dapat dipahami, bila demikian itu yang dilakukan wali yatim, maka saat dewasa anak yatim menjadi pribadi yang kuat secara finansial. 


Tentu, pengembangan harta anak yatim tersebut harus dilakukan secara penuh kehati-hatian, dalam bisnis yang aman dan diserahkan kepada orang yang terpercaya. Sebaliknya, bila dilakuan tanpa kehati-hatian dan bahkan diserahkan kepada orang yang tidak terpercaya, maka justru masuk dalam keumuman larangan ayat ini dan wali harus menanggung kerugiannya. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 270-271).


Berkaitan dengan frasa وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا “dan berkatalah kepada mereka dengan perkataan yang baik”, Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan, perkataan baik dapat menghilangkan kebodohan anak, sebaliknya perkataan yang buruk akan semakin menambahnya bodoh dan berkurang akalnya. Adapun maksudnya, maka ulama memberi penafsiran yang berbeda-beda. 


Pertama, menurut Ibnu Juraij dan Mujahid, maksudnya adalah janji berbuat baik dan menjaga silaturrahim. Ibnu Abbas mencontohkannya dengan semisal ucapan: “Bila sukses dalam perjalanan bisnis ini maka aku akan memperlakukanmu dengan perlakuan (terbaik) yang layak bagimu …”. 


Kedua, menurut Ibnu Zaid maksudnya adalah doa, semisal: “Semoga Allah mengampuni Kami dan Anda, semoga Allah memberkahi Anda.” Secara prinsip pendapat kedua ini menyatakan bahwa setiap ucapan yang menenangkan dan menyenangkan hati, maka itu adalah ucapan yang baik; dan setiap ucapan yang diingkari, tidak disenangi dan dihindari oleh hati, maka itu adalah ucapan yang mungkar. 


Ketiga, menurut Az-Zujaj maknanya adalah “Selain kalian beri makan dan pakaian, didiklah para anak yatim atas urusan agama mereka, dari ajaran-ajaran yang berhubungan dengan ilmu dan amal.”


Keempat, menurut Al-Qaffal maksud qaulan ma’rūfa adalah bila anak yatimnya masih kecil maka hendaknya wali memberitahukan kepadanya bahwa harta yang dikelola adalah hartanya, wali akan menyimpannya secara baik untuknya, dan akan diserahkan kepadanya ketika anak yatim sudah baligh serta mampu mengelolanya secara mandiri.


Adapun bila anak yatimnya dalam kondisi safīh, maka wali menasihatinya, mendorongnya untuk shalat, tidak menyia-nyiakan harta dan melakukan pemborosan, serta memperingatkannya bahwa menyia-nyiakan harta akan membuatnya menjadi miskin dan merepotkan orang lain. Demikian pula ucapan-ucapan baik lain seperti ini. 


Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, penafsiran keempat inilah penafsiran terbaik dari berbagai penafsiran yang disampaikan ulama tersebut. (Ar-Razi, 1421 H/2000 M: IX/152). Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM–Founder Aswaja Muda