Tasawuf/Akhlak

20 Syarat Khalwat Tarekat Naqsabandiyah

Ahad, 18 Desember 2022 | 18:00 WIB

20 Syarat Khalwat Tarekat Naqsabandiyah

Khalwat merupakan jalan para nabi dan wali dalam meningkatkan spiritualitas.

Khalwat, dalam bahasa kita mengandung dua makna yang bersilang jauh. Pertama, bermakna mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah dan seterusnya, dan kedua, bermakna berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di tempat sunyi atau tersembunyi.


Kendati bersilang jauh, namun kedua makna tersebut bermuara pada satu titik temu, yakni sama-sama berada di tempat yang sunyi. Dan, sudah barang tentu yang menjadi kajian kita adalah khalwat dengan makna pertama.


Khalwat bagi para pengamal Tarekat Naqsabandiyah adalah amalan wajib yang tidak dapat ditawar. Karena bagi mereka, seorang salik (hamba yang tengah berupaya menuju esensi Allah dengan makrifatnya) tidak akan pernah mencapai tujuan, yakni wushul ilallah kecuali dengan berkhalwat.


Terkait pentingnya khalwat dalam prinsip Tarekat Naqsabandiyah, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili menulis sebuah statemen dalam Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Guyub (hal. 552). Al-Kurdi mengatakan,


إعلم أنه لا يمكن الوصول إلى معرفة الأصول وتنوير القلوب لمشاهدة المحبوب إلا بالخلوة خصوصا لمن أراد إرشاد عباد الله إلى المقصود


Artinya, “Ketahuilah, bahwa seorang salik tidak mungkin sampai pada makrifat esensi Tuhan dan menerangi jiwa-jiwa tersesat kecuali dengan berkhalwat. Secara terutama bagi mereka yang sanggup mengemban amanah menunjukkan jalan yang benar kepada umat manusia.”


Pendek kalam, bahwa para mursyid, kiai, dan guru yang mengajar dalam halaqah Tarekat Naqsabandiyah adalah orang-orang yang kemungkinan besar telah menempuh jalan khalwat. Mereka telah menemukan cahaya yang terpatri dalam kalbunya. Sehingga, tak sedikit pun ada caci maki, celaan, siaran kebencian dan seterusnya yang keluar dari lisan mereka.


Tak heran jika banyak yang termangu-mangu saat melihat para mursyid Tarekat Naqsabandiyah-Maulana Habib Luthfi bin Yahya, misalnya-yang bersahaja dan penuh wibawa. Orang-orang yang melihatnya akan terpesona, mereka yang mendengar nasihatnya akan luluh dan segera menyadari kesalahan tanpa diminta.


Sekilas Riwayat Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi

Syekh Muhammad Amin bin Syekh Fathullah Zadah al-Kurdi al-Irbili adalah seorang pemuda Irbil yang tumbuh sebagai seorang asketis besar. Ia lahir di sebuah kota bernama Irbil-dekat kota Mosul-di Negeri Irak. Tiada yang dapat memastikan terkait tanggal dan tahun lahirnya.


Mengingat, jejak sejarah yang telah terhapus, sehingga tidak mudah untuk menelusurinya. Namun karena Syekh Muhammad Amin wafat pada 1332 H/1914 M, maka sebagian sejarawan memperkirakan bahwa al-Kurdi lahir pada paruh kedua abad ke-13 hijriah.


Syekh Muhammad Amin hidup di tengah keluarga yang taat beragama. Bahkan, ia belajar al-Qur’an kepada ayahnya sendiri, Syekh Fathullah. Ayahnya yang karib disebut dengan gelar al-‘arif billah ini adalah seorang asketis penganut Tarekat Qadiriyah, tarekat yang dinisbatkan pada Syekh Abdul Qadir al-Jailani. 


Sejak kecil, al-Kurdi tumbuh sebagai anak yang taat, ia menghabiskan masa mudanya untuk mendapatkan ridha Allah sesuai tuntunan sang ayah dan para gurunya. Sehingga, pada akhirnya ia menjadi seorang mursyid Tarekat Naqsabandiyah. Sepeninggalnya, kepemimpinan dilanjutkan oleh muridnya, Syekh Salamah al-‘Azami. Kemudian dilanjutkan lagi oleh putranya sendiri, Syekh Najmuddin al-Kurdi.


20 Syarat Khalwat Menurut Syekh Al-Kurdi

Tarekat Naqsabandiyah adalah tarekat yang memiliki banyak pengikut, khususnya di Indonesia. Di banyak belahan dunia mengakui kualitas tarekat ini. Bukan hanya sekadar klaim dari para pengikutnya, melainkan disebutkan langsung oleh seorang imam besar Tarekat Naqsabandiyah, Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi. Ia mengatakan, bidayatu thariqatina, nihayatu sairit thuruq (fase pemula di tarekat kami adalah fase puncak bagi tarekat yang lain).


Statemen ini jelas menggambarkan tingginya kualitas Tarekat Naqsabandiyah. Kendati mungkin statemant itu sedikit bercampur fanatisme dan cintanya kepada Naqsabandiyah. Mengingat, Sayyid Bahauddin bicara dalam kapasitas sebagai petinggi tarekat tersebut.


Tarekat yang berkualitas tinggi ini, tidak lepas dari satu ajaran pamungkas yang disebut khalwat. Khalwat yang bukan sekadar menyepi. Tetapi memiliki banyak syarat dan ketentuan. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi menulis 20 syarat khalwat dalam Tarekat Naqsabandiyah yang harus dipenuhi sebelum dan akan terus berlangsung hingga khalwatnya selesai. 


Berikut di antaranya; (1) berniat memutus rantai riak dan sumah secara lahir batin.


(2) memohon izin dan sambungan doa kepada mursyidnya.


(3) harus terbiasa dan terlatih untuk menyendiri, tidak tidur malam dalam kondisi tidak kenyang dan sambil berzikir.


(4) di hari pertama masuk ruang khalwat harus melakukan satu ritual yang sudah diajarkan dengan cara tertentu (akan kami jelaskan di akhir tulisan, insya Allah).


(5) harus selalu suci, alias daimul wudhu’.


(6) membuang jauh keinginan mendapat kekeramatan.


(7) selama ritual, tidak boleh bersandar ke dinding. 


(8) harus mampu membayangkan sosok mursyidnya tepat berada di hadapannya.


(9) harus dalam kondisi berpuasa.


(10) harus puasa bicara, kecuali saat berzikir atau ada bahaya.


(11) selalu menyadari kehadiran keempat musuhnya; setan, dunia, hasrat rendah dan nafsu.


(12) menjauh dari suara dan kegaduhan.


(13) tidak boleh absen shalat jamaah dan jumat.


(14) saat keluar dari tempat khalwat, kepalanya harus terus merunduk. Melihat ke tanah.


(15) tidak boleh sengaja tidur, apalagi bermaksud merehatkan badan. Melainkan tertidur tanpa sengaja dan dalam kondisi suci. Bahkan, jika mampu sebaiknya tidur sambil duduk. 


(16) selalu menjaga stabilitas antara lapar dan kenyang.


(17) tidak membuka pintu bagi siapa pun yang bermaksud ngalap berkah, kecuali gurunya.


(18) memandang bahwa setiap nikmat yang ia peroleh berasal dari gurunya yang itu bersumber dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


(19) membuang seluruh lintasan hati, entah itu perkara baik atau buruk. Alias senantiasa berada dalam kepasrahan.


(20) tidak pernah berhenti berzikir-dengan cara-cara tertentu-sampai sang mursyid memerintahkannya keluar atau berhenti berkhalwat.


Berikut kaifiat ritual dalam syarat keempat; (1) masuk tempat khalwat dengan kaki kanan seraya membaca taawuz dan basmalah, lalu membaca Surat An-Nas tiga kali.


(2) lalu memasukkan kaki kiri sambil membaca doa berikut;


اللَّهُمَّ وَلِيِّ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ كُنْ لِيْ كَمَا كُنْتَ لِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَارْزُقْنِيْ مَحَبَّتَكَ اللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ حُبَّكَ وَاشْغُلْنِيْ بِجَمَالِكَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُخْلَصِيْنَ اللَّهُمَّ امْحُ نَفْسِيْ بِجَذَبَاتِ ذَاتِكَ يَا أَنِيْسَ مَنْ لَا أَنِيْسَ لَهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ 


(3) berdiri di atas tempat shalat dan membaca doa berikut 21 kali;


إَنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ


(4) lalu shalat dua rakaat; rakaat pertama membaca surah al-Fatihah dan ayat kursi. Sedang rakaat kedua membaca Surat Al-Fatihah dan ayat amanar rasulu (QS. As-Baqarah 2:285).


(5) setelah salam, membaca doa Ya fattah 500 kali. Kemudian melanjutkannya dengan wirid yang telah diberikan sang mursyid. Semoga manfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo, dan founder Lingkar Ngaji Lesehan di Lombok, NTB.