Tasawuf/Akhlak

Adab Pejabat Jawab Pertanyaan Publik

Jumat, 17 Januari 2025 | 18:00 WIB

Adab Pejabat Jawab Pertanyaan Publik

Ilustrasi pejabat publik. (Foto: Freepik)

Dalam beberapa kesempatan, sejumlah pejabat publik di Indonesia sering kali mengucapkan “Saya tidak tahu” terkait isu yang sebenarnya berada dalam lingkup tanggung jawab mereka. Misalnya, seorang wakil ketua di parlemen mengaku tidak mengetahui adanya rapat yang membahas revisi UU Pilkada. Ia menyatakan, “Terus terang saya tidak diberi tahu, saya tidak tahu, dan saya bahkan bertanya-tanya, kenapa kok saya tidak diberi tahu? Sampai hari ini saya enggak tahu.”

 

Kasus serupa juga terjadi ketika ditemukan pagar misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten. Seorang menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan mengaku belum mengetahui siapa pemilik pagar tersebut dan menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa sembarangan mencabut tanpa informasi yang jelas.

 

Fenomena pejabat yang menyatakan ketidaktahuan atas isu yang ada dalam tanggung jawabnya bukanlah hal baru. Beberapa pejabat di Indonesia sering menghindari pertanggungjawaban dengan alasan tidak mengetahui permasalahan yang terjadi di bawah wewenang mereka.

 

Mochtar Lubis, dalam karyanya yang berjudul “Manusia Indonesia”, menyebutkan bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan pekerjaannya. Hal ini seringkali terlihat ketika terjadi kesalahan; atasan menyalahkan bawahan, sementara bawahan berdalih hanya menjalankan tugas sesuai deskripsi pekerjaan (Manusia Indonesia, [Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013], hlm. 21).

 

Sikap seperti ini menuai kritik tajam dari masyarakat. Pejabat seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang bidang yang mereka pimpin dan bertanggung jawab atas segala permasalahan yang muncul. Mengatakan “Saya tidak tahu" tanpa upaya mencari tahu mencerminkan kurangnya profesionalisme dan komitmen terhadap tugas.

 

“Salah satu ciri utama manusia Indonesia masa kini adalah enggan bertanggung jawab atas perbuatan, keputusan, perilaku, atau pemikirannya. Kalimat ‘Bukan saya’ menjadi ungkapan yang cukup populer di kalangan masyarakat. Sikap ini terlihat ketika tanggung jawab atas kesalahan, kegagalan, atau hal yang tidak beres sering kali dialihkan ke pihak lain. Atasan kerap menggeser tanggung jawab ke bawahan, dan bawahan melimpahkannya lagi ke yang lebih bawah. Pola ini terus berlanjut tanpa henti,” kata Mochtar Lubis (hlm. 22).

 

“Ketika menghadapi sikap tidak bertanggung jawab ini, bawahan juga memiliki pembelaan mereka sendiri dengan berkata, ‘Saya hanya melaksanakan perintah dari atasan.’ Akibatnya, baik atasan maupun bawahan tidak ada yang mau bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi. Sikap "bukan saya" dan ‘itu perintah atasan’ menjadi saling melengkapi.” (hlm. 22).

 

Ungkapan “Saya tidak tahu”, “Bukan saya”, dan lain sebagainya menggambarkan kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab. Akibatnya, pernyataan semacam itu kerap digunakan sebagai tameng untuk lari dari tugas, alih-alih mencari solusi atau memahami permasalahan yang ada.

 

Sikap menghindar seperti ini berdampak negatif pada kinerja pemerintahan dan pelayanan publik. Ketidaktahuan yang disengaja atau ketidakmauan untuk mencari tahu menunjukkan kurangnya integritas dan dedikasi. Pada momen seperti ini, kalimat “Saya tidak tahu” tidak tepat diucapkan oleh pejabat berwenang, atau siapa pun yang mengemban tugas tertentu.

 

Sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menekankan pentingnya tanggung jawab setiap individu sesuai dengan perannya. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda bahwa setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.

 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 

Artinya, “Dari ‘Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah setiap dari kalian adalah seorang pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin orang banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluargan suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, budak juga seorang pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari-Muslim)

 

Seorang penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya, kepala keluarga bertanggung jawab atas keluarganya, bahkan seorang istri dan pekerja pun memiliki tanggung jawab atas amanah yang mereka emban.

 

Pesan hadits di atas menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk sikap menghindar atau melempar tanggung jawab dalam kehidupan, terlebih bagi mereka yang berada dalam posisi memimpin atau mengemban amanah publik.

 

Al-Munawi menjelaskan, hadits di atas juga menjadi peringatan tegas bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, baik dalam menjaga hak-hak rakyatnya maupun dalam melaksanakan kewajibannya. Dengan demikian, kepemimpinan dalam pandangan Islam bukan hanya soal jabatan, melainkan amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. (Faidhul Qadir, [Mesir, al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1356 H], jilid V, hlm. 38).

 

Seorang pejabat yang memiliki kehendak baik akan menunjukkan keberanian untuk pasang badan dan mengambil tanggung jawab atas masalah di bawah wewenangnya. Sikap tersebut mencerminkan integritas dan komitmen terhadap amanah yang diemban.

 

Dengan menyatakan secara tegas bahwa masalah sedang atau akan ditangani, sekaligus melaporkan progres terkini, seorang pejabat dapat memperkuat kepercayaan publik. Tindakan ini bukan hanya menunjukkan rasa tanggung jawab, tetapi juga memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa isu tersebut mendapat perhatian serius dan sedang dikelola secara profesional.

 

Menjadi seorang pemimpin bukan sekadar soal kewenangan, tetapi tentang kesanggupan menghadapi tantangan dan menyelesaikan persoalan yang ada. Sikap transparan dalam melaporkan perkembangan penanganan masalah juga menunjukkan kesadaran bahwa tanggung jawab seorang pejabat mencakup komunikasi yang baik dengan rakyat.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.