Hijrah sebagai perintah Al-Qur’an mengandung keutamaan luar biasa karena menuntut pengorbanan fisik, harta, dan mental sekaligus sebagaimana ibadah haji. Namun demikian, Rasulullah mengingatkan sahabatnya agar tidak mencederai hijrah sebagai ibadah mulia itu dengan niat atau kepentingan lain.
Ketulusan niat ini diingatkan oleh Rasulullah. Perihal ketulusan niat ini kemudian diulas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berkut ini:
Artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.”
Syekh Ibnu Ajibah RA lebih jauh mengulas pandangan Syekh Ibnu Athaillah. Menurutnya, hijrah merupakan migrasi tingkat tinggi, yaitu migrasi spiritual atau migrasi kerohanian. Ia menyebut tiga jenis hijrah atau migrasi spiritual tersebut.
Artinya, “Buat saya, hijrah itu migrasi dari satu ke lain daerah di mana seseorang meninggalkan tanah asalnya dan kemudian mendiami tanah tujuan. Hijrah atau migrasi ini terdiri atas tiga jenis, yaitu migrasi dari lapangan maksiat ke lapangan taat, dari lalai ke sadar, dan dari alam raga ke alam rohani. Atau dapat dikatakan migrasi dari alam malak ke alam malakut, dari lahiriah fisik ke makna, dan dari ilmul yakin ke ainul yakin atau haqqul yakin,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 73-74).
Menurut Syekh Ibnu Ajibah, orang yang berhijrah dari tiga tempat asal tersebut ke tiga tempat tujuan dengan maksud mengharapkan ridha Allah dan rasul-Nya atau dengan maksud makrifatullah dan rasul-Nya, maka aktivitas hijrah itu akan mengantarkannya pada Allah dan rasul-Nya sesuai maksud dan tekadnya.
Adapun orang yang berhijrah menuju hawa nafsunya, maka maksud dan upayanya akan sia-sia. Akhir dari hijrahnya adalah hawa nafsu itu sendiri sebagai tempat berlabuh sehingga aktivitas hijrahnya itu menambah sebab celaka baginya.
Syekh Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa hijrah merupakan persoalan keikhlasan niat. Hanya dengan keikhlasan itu, hijrah memiliki makna bagi seseorang sehingga seseorang dapat mengecap makrifatullah dan ridha-Nya.
Hijrah dalam pengertian hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan oleh Syekh Ibnu Athaillah dan Syekh Ibnu Ajibah menekankan ketulusan niat, jauh dari sekadar perubahan lahiriah, yaitu cara berpakaian, cara berpenampilan, dan perilaku berlebihan yang serba formal dalam beragama yang pada giliran tertentu perilaku ekstrem seperti mengenakan pakaian yang dianggap islami, menggunakan bahasa yang dinilai islami, meninggalkan profesi yang dianggap tidak islami seperti karyawan bank, aktor, atau musisi, atau mengampanyekan ideologi negara yang dianggap islami.
Syekh Ibnu Ajibah–mengutip Syekh Yazidi–menawarkan cara untuk menguji ketulusan hijrah seseorang. Untuk menguji apakah hijrah seseorang berjalan di tempat, yaitu hawa nafsu duniawi atau benar-benar hijrah kepada Allah, ia menganjurkan seseorang untuk menghadapkan semua hawa nafsu duniawinya di depannya. Jika ia masih menginginkannya, maka niat hijrahnya masih problematis.
“Allah itu cemburuan. Ia tidak senang kalau Dia sebagai tujuan hijrah disusupi hawa nafsu dan kepentingan lain di luar diri-Nya. Orang yang masih menyisakan selain Allah di dalam hatinya tidak akan pernah sampai kepada-Nya,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 74).
Hijrah fisik dari Makkah ke Madinah tidak ada lagi sebagaimana sabda Rasulullah SAW karena pergeseran sistem nilai dan perubahan sosial di Kota Makkah yang tidak ada bedanya lagi dengan Kota Madinah. Tetapi hijrah dalam pengertian migrasi spiritual yang berbentuk penataan hati dan niat tetap diperintahkan dalam Islam. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Menag: Tahun Ini Insyaallah Jadi Haji Akbar, Pahala 70 Kali Lebih Besar dari Haji Biasa
2
Khutbah Jumat: Keistimewaan Berbagi Kebahagiaan
3
Khutbah Jumat: Hikmah Diutusnya Para Nabi dan Diturunkannya Kitab-kitab
4
Larangan Penyalahgunaan Wewenang Keagamaan dalam Islam
5
Kegemaran KH Musthofa Aqil Siroj Baca Surat Al-Ikhlas
6
Alumni Pondok Tremas Jadi Pengusaha Konveksi, Ajaran di Pesantren sebagai Fondasi Bangun Usaha
Terkini
Lihat Semua