Tafsir

Makna Hijrah dalam Tafsir Surat An-Nisa ayat 100

Rab, 4 September 2019 | 08:45 WIB

Makna Hijrah dalam Tafsir Surat An-Nisa ayat 100

Ilustrasi: islamrf.org

Allah SWT berfirman: 

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya, "Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyaayang," (Surat An-Nisâ ayat 100).

Hijrah dalam ayat di atas dimaknai oleh At-Thabary sebagai berikut:

ومن يُفارق أرضَ الشرك وأهلَها هربًا بدينه منها ومنهم، إلى أرض الإسلام وأهلها المؤمنين

Artinya: "Orang yang rela meninggalkan bumi syirik dan penduduknya guna lari menyelamatkan agamanya dan menjauhi agama mereka, menuju ke wilayah Islam dan penduduknya merupakan kaum beriman," (At-Thabary, Tafsir At-Thabary). 

Adapun yang dimaksud dengan سبيل الله dalam ayat tersebut adalah:

منهاج دين الله وطريقه الذي شرعه لخلقه، وذلك الدين القَيِّم

Artinya, "paradigma agamanya Allah dan jalan yang disyariatkan kepada makhluknya, dan demikian itu adalah agama yang lurus," (At-Thabary, Tafsir At-Thabary). 

Menurut At-Qurthuby, lafal ومن يهاجر في سبيل الله merupakan jumlah syarath. Sementara itu jawab syaratnya adalah في الأرض مراغما كثيرا. 

Para mufassir berbeda pendapat terkait dengan takwil dari مراغم ini. 
•    Ibnu Mujâhid memaknai مراغم sebagai المتزحزح yang berarti tersingkir, atau terasingkan, terjauhkan.
•    Ibnu Abbas, Al-Dhahâk dan Ar-Rabi' mena'wilkan sebagai: المراغم المتحول والمذهب (Al-Muragham adalah tempat pindah atau tempat yang dituju saat bepergian)
•    Ibnu Zaid dan Abu Ubaidah menakwilkan sebagai المهاجر (tempat hijrah)
•    An-Nuhâs berpendapat bahwa semua takwil di atas adalah benar dan bisa bertemu (sepakat) dari sisi maknanya.

Lebih jauh Al-Qurthuby menjelaskan bahwa bila al-murâgham ini dimaknai sebagai المتحول والمذهب, maka ia menunjuk pada makna suatu tempat untuk mengasingkan diri (menahan malu). Istilah pengasingan (menahan malu) ini lahir karena al-murâgham merupakan kata turunan dari الرغام. Kata ini menyimpan makna sebagaimana istilah yang umum dipakai dalam ujaran masyarakat Arab seperti: 

ورغم أنف فلان أي لصق بالتراب

Artinya, "Hidung Si Fulan berbalur debu."

Kalimat di atas ini merupakan kalimat yang dipakai untuk menyindir seseorang yang berupaya menahan malu karena suatu hal/perbuatan yang dianggap memalukan sehingga tidak dipedulikan. Misalnya ujaran berikut:

راغمت فلانا هجرته وعاديته ، ولم أبال إن رغم أنفه

Artinya, "Aku terpaksa menentang Si Fulan, aku jauhi dia, aku musuhi dia. Aku tidak peduli lagi meskipun ia menahan malu."

Jadi, dengan mengikuti pola penakwilan ini, maka seolah kalimat al-murâgham adalah bermakna suatu tempat di mana seseorang terpaksa mengasingkan diri dan terbuang dari kaumnya disebabkan prinsip yang berbeda. Ta’wil ini jika dirunutkan dengan sejarah sewaktu beliau Rasulullah SAW beserta sahabat beliau melakukan hijrah ke Madinah, situasi hati beliau digambarkan sebagai pihak yang terbuang dari kaumnya dan ada rasa malu  Bukti sejarah menyebut bahwa beliau suatu ketika pernah menyatakan kerinduan beliau dengan Makkah. Rasulullah kemudian bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).

Kecintaan terhadap Makkah sangatlah besar dalam diri beliau. Sebagaimana ini terekam dalam doa beliau:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

Artinya, “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah,” (HR Al-Bukhari 7/161)

Namun karena diusir oleh kaumnya, maka beliau terpaksa melakukan hijrah. Unsur keterpaksaan itu sangat besar, maka dari itulah, dengan berbekal penafsiran ini, Madinah seolah digambarkan sebagai bumi Al-Murâgham, yaitu tempat mengasingkan diri dengan gambaran situasi yang penuh keterpaksaan demi agama Allah SWT.

Sebuah pendapat mengatakan bahwa:

إنما سمي مهاجرا ومراغما لأن الرجل كان إذا أسلم عادى قومه وهجرهم ، فسمي خروجه مراغما

Artinya, "Istilah itu disebut sebagai bumi tempat hijrah dan mengasingkan diri disebabkan karena sesungguhnya seorang laki-laki ketika memutuskan masuk Islam, maka serta merta kaumnya memusuhinya dan menjauhinya. Maka dari itu, keluarnya orang tersebut dari kaumnya disebut dengan istilah murâghaman (yang diasingkan)." (Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby).

Semua bentuk penafsiran di atas, adalah termasuk tafsir bi al-ma'na, yaitu sebuah tafsir yang memberi penekanan pada aspek pencarian maknanya. Jika dilihat dari arah sifat khususnya dalil, maka seolah-olah dengan ayat ini digambarkan bahwa orang kafir Makkah saat itu terpaksa tidak memperdulikan lagi kaum muslimin disebabkan keislaman mereka, dan mereka menegakkan diri untuk mempermalukan kaum muslimin saat itu dengan jalan mengusirnya dari kampung halamannya. 

Selanjutnya penyantuman diksi wâsi'ah (luas) adalah memiliki hubungan dengan soal rezeki. Hubungan keduanya secara tegas dinyatakan oleh  Ibnu Abbas RAradliyallahu 'anhuma, Ar-Rabî' dan Ad-Dhahâk. 

Qatâdah berpendapat bahwa diksi wâsi'ah, memiliki makna: 

المعنى سعة من الضلالة إلى الهدى ومن العيلة إلى الغنى

Artinya: "Makna (wâsi'ah) adalah kesempatan keluar dari kesesatan menuju hidayah dari ekonomi papa menuju kekayaan."

Imam Malik berpendapat:

السعة سعة البلاد

Artinya, "Yang dimaksud luas di situ adalah luasnya negara / wilayah".

Al-Qurthuby rupanya condong kepada pendapat Malik ini. Ia menyatakan:

وهذا أشبه بفصاحة العرب ؛ فإن بسعة الأرض وكثرة المعاقل تكون السعة في الرزق ، واتساع الصدر لهمومه وفكره وغير ذلك من وجوه الفرج

Artinya, "Pemaknaan dari Malik ini merupakan yang paling serupa dengan kebiasaan mengucapnya orang Arab. Karena dengan luasnya bumi, dan banyaknya tukar pikiran, dapat mendorong tercapainya keluasan/kemampuan/peningkatan ekonomi. Demikian pula, melapangkan dada menerima susah dan prihatin yang didera, serta meluaskan daya fikir dan hal semacamnya, adalah merupakan sebab datangnya solusi (al-faraj)." (Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby).

Penafsiran terakhir Al-Qurthuby ini rupanya yang paling sesuai untuk kondisi sekarang. Jadi, dengan mengikut pada pendapat ini, maka Surat al-Nisâ [4] ayat 100 di atas, seolah memiliki makna bahwa, "Barang siapa dalam kondisi dia sedang terusir atau mengalami keprihatinan yang mendalam sehingga terpaksa harus meninggalkan negerinya ke tempat yang benar-benar asing dengan rasa pilu, namun ia rela dengan keterusirannya itu dan berusaha melapangkan dada dan memperkaya wacana berpikirnya hanya demi mempertahankan kebenaran agamanya Allah dan Rasulnya, maka tindakan yang demikian itu dijamin oleh Allah SWT sebagai yang akan mendapatkan solusi dari keterpurukan dan masalah. Bahkan, seandainya ia mati dalam upayanya mempertahankan kebenaran tersebut, maka matinya tercatat sebagai mati yang husnu al-khatimah dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT". 

Maha Benar Allah SWT dengan segala janji-Nya. Sungguh, Allah Tiada Pernah Mengingkari Janji.  Wallahu a'lam bis shawab.
 
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudhuiyah, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur.