Tasawuf/Akhlak

Debat Capres: Ini 10 Etika dan Seninya dalam Pandangan Islam

Sab, 3 Februari 2024 | 11:30 WIB

Debat Capres: Ini 10 Etika dan Seninya dalam Pandangan Islam

Ilustrasi: ipolitisi - pembohong (NU Online - mahbib).

Debat capres dan cawapres menjadi tontonan yang menarik menjelang pemilu 2024. Dalam acara ini, kita dapat melihat para capres dan cawapres mennyampaikan gagasan serta program yang akan dijalankan jika terpilih nanti.

 

Teknik berdebat juga dapat kita saksikan pada masing-masing capres dan cawapres. Sesekali terjadi adu argumen yang cukup panas antara kedua paslon. Di sisi lain, penonton debat memiliki persepsi dan penialaian yang berbeda-beda terhadap penampilan dari masing-masing paslon.

 

Perihal etika menjadi salah satu yang disorot oleh para penonton. Apakah masing-masing paslon sudah berdebat sesuai etika? Persoalannya, etika terkadang memiliki standar yang samar dan tidak paten. Subjektivitas dan latar belakang penonton banyak mendominasi justifikasi terhadap penampilan debat. 

 

Menurut pandangan Islam, debat merupakan aktivitas adu argumen yang netral. Artinya apabila ia ditujukan untuk mencari kebenaran dan dilakukan dengan etis, maka menjadi positif. Sebaliknya, berdebat tanpa disertai etika yang baik akan berujung pada penilaian yang negatif.

 

Selain itu, berdebat pun memiliki teknik serta seni tersendiri supaya pemilik argumen dapat menyampaikan argumen dengan baik serta meyakinkan lawannya. Al-Khatib al-Baghdadi dalam karyanya al-Faqih wal Mutafaqqih menjelaskan 10 etika dan seni berdebat yang baik dalam kacamata Islam, yaitu:

 

Pertama, mengedepankan takwa kepada Allah dalam berdebat. Al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya menyebutkan:
 

 أَنْ يُقَدِّمَ عَلَى جِدَالِهِ تَقْوَى اللَّهِ تَعَالَى

 

Artinya, “Hendaknya ia mengedepankan rasa takwa kepada Allah dalam berdebat.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, [Saudi, Dar Ibn al-Jauzi: 1421], jilid II, halaman 47-61).

 

Takwa sendiri artinya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Artinya ketika berdebat hendaknya seseorang menaati perintah Allah, jangan sampai perkara yang dilarang Allah dilangkahi olehnya karena ingin memenangkan perdebatan.

 

Kedua, berniat debat untuk mencari fakta dan kebenaran, bukan semata-mata ingin mengalahkan lawannya. Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan:
 

وَلْيَكُنْ قَصْدُهُ فِي نَظَرِهِ إِيضَاحُ الْحَقِّ، وَتَثْبِيتُهُ دُونَ الْمُغَالَبَةِ لِلْخَصْمِ

 

Artinya, “Hendaknya debat tersebut tujuannya adalah untuk mengklarifikasi fakta dan menegakkan kebenaran, bukan [semata-mata bertujuan] mengalahkan lawan.” 

 

Terkait etika yang kedua ini, Al-Baghdadi melampirkan sebuah riwayat perkataan Imam As-Syafi’i yang sangat menjunjung tinggi etika ketika berdiskusi atau berdebat. Beliau berkata:

 

“Aku tidak pernah berbicara kepada siapa pun kecuali ingin lawan bicaraku mendapat taufiq, dibimbing, ditolong, dan berada dalam pemeliharaan serta perlindungan Allah. Aku tidak pernah berbicara kepada siapa pun kecuali aku tidak peduli, apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisan lawan debatku, serta mendasarkannya pada nasihat agama Allah...” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

“Demi Allah, aku tidak pernah berdebat dengan seseorang, kemudian aku menyukai apabila ia salah”, ungkap Al-Baghdadi dalam riwayatnya terkait perkataan Imam Syafi’i.

 

Ketiga, mengatur ritme kapan harus berbicara dan kapan harus diam serta bersikap tenang. Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan:
 

وَيَسْتَشْعِرُ فِي مَجْلِسِهِ الْوَقَارَ، وَيَسْتَعْمِلُ الْهُدَى، وَحُسْنَ السَّمْتِ وَطُولَ الصَّمْتِ إِلَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَى الْكَلَامِ

 

Artinya, “Ia menampakkan wibawa ketika duduk, menggunakan petunjuk, sikap baik hati, dan diam dalam waktu yang lama serta bicara secukupnya.” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, hal. 47-61).

 

“Apabila sempurna akal seseorang, maka ia tidak banyak bicara. Jika lawan argumennya mengucap kata-kata yang buruk padanya, ia tidak membalas dan mengabaikannya”, ungkap Al-Khatib al-Baghdadi mengutip perkataan ‘Abdullah al-Mu’taz.

 

Keempat, mengambil langkah yang cermat dalam menyampaikan argumen, jangan keras kepala sebab kebenaran lebih ampuh disampaikan dengan cara yang tepat. Al-Khatib al-Baghdadi berkata:
 

وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَتَكَلَّمَ بِحَضْرَةِ مَنْ يَشْهَدُ لِخَصْمِهِ بِالزُّورِ، أَوْ عِنْدَ مَنْ إِذَا وَضَحَتْ لَدَيْهِ الْحُجَّةُ دَفَعَهَا، وَلَمْ يَتَمَكَّنُ مِنْ إِقَامَتِهَا، فَإِنَّهُ لَا يَقْدِرُ عَلَى نَصْرِ الْحَقِّ إِلَّا مَعَ الْإِنْصَافِ، وَتَرْكِ التَّعَنُّتِ وَالْإِجْحَافِ

 

Artinya, “Hendaknya ia tidak berbicara di hadapan orang yang memberikan kesaksian palsu kepada lawannya, atau di hadapan orang yang jika buktinya jelas malah membantahnya padahal tidak mampu membuktikannya. Sesungguhnya kebenaran tidak dapat ditegakkan kecuali dengan keadilan yang disampaikan tanpa sikap keras kepala dan juga tanpa kecurangan.” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

Poin keempat ini menyarankan agar seseorang yang berdebat agar tidak banyak berbicara di hadapan orang-orang yang terindikasi menyajikan data palsu dan menggunakan cara-cara yang curang. Ketenangan dan tidak keras kepada juga harus dikedepankan ketika berdebat.

 

Berkaitan dengan hal ini, Imam Malik melalui riwayat Al-Baghdadi pernah berkata, “Sungguh adalah sebuah penghinaan terhadap ilmu jika seseorang berbicara menggunakan ilmu kepada orang yang tidak menaatinya.”

 

Artinya, dalam berdebat semestinya kedua belah pihak memiliki derajat dan porsi keilmuan yang setara. Boleh jadi ketika salah satunya tidak memiliki bekal serta perangkat keilmuan yang cukup, ucapannya hanya dianggap omong kosong belaka.

 

Kelima, gunakan bahasa sederhana, penjelasan yang detail dan ungkapkan argumen dengan fasih. Harus berhati-hati dari kesalahan kata saat berbicara. Al-Khatib al-Bahgdadi mengatakan:
 

وَيَكُونُ كَلَامُهُ يَسِيرًا جَامِعًا بَلِيغًا، فَإِنَّ التَّحَفُّظَ مِنَ الزَّلَلِ مَعَ الْإِقْلَالِ دُونَ الْإِكْثَارِ، وَفِي الْإِكْثَارِ أَيْضًا مَا يُخْفِي الْفَائِدَةَ، وَيُضَيِّعُ الْمَقْصُودَ، وَيُورِثُ الْحَاضِرِينَ الْمَلَلَ
 

Artinya, “Hendaknya tutur katanya sederhana, detail dan fasih. Kehati-hatian dari tergelincirnya lisan terletak pada kata-kata yang sedikit, bukan yang banyak. Kata-kata yang banyak juga kerap menyamarkan faedah, mengaburkan maksud, serta membuat orang-orang yang hadir merasa jenuh.”

 

Ibrahim bin Adham pernah berkata, “Jika kamu menginformasikan sesuatu, maka pastikan kabar tersebut benar, hindarilah kata-kata yang banyak dan bercampur-campur...”

 

Keenam, tidak mengeraskan suara seolah berteriak, namun tidak juga terlalu rendah dalam berkata-kata. Al-Khatib Al-Baghdadi mengatakan:
 

وَلَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ فِي كَلَامِهِ عَالِيًا... وَذَلِكَ مِنْ دَوَاعِي الْغَضَبِ. وَلَا يُخْفِي صَوْتَهُ إِخْفَاءً لَا يَسْمَعُهُ الْحَاضِرُونَ، فَلَا يُفِيدُ شَيْئًا، بَلْ يَكُونُ مُقْتَصِدًا بَيْنَ ذَلِكَ

 

Artinya, “Tidak mengankat suara tinggi-tinggi ketika berbicara, yang demikian itu merupakan faktor yang menimbulkan kemarahan. Ia juga tidak menyembunyikan suaranya agar para hadirin tidak susah mendengarnya hingga kata-katanya tidak bermanfaat. Seharusnya ia tengah-tengah dalam hal ini (tidak tinggi juga tidak rendah)..” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

Al-Khatib Al-Baghdadi menceritakan, suatu hari seorang laki-laki dari Bani Hasyim bernama Abdush Shamad berbicara kepada al-Ma'mun, lalu dia meninggikan suaranya, maka al-Ma'mun menegur, “Jangan meninggikan suaramu, Abdush Shamad, kebenaran ada dalam kalimat yang tepat, bukan kalimat yang disampaikan dengan keras.”

 

Ketujuh, berlatih sendiri sebelum berdebat dengan banyak membaca materi dan latihan menjawab pertanyaan. Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan:
 

وَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُوَاظِبَ عَلَى مُطَالَعَةِ كُتُبِهِ عِنْدَ وَحْدَتِهِ، وَرِيَاضَةِ نَفْسِهِ فِي خَلْوَتِهِ، بِذِكْرِ السُّؤَالِ وَالْجَوَابِ وَحِكَايَةِ الْخَطَأِ وَالصَّوَابِ، لِئَلَّا يِنْحَصِرَ فِي مَجَالِسِ النَّظَرِ إِذَا رَمَقَتْهُ أَبْصَارُ مَنْ حَضَرَ

 

Artinya, “Hendaknya ia tekun untuk membaca buku-bukunya dan berlatih tanya jawab soal-soal sendirian serta memaparkan mana yang salah dan mana yang benar, supaya tidak merasa terkungkung saat berdebat, tatkala setiap pandangan mata tertuju padanya.” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

Rabi’ bin Sualiman, murid Imam Syafi’i, pernah bertanya kepada gurunya, “Siapakah orang yang dinilai paling mampu berdebat?”

 

“Orang yang lidahnya terbiasa menyusun kata-kata dalam waktu singkat, tidak tergagap ketika perhatian orang-orang tertuju padanya, tidak kendur dan mudah marah, ilmu inilah yang sulit didapat kecuali dengan kerja keras dan ketekunan. Ia juga tidak memandang rendah lawannya dari segi umur sehingga memaklumi pandangan lawannya...”, jawab Imam Syafi’i.

 

Kedelapan, tidak boleh menyombongkan diri dengan pendapat yang telah disampaikan, sebab hal tersebut memicu fanatisme. Al-Khatib Al-Baghdadi berkata:
 

وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَكُونَ مُعْجَبًا بِكَلَامِهِ، مَفْتُونَا بِجِدَالِهِ، فَإِنَّ الْإِعْجَابَ ضِدُّ الصَّوَابِ، وَمِنْهُ تَقَعُ الْعَصَبِيَّةُ وَهُوَ رَأْسُ كُلِّ بَلِيَّةٍ

 

Artinya, “Hendaknya ia tidak terkesan dan terpesona dengan perkataan dan argumentasinya sendiri, karena rasa takjub merupakan lawan dari kebenaran, dari sanalah akan lahir fanatisme yang merupakan sumber kejahatan.” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

Kesembilan, jangan buru-buru menghakimi hingga lawan debat menyelesaikan penjelasannya. Boleh jadi, argumen lawan debat baru tersampaikan ketika penjelasan sudah selesai. Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan:
 

وَإِذَا وَقَعَ لَهُ شَيْءٌ فِي أَوَّلِ كَلَامِ الْخَصْمِ فَلَا يَعْجَلْ بِالْحُكْمِ بِهِ فَرُبَّمَا كَانَ فِي آخِرِهِ مَا يُبَيِّنُ أَنَّ الْغَرَضَ بِخِلَافِ الْوَاقِعِ لَهُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَثْبُتَ إِلَى أَنْ يَنْقَضِيَ الْكَلَام

 

Artinya, “Apabila pada awal perkataan lawan terbersit sesuatu, hendaknya jangan terburu-buru menghakimi, karena boleh jadi maksud yang ingin disampaikan terdapat pada akhir penjelasan pada akhir perkataan.” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

Kesepuluh, menghindari debat yang tidak dikuasai, sebab dengan tanpa penguasaan terhadap tema diskusi dan debat, akan menyebabkan ia banyak salah dalam berbicara. Al-Khatib berkata:
 

 وَيَكُونُ نُطُقُهُ بِعِلْمٍ، وَإِنْصَاتُهُ بِحِلْمٍ، وَلَا يَعْجَلُ إِلَى جَوَابٍ، وَلَا يَهْجُمُ عَلَى سُؤَالٍ، وَيَحْفَظُ لِسَانَهُ مِنْ إِطْلَاقِهِ بِمَا لَا يَعْلَمُهُ، وَمَنْ مُنَاظَرَتِهِ فِيمَا لَا يَفْهَمُهُ ف

 

Artinya, “Hendaknya ucapannya diiringi ilmu, pendengarannya tenang, tidak terburu-buru dalam menjawab, tidak menyerang dengan suatu pertanyaan, menjaga lisan dari mengucapkan sesuatu yang tidak diketahui dan dipahami..” (Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, jilid II, halaman 47-61).

 

Demikianlah 10 etika dan seni berdebat dalam pandangan Islam yang dipaparkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Faqih wal Mutafaqqih. Penjelasan ini dapat menjadi referensi bagi siapapun yang akan menggelar debat agar aktivitas tersebut menjadi debat yang substantif dan benar-benar memenuhi nilai etis. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta