Muhammad Zainul Millah
Kolomnis
Di Indonesia, terdapat banyak sekali ajaran tarekat yang dianut dan diamalkan oleh masyarakat. Umumnya dalam mengamalkan tarekat, mereka akan setia dan hanya mengikuti satu guru mursyid saja. Namun, ada juga beberapa orang yang berpindah-pindah dari satu tarekat ke tarekat lain karena beberapa alasan.
Tarekat merupakan pondasi mendasar dari Nahdlatul Ulama. Karena dalam sejarahnya, Islam masuk ke bumi Nusantara, dimulai dengan masuknya tarekat. Sejarah membuktikan bahwa agama Islam berkembang berkat jasa para ulama tasawuf.
Tarekat banyak muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, ketika tasawuf menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan dijadikan sebagai filsafat hidup. Pada periode ini tasawuf memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus.
Dalam perkembangannya, tarekat menjadi semacam organisasi atau perguruan yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid dan dzikir, tetapi meluas pada masalah-masalah yang bersifat duniawi, seperti munculnya gerakan pemberontakan anti kolonial di akhir abad 19.
Di antara bentuk pemberontakan dari kelompok tarekat, misalnya pemberontakan terhadap pemerintah Belanda pada tahun 1888 M, di Banten oleh pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan pemberontakan di Sumatera Barat oleh pengikut tarekat Syattariyah pada tahun 1908 M. (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi- tradisi Islam di Indonesia, (Bandung, Mizan: 1999), halaman 196).
Jumlah tarekat memang sangat banyak, tetapi kaum sufi mengelompokkannya menjadi dua, yaitu tarekat mu'tabarah (yang tersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad saw), dan tarekat ghairu mu'tabarah (yang tidak tersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad saw).
Untuk menghindari penyimpangan dalam ajarannya, NU meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah Ahlussunnah wal Jamaah. yaitu dengan mendasarkannya pada tasawuf Al-Ghazali, tauhid Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, serta hukum fiqih sesuai dengan salah satu dari empat mazhab sunni.
Karena itu, pada bulan Rajab 1399 H, bertepatan dengan Juni 1979 M, dibentuk Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) untuk memberikan batas-batas kepada masyarakat tentang tarekat yang mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah.
Kriteria kemu’tabaran sebuah tarekat dapat dilihat dari sanadnya yang muttashil (tersambung) sampai kepada Rasulullah saw.
Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi menjelaskan bahwa seorang murid harus mencari guru mursyid yang telah mendapatkan izin dari gurunya untuk melakukan baiat dan membimbing murid dalam menjalankan tarekat. (Tanwirul Qulub, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2015], halaman 524).
Selain itu, kemu’tabaran tarekat juga melihat ajaran yang disampaikan harus berpedoman pada pakem NU; yakni dalam fiqih mengikuti salah satu dari imam mazhab empat, dan dalam aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.
Berikut ini 45 tarekat mu’tabarah dan berstandar di Lingkungan Nahdlatul Ulama (NU):
- Ahmadiyah
- Akbariyah
- Alawiyah
- Abbasiyah
- Bayumiyah
- Buhuriyah
- Bakriyah
- Bairumiyah
- Bakdasyiyah
- Chistiyah
- Dasuqiyah
- Ghozaliyah
- Ghoibiyah
- Haddadiyah
- Hamzawiyah
- Idrusiyah
- Isawiyah
- Idrisiyah
- Jalwatiyah
- Kubrowiyah
- Khalwatiyah
- Kalsyaniyah
- Malamiyah
- Matlubiyah
- Maulawiyah
- Naqsyabandiyah
- Naqsyabandiyah Khalidiyah
- Qodiriyah
- Qodiriyah Wan Naqsyabandiyah
- Rumiyah
- Rifaiyah
- Syadziliyah
- Syuhrawardiyah
- Sa’diyah
- Sya’baniyah
- Syathoriyah
- Sunbuliyah
- Sammaniyah
- Tijaniyah
- Thuruq Akabiral Auliya
- Umariyah
- Usysyaqiyah
- Utsmaniyah
- Uwaisiyah
- Zainiyah
Selain 45 tarekat mu’tabarah di atas, Muktamar NU 1931 memutuskan hal penting lain yang memperluas cakupan tarekat mu’tabarah. Bagi NU, orang-orang Islam yang mendawamkan (mengamalkan dengan istiqamah) membaca Al-Quran, Dalailul Khairat, Fathul Qarib, Kifayatul Awam, dan sejenisnya, juga dipandang mengikuti telah tarekat mu’tabarah.
Berkaitan dengan hukum seorang murid tarekat yang berpindah dari satu tarekat pada tarekat lain, para ulama tarekat telah menyepakati dalam Keputusan Muktamar ke-1 Jam’iyyah Ahlith Thariqah Mu’tabarah di Tegalrejo, Magelang tanggal 18 Rabiul Awal 1377 H/12 Oktober 1957 M.
Muktamar tersebut memutuskan bahwa haram hukumnya berpindah dari satu tarekat kepada tarekat yang lain. Namun dapat dikatakan, boleh pindah apabila ia dapat menetapi tarekat yang sudah dimasuki (mampu mengamalkan dan memenuhi syarat-syaratnya), serta istiqamah (tekun) pada tuntunannya.
Permasalahan ini juga pernah diputuskan dalam Muktamar NU ke-10 di Surakarta tanggal 10 Muharram 1354 H/ April 1935 M. Rumusan keputusan berbunyi,
“Pindah dari suatu thariqah ke thariqah lain itu boleh asal dapat mengikuti semua syarat yang ditentukan.” (Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Khalista: 2011], halaman 168).
Dalam referensinya, Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa berpindah-pindah tarekat atau memiliki banyak guru tarekat itu ada dua macam.
Pertama bagi orang yang ingin sekedar bertabarruk (mencari keberkahan). Hal ini tentu tidak bermasalah dan hukumnya diperbolehkan.
Kedua bagi orang yang masih dalam tahap tarbiyah, yakni masih pemula dan butuh bimbingan dalam beramal, maka jika ia telah menemukan guru yang tepat dan dapat membimbingnya, wajib baginya untuk fokus kepada satu guru tersebut dan haram berpindah-pindah, meksipun ia merasa ada guru lain yang lebih sempurna.
Lebih lanjut Ibnu Hajar menjelaskan, ada dua tingkatan guru yang tepat dalam tarekat sehingga tidak boleh ditinggalkan.
Pertama orang yang haliyah-nya (tingkah lakunya) dapat mendorong murid untuk menjalankan tarekat. Jika murid menemukan guru (mursyid) yang seperti ini, maka ia harus tunduk atas bimbingannya dan mengikuti semua arahannya baik perintah maupun larangan, ibarat orang mati yang diam tunduk di hadapan orang yang memandikannya.
Kedua, jika seorang murid tidak dapat menemukan guru seperti tingkatan pertama, maka ia harus mencari guru tarekat yang paling wira'i dan memahami secara mendalam aturan-aturan syariat dan hakikat. Jika murid telah mendapatkan guru seperti ini, ia juga harus tunduk atas bimbingannya. Ibnu hajar menyatakan:
وَمَنْ ظَفِرَ بِشَيْخٍ بِالْوَصْفِ الْأَوَّلِ أَوِ الثَّانِي فَحَرَامٌ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَنْتَقِلَ إِلَى غَيْرِهِ وَإِنْ سَوَّلَتْ لَهُ نَفْسُهُ أَنَّ غَيْرَهُ أَكْمَلُ
Artinya, “Barangsiapa telah mendapatkan guru mursyid sesuai kriteria yang pertama atau kedua, maka haram baginya -menurut para ulama- untuk meninggalkan mursyid tersebut dan beralih ke mursyid yang lain, meskipun ia merasa ada guru lain yang lebih sempurna.” (Fatawa Al-Haditsiyah, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 56).
وَإِنَّمَا مَحَلُّ اخْتِيَارِ الْأَعْرَفِ الأَعْلَمِ الأَوْرَعِ الأَصْلَحِ فِي الْاِبْتِدَاءِ وَأَمَّا بَعْدَ الدُّخُوْلِ تَحْتَ حِيْطَةِ عَارِفٍ أَهْلٍ فَلَا رُخْصَةَ عَنِ الْخُرُوْجِ عَنْهُ بَلْ وَلَا رُخْصَةَ عِنْدَهُمْ لِلشَّيْخِ الثَّانِي
Artinya, “Konteks memilih orang yang paling arif, paling alim, paling wira'i, paling tepat (maslahat) itu pada tahap awal (saat masih mencari guru), tetapi setelah seorang murid masuk dalam bimbingan orang yang arif yang ahli, maka tidak ada keringanan baginya untuk meninggalkannya, bahkan untuk berpindah pada guru yang kedua." (Ibnu Hajar).
Pernyataan Ibnu hajar di atas merupakan bentuk adab bagi seorang murid agar tunduk atas bimbingan seorang guru mursyid dan tidak meragukannya. Seorang murid harus meyakini gurunya adalah orang yang paling tepat untuk membimbingnya.
Sedangkan hukum berpindah tarekat itu sendiri, telah dijelaskan oleh Syekh Sulaiman Az-Zuhdi An-Naqsyabandi bahwa hukumnya diperbolehkan berpindah dari satu tarekat ke tarekat yang lain dengan syarat mampu menjalankan ajarannya dan dapat istiqamah menjalankan adabnya.
Hukum boleh ini, disamakan dengan hukum bolehnya berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain selama tidak terjadi talfiq, yakni menggabungkan dua pendapat sehingga memunculkan hukum ketiga yang tidak dibenarkan oleh semua mazhab.
اعْلَمْ أَنَّ الطَّرِيْقَةَ الْمَشْهُوْرَةَ الْمُعَنْعَنَةَ الْوَاصِلَةَ مِنَ السَّلَفِ إِلَى الْخَلَفِ كَالْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ الْمَقْبُوْلَةِ يَجُوْزُ الْإِنْتِقَالُ مِنْ مَذْهَبٍ إِلَى مَذْهَبٍ آخَرَ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَلْفِيْقٍ لِلْعَامِي وَكَذَلِكَ الْإِنْتِقَالُ مِنْ طَرِيْقَةٍ إِلَى طَرِيْقَةٍ أُخْرَى بِشَرْطِ الْوَفَاءِ فِيْمَا دَخَلَ فِيْهِ وَالْإِسْتِقَامَةَ بِأَدَابِهِ . أهـ
Artinya, "Ketahuilah bahwa thariqah-thariqah yang masyhur, yang sanadnya bersambung dari para ulama salaf (guru thariqah terdahulu) sampai ulama khalaf (guru thariqah belakangan) adalah seperti empat mazhab. Boleh hukumnya berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain tanpa talfiq bagi orang awam.
Begitu juga boleh berpindah dari satu thariqah ke thariqah yang lain dengan syarat dapat menjalankan ajaran thariqahnya serta senantiasa menetapkan tata kramanya." (Majmu’atur Rasail, halaman 114 dalam Ahkamul Fuqaha, halaman 168).
Berdasarkan kajian referensi di atas dapat ditarik kesimpulan, pada dasarnya hukum berpindah dari satu tarekat ke tarekat lain hukumnya diperbolehkan dengan syarat mampu untuk istiqamah mengamalkan ajaran tarekatnya.
Namun menurut Ibnu Hajar, jika seorang murid yang masih membutuhkan bimbingan telah mendapatkan guru tarekat yang tepat, maka haram baginya untuk berpindah ke guru tarekat lain, meskipun ia merasa guru yang lain lebih sempurna. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua