Tasawuf/Akhlak

Ini Enam Kondisi Seorang Boleh Lakukan Ghibah

Sel, 3 April 2018 | 07:00 WIB

Pada dasarnya, ghibah adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Islam. Tetapi dalam kondisi kita boleh menempuh jalan tersebut karena kepentingan-kepentingan tertentu yang hendak dituju. Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi di mana seorang Muslim boleh mengghibahkan orang lain:

اعلم أن الغيبة وإن كانت محرمة فإنها تباح في أحوال للمصلحة. والمجوز لها غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو أحد ستة أسباب

Artinya, “Ketahuilah, ghibah–sekalipun diharamkan–dibolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan. Hal yang membolehkan ghibah adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa ghibah tersebut. Hal itu adalah satu dari enam sebab,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 292).

Secara lebih rinci Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi itu sebagai berikut:

Pertama, dalam sidang perkara di muka hakim. Seseorang boleh menceritakan penganiaya yang memperlakukannya secara zalim.

Kedua, dalam melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat kepolisian atau otoritas terkait dengan niat mengubah kemungkaran tersebut.

Ketiga, dalam meminta fatwa kepada seorang mufti. Seseorang boleh menceritakan masalahnya untuk memberikan gamabaran yang jelas bagi ulama yang mengeluarkan fatwa. Tetapi kalau penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.

Keempat, dalam mengingatkan publik agar terhindar dari kejahatan pihak baik personal maupun institusi. Hal ini dilakukan antara lain oleh para ahli hadits terhadap perawi-perawi bermasalah atau misalnya dalam konteks kekinian adalah travel umrah bermasalah.

Kelima, dalam kondisi di mana pihak-pihak tertentu melakukan kejahatan terang-terangan seperti meminum khamar, mengambil harta secara zalim, menarik upeti, mengambil kebijakan-kebijakan batil. Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibahkan pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan aib lain pihak tersebut yang tidak dilakukan secara terang-terangan.

Keenam, menandai seseorang dengan kekurangan fisik atau gelar-gelar buruknya. Misalnya Abdullah. Orang bernama Abdullah tidak satu. Tetapi kita boleh menyebutnya tanpa maksud merendahkan, “Abdullah yang buta, Abdullah yang tuli, Abdullah yang bisu, dan lain sebagainya.” Baiknya sebutan itu didahului kata “maaf” untuk menghilangkan kesan merendahkan.

Imam Nawawi mengajak kita mempertimbangkan sebab keenam. Sebab keenam ini bisa digunakan dengan niat identifikasi, bukan maksud merendahkannya. Imam Nawawi menyarankan kita untuk menggunakan identifikasi lain bagi seseorang di luar identifikasi fisik.

Enam kondisi ini bukan mengada-ada. Enam kondisi ini disarikan dari berbagai hadits shahih antara lain riwayat yang dikemukakan sahabat Ibnu Mas‘ud RA sebagai berikut:

وروينا في صحيحي البخاري ومسلم عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قسم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) قسمة، فقال رجل من الأنصار: والله ما أراد محمد بهذا وجه الله تعالى، فأتيت رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فأخبرته ، فتغير وجهه وقال: رحم الله موسى لقد أوذي بأكثر من هذا فصبر .وفي بعض رواياته: قال ابن مسعود: فقلت لا أرفع إليه بعد هذا حديثا. قلت: احتج به البخاري في إخبار الرجل أخاه بما يقال فيه

Artinya, “Kami diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud RA. Ia bercerita bahwa Rasulullah SAW membagikan ghanimah suatu peperangan. Ada salah seorang Ansor kecewa, ‘Demi Allah, Muhammad dengan ini sedang tidak mengharapkan ridha Allah.’ Aku–kata  Ibnu Mas‘ud RA–menemui Rasulullah SAW lalu menceritakan kekecewaan tersebut. Seketika warna wajah Rasulullah SAW berubah karena marah lalu berkata, ‘Semoga Allah memberikan rahmat-Nya untuk Musa yang disakiti umatnya lebih dari ini, lalu ia bersabar.’ Pada sebagian riwayat, Ibnu Mas‘ud RA berkata, ‘Setelah itu aku tidak membawa cerita kekecewaan seorangpun kepada Rasulullah SAW.’ Menurut kami, Imam Bukhari berhujah dengan hadits ini perihal kebolehan seseorang yang menceritakan ucapan orang lain,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 293).

Hadits lain yang berkaitan dengan kondisi fatwa atau meminta fatwa atau pertimbangan jodoh adalah hadits riwayat Hindun dan Fathimah binti Qais berikut ini:

وفي الصحيح حديث هند امرأة أبي سفيان وقولها للنبي (صلى الله عليه وسلم): إن أبا سفيان رجل شحيح... إلى آخره. وحديث فاطمة بنت قيس وقول النبي (صلى الله عليه وسلم) لها: أما معاوية فصعلوك، وأما أبو جهم فلا يضع العصا عن عاتقه.

Artinya, “Dalam kitab Shahih diriwayatkan hadits Hindun, istri Abu Sufyan dan keluhannya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah suami yang bakhil...’ dan hadits Fathimah binti Qais yang meminta pertimbangan dua lelaki yang meminangnya, lalu Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, ‘Mu‘awiyah bin Abu Sufyan lelaki miskin. sedangkan Abu Jahm tak pernah lepas tongkat dari bahunya (suka memukul istri),’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 294).

Dari pelbagai hadits itu, ulama menyimpulkan bahwa ghibah pada enam kondisi ini dibolehkan tanpa maksud merendahkan, tetapi dengan niat memperjelas atau mengatasi persoalan.

فهذه ستة أسباب ذكرها العلماء مما تباح بها الغيبة على ما ذكرناه. وممن نص عليها هكذا الإمام أبو حامد الغزالي في  الإحياء وآخرون من العلماء، ودلائلها ظاهرة من الأحاديث الصحيحة المشهورة، وأكثر هذه الأسباب مجمع على جواز الغيبة بها.

Artinya, “Ini enam sebab yang disebutkan ulama di mana seseorang boleh melakukan ghibah. Ulama yang menyebutkan sebab ini antara lain adalah Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin dan sejumlah ulama lain. Dalilnya jelas, hadits-hadits shahih yang masyhur. Mayoritas sebab yang disebutkan disepakati ulama terkait kebolehan ghibah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 293).

Ghibah dibolehkan untuk kepentingan umum, kepentingan hukum, atau maslahat yang dibolehkan menurut syar’i. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)