Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Keluasan Rahmat dan Kemurahan Allah dalam Khazanah Tasawuf

Ahad, 20 September 2020 | 14:15 WIB

Keluasan Rahmat dan Kemurahan Allah dalam Khazanah Tasawuf

Rahmat Allah tidak terbatasi oleh kesalehan. Rahmat Allah begitu luas. Rahmat Allah tidak juga terikat pada hukum sebab akibat. Rahmat Allah dapat mengalir kepada siapa saja yang dikehendaki.

Rahmat dan kemurahan Allah tidak terbatasi oleh kesalehan. Rahmat dan kemurahan Allah begitu luas. Rahmat dan kemurahan Allah tidak juga terikat pada hukum sebab akibat. Rahmat dan kemurahan Allah dapat mengalir kepada siapa saja yang dikehendaki.


فكن على كرم الرحمن معتمدا * لا تستند لا إلى علم ولا عمل


ففضل ربك لا تمنعه معصية * ولا يضاف إلى الأغراض والعلل


Artinya, “Jadilah kamu orang yang pada kemurahan Zat yang maha Rahman bersandar*tidak bertopang baik pada ilmu maupun amal//karunia Tuhanmu tidak tercegah oleh maksiat*tidak juga disandarkan pada tujuan (keuntungan) maupun sebab,” (Syekh Ali bin Abdullah bin Ahmad Baras, Syifa’us Saqam wa Fathu Khaza’inil Kalim fi Ma’nal Hikam, [Beirut, Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 117).


Kebanyakan orang berpikir bahwa rahmat dan kemurahan Allah diberikan hanya kepada orang-orang yang saleh belaka. Dengan keliru berpikir seperti ini, banyak orang mengejar kesalehan lahiriah karena menganggap kesalehan sebagai sebab atas rahmat Allah.


Orang seperti ini akan ngedrop pesimis dan anjlok harapannya kepada Allah ketika ia terjebak dalam sebuah dosa yang sudah menjadi takdirnya. Tetapi sebaliknya, orang yang mengandalkan amal ibadahnya untuk mengharap rahmat dan kemurahan Allah akan merasa tinggi hati dan istimewa ketika melakukan suatu amal ibadah.


من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل


Artinya, “Salah satu tanda seseorang bersandar pada amal adalah kurang harapannya kepada Allah ketika suatu saat ia terperosok dalam sebuah dosa,” (Ibnu Athaillah, Al-Hikam).


Adapun orang yang bersandar kepada Allah, bukan kepada ilmu atau amalnya tidak akan merasa tinggi hati ketika melakukan amal ibadah dan tidak merasa pesimis ketika terperosok dalam sebuah dosa.


Sebenarnya apa yang disebutkan Syekh Ibnu Athaillah itu hanya salah satu tanda seseorang bergantung pada amalnya. Tetapi itu sudah merupakan satu tanda atau petunjuk yang memadai. Salah satu ciri pembeda dari orang yang bersandar kepada Allah, bukan kepada ilmu dan amalnya adalah ia tidak merasa dirinya istimewa ketika suatu malam ia bertahajud. Sementara orang lain tertidur nyenyak. (Syekh Ali Baras, 2018 M/1439 H: 113).


Mereka yang bersandar kepada Allah lebih menyaksikan keesaan perbuatan Allah dalam menggerakkan hamba-Nya. Dengan demikian, mereka tidak merasa ujub ketika beribadah dan tidak berputus asa dari rahmat dan kemurahan Allah ketika ditakdirkan berbuat suatu kekhilafan. Namun demikian, keluasaan rahmat-Nya bukan alasan untuk bermalas-malasan atau bahkan berhenti dalam beramal. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)