Tasawuf/Akhlak

Kesadaran Belajar dalam Pandangan Islam di Zaman Gadget

Kam, 8 September 2022 | 17:00 WIB

Kesadaran Belajar dalam Pandangan Islam di Zaman Gadget

Belajar di zaman gadget.

Tak ada manusia yang pandai sejak dilahirkan. Andai kita melihat atau mengenal orang yang pandai, tentu kepandaian itu tidak didapatkannya sejak lahir, melainkan hasil dari proses atau upaya yang diperoleh dengan belajar.


Pandangan Islam tentang Belajar

Allah swt berfirman:


وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ  لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


Artinya, “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan  dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS An-Nahl: 78).


Belajar adalah segala bentuk proses atau upaya untuk memperoleh kepandaian atau ilmu. Dengan belajar orang akan mengetahui hal-hal yang belum diketahui. Ia juga akan lebih pandai dan bijak mengambil keputusan dalam setiap situasi dan kondisi yang dihadapi.


Menurut pandangan Islam, belajar merupakan salah satu dari kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap individu mulai dari kalangan anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan orang tua. Rasulullah saw bersabda:


طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ


Artinya, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).


Melihat hadits tersebut, sebagai muslim yang baik tentunya semakin semangat untuk selalu belajar, belajar, dan belajar. Di manapun tempatnya, kapanpun dan bersama siapapun. Minimal dalam satu hari bertambah satu ilmu pengetahuan yang baru, seperti syair populer:


وَكُنْ مُسْتَفِيْدًا كُلَّ يَوْمٍ زِيَادَةً  ***  مِنَ الْعِلْمِ وَاسْبَحْ فِيْ بُخُوْرِ الْفَوَائِدِ


Artinya, “Dan jadilah engkau orang yang menggali faedah atau menambah ilmu setiap hari, serta arungilah faedah-faedah ilmu yang laksana lautan.”


Banyak cara yang bisa ditempuh dalam belajar. Di antaranya belajar dari makhluk-makhluk Allah selain manusia. Kita bisa belajar dari ayam yang tak pernah bangun kesiangan. Kita juga bisa belajar dari semut yang selalu bergotong-royong dengan anggotanya. Kita juga bisa belajar dari anjing yang tak pernah membangkang kepada majikannya. Bahkan kita bisa belajar dari musuh kita iblis yang terlaknat.


***


Kisah Belajar kepada Iblis

Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, apa mungkin kita bisa belajar dari iblis? 


Dikisahkan. Pada jaman dahulu iblis bisa dilihat dengan mata kepala. Suatu ketika seorang lelaki bertanya kepada iblis: 


"Hai Abu Murrah—julukan iblis—, bagaimana cara agar aku bisa seperti dirimu?" 


"Celaka kau! Selama ini belum pernah seorangpun yang meminta kepadaku seperti permintaanmu. Kenapa kau meminta belajar kepadaku?" Iblis mempertanyakan permintaan lelaki tersebut. 


"Sunggu aku menyukainya", jawab Si Lelaki.


Iblis sangat senang atas jawaban laki-laki tadi. Saking senangnya Iblis langsung memberitahukan rahasianya kepada lawan bicaranya:


"Ingat! Jika kau benar-benar ingin sepertiku, maka abaikanlah shalat dan jangan pedulikan sumpah! Entah itu jujur maupun bohong."


"Sungguh aku berjanji kepada Allah, bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan shalat dan tidak akan pernah bersumpah untuk selamanya", jawab lelaki itu enteng namun justru mengagetkan karena justru berkesebalikan dengan jawaban yang diharapkan oleh Iblis.


Penuh kekesalan iblis berkata: 


"Selama ini belum pernah ada seorangpun yang belajar dariku dengan tipu daya yang sempurna selain dirimu. Aku berjanji kepada Allah bahwa aku tidak akan pernah menasehati manusia untuk selamanya." 


***


Belajar di Zaman Gadget

Dari kisah ini bisa kita mengambil hikmah, bahwa belajar bisa dilakukan di manapun, kapanpun, dan kepada siapapun. Semua tergantung dengan kemauan dan kepekaan masing-masing individu. Bahkan kepada Iblis kita bisa belajar.  


Dalam konteks sekarang kita dapat memanfaatkan gawai atau gadget terbaru untuk belajar apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Baik belajar tentang ekonomi, pendidikan, budaya, agama, maupun hal-hal lainnya. Tentu selektif memilih sumber belajar utamanya dalam mempelajari agama secara online menjadi keniscayaan. 


Bukankah sudah sering kita lihat, orang salah sumber belajar agamanya hingga justru menjadi bermasalah di kemudian hari? Wallahu a’lam.

 


Ustadz Muhammad Syauqi Mubarok, Pengajar Pesantren Raudlatut Thullab, Wonosari, Magelang