Tasawuf/Akhlak

Kisah Tobat Malik bin Dinar di Bulan Sya’ban

Sel, 15 Maret 2022 | 12:00 WIB

Kisah Tobat Malik bin Dinar di Bulan Sya’ban

Malik bin Dinar terbangun dan sangat menyesal hingga menangis sejadi-jadinya. Ia juga menghancurkan semua botol minuman kerasnya dan bertobat kepada Allah swt. (Ilustrasi: artscenegallery.com)

Siapa yang tidak kenal dengan Imam Malik bin Dinar? Salah satu ulama yang masih tergolong tabi’in (orang-orang yang menjumpai para sahabat dan beriman). Namanya sangat terkenal dan begitu populer (popular) dalam sejarah ulama salaf. Tidak hanya namanya, sejarahnya yang sangat menginspirasi juga tidak lepas dijadikan catatan oleh para ulama.


Imam Malik bin Dinar merupakn salah satu ulama yang sangat zuhud. Apa saja yang yang membuat hatinya lupa kepada Allah akan ia tinggalkan. Semua hidupnya ia dedikasikan hanya untuk Allah dan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Segala pujian yang disampaikan orang lain kepadanya tidak membuatnya terlena, begitu juga dengan segala hinaan tidak membuatnya terluka. Ia benar-benar melupakan dunia dan segala kesenangannya, dan hanya fokus dengan Tuhannya.


Selain itu, ia juga dikenal sebagai ulama ahli hadits (muhaddits). Kontribusi dan sumbangsihnya untuk perkembangan sabda-sabda Rasulullah itu sangat besar dan banyak. Imam ad-Dzahabi dalam kitabnya menampilkan beragam komentar ulama tentangnya. Di antaranya, menurut Imam an-Nasai dan dipastikan oleh Imam al-Bukhari, kualitas hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Dinar memiliki derajat hasan (baik).


Dalam kitab itu juga disebutkan, dengan mengutip pendapat Imam Ali bin al-Madini, bahwa jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Dinar setidaknya ada 40 hadits, yang semuanya memiliki derajat hasan. (Imam ad-Dzahabi, Siyaru A’lami an-Nubala, [Darul Ashimah: 1410], juz V, halaman 362).


Tidak ada catatan pasti dari para ulama sejarah yang berhasil penulis temukan perihal tahun kelahirannya. Akan tetapi, yang pasti ia satu zaman dengan Imam Malik bin Anas dan masih menjumpai Sayyidina Ali, suami Sayyidah Fatimah az-Zahra. Sedangkan tahun kelahirannya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad ar-Rabi’i dalam kitab Tarikhu Maulidil ‘Ulama wa Wafayatihim, menengarai bahwa ia wafat pada tahun 129 H.


Kendati pun demikian, Malik bin Dinar pernah memiliki sejarah kelam yang jarang dirasakan oleh para ulama dan tabi’in pada umumnya. Kisah ini bisa menjadi inspirasi kepada orang-orang saat ini, bahwa seperti apa pun perjalanan hidupnya, tidak niscaya menjadikannya memiliki masa depan yang kelam, Malik bin Dinar lah buktinya.


Perjalanan Hidup Malik bin Dinar

Malik bin Dinar lahir dari keluarga kaya dan masih termasuk bagian dari bagian kerajaan yang saat itu bertepatan dengan masa Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa sejak tahun 41 H/661 M, sampai tahun 133 H/750 M.


Menjadi bagian dari orang-orang kerajaan, orang tua Malik bin Dinar tentu lebih memilih anaknya untuk menggantikan posisinya kelak di kerajaan. Sehingga setiap hari ia membawa putranya menuju kerajaan. Selain untuk mengajarkan beragam pekerjaan di sana, harapan orang tuanya juga agar anaknya bisa membantunya.


Dan benar saja, Malik bin Dinar semakin senang menjadi bagian dari kerajaan. Setiap hari ia selalu datang pada kerajaan, selain untuk bergaul, terkadang juga datang bertugas untuk menggantikan ayahnya yang memiliki halangan untuk mendatanginya. Selama tidak ada kegiatan yang menghalanginya, setiap hari ia selalu mendatangi kerajaan.


Akan tetapi, di balik pergaulan bebasnya, justru menjadikan Malik bin Dinar terlena dalam kegiatan yang tidak manusiawi, sehingga semua perbuatan yang dilarang dalam Islam ia lakukan dengan senang hati. Tak perlu ini haram dan dosa, yang penting hidupnya bisa bahagia dan bisa melakukan apa saja dengan kehendaknya sendiri.


Saat itu, ia sudah memiliki jabatan tinggi di kerajaan, yaitu sebagai keamanan (polisi). Dengan gajinya yang tinggi, hidupnya hanya digunakan untuk berfoya-foya; minum khamar, zina dan semacamnya sudah menjadi kegiatan yang biasa ia lakukan.


Budak Cantik dan Anak Manja yang Sangat Disayang

Syekh Abu Bakar bin Muhyiddin al-Ahsani al-Farafuri asy-Syafi’i dalam salah satu kitabnya menjelaskan, bahwa suatu saat Malik bin Dinar sedang melakukan kegiatan terlarang dalam Islam, yaitu minum Khamar. Di saat yang bersamaan, salah satu temannya menawarkan seorang budak yang cantik kepadanya.


Tanpa pikir panjang, Malik bin Dinar langsung mengiyakan dan membelinya dengan kontan. Bahkan, karena kecantikannya yang melebihi budak pada umumnya, ia membeli dengan harga yang sangat mahal. Setelah beberapa lama hidup bersama dengan Malik bin Dinar, sang budak itu hamil, hingga pada akhirnya melahirkan.


Sebagai seorang ayah, tentu ia sangat menyayangi anaknya. Bahkan ketika sang anak melakukan kesalahan, misalnya setiap Malik bin Dinar hendak minum khamar, sang anak selalu mengambilnya dan menumpahkan pada baju ayahnya. Kendati pun demikian, ia tidak pernah memarahinya, justru semakin sayang kepadanya.


Di saat yang bersamaan, tepatnya ketika Malik bin Dinar sedang sangat mencintainya (para ulama ada yang mengatakan berumur dua tahun, ada yang mengatakan satu tahun), takdir Allah berkata lain, sang anak meninggal. Sebagai seorang ayah, tentu ia sangat sedih ketika anak semata wayangnya meninggalkan di saat sayang-sayangnya.


Awal Mula Tobat Malik bin Dinar

Setelah kepergian sang anak, kesedihannya selalu bertambah. Ia selalu teringat akan sosok seorang anak kecil yang setiap hari dan malam selalu bersama dan menemaninya, bahkan selalu menumpahkan minuman kerasnya, namun saat itu tidak lagi duduk bersama dengannya. Syekh Abu Bakar asy-Syafi’i mengisahkan kisah itu, ia mengatakan,


فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَكَانَتْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ بَتُّ ثَمَلًا مِنَ الْخَمْرِ وَلَمْ أُصَلِّ فِيْهَا عِشَاءً


Artinya, “Ketika malam di pertengahan bulan Sya’ban dan malam itu (bertepatan) dengan malam Jumat, aku meneguk khamr (kemudian tidur) dan tidak shalat Isya.” (Syekh Abu Bakar, al-Yaqutu wal Marjan fi Fadhaili Syahris Sya’ban, [at-Tsaqafah al-Islamiyah: 2019], halaman 100).


Ketika Malik bin Dinar sedang tidur pulas, tiba-tiba dalam tidurnya ia bermimpi bahwa kiamat seakan-akan telah datang, terompet telah ditiup, orang mati dibangkitkan, semua makhluk dikumpulkan. Kemudian ia mendengar suatu gerakan di belakangnya. Namun, ketika ia lihat ternyata ada ular yang sangat besar yang membuka mulutnya untuk memangsanya.


Di saat yang bersamaan, ia sangat terkejut dan lari tunggang agar bisa terhindar darinya. Di tengah-tengah kebingungannya, ia menemukan sosok seorang Syekh yang berpakaian putih sedang duduk dengan tenang. Malik bin Dinar berkata kepadanya, “Wahai Syekh! Tolonglah aku, lindungi dari ular itu,”


Akan tetapi Syekh itu justru menyuruhnya untuk berlari, karena kekuatan ular itu melebihi kekuatannya. Mendengar jawabannya itu, Malik bin Dinar semakin panik dan lari jauh hingga menaiki tebing neraka. Di saat yang bersamaan, neraka berkata kepadanya, “Kembalilah! Karena engkau bukan penduduk neraka,”


Mendengarkan ucapan neraka, dengan senang hati ia meninggalkannya. Hanya saja, ular itu tetap saja mengejar untuk memangsanya.


Sejurus kemudian, Malik bin Dinar pergi menuju satu tempat, di tempat itu ia melihat tirai-tirai yang di dalamnya terlihat banyak anak-anak kecil bersama dengan para malaikat, termasuk anaknya yang mati di usia balita. Akan tetapi, lagi-lagi ular itu terus mengejar untuk memangsanya.


Di saat yang bersamaan, sang anak berkata, “Ayahku, demi Allah,” kemudian ia melompat laksana anak panah dan dia ulurkan tangan kirinya pada tangan kanan ayahnya sembari menariknya. Dan, mengulurkan tangan kanannya pada ular besar itu, namun seketika itu ular yang awalnya hendak memangsa ayahnya tiba-tiba menghilang.


Setelah itu, sang anak mendudukkan ayahnya, kemudian berkata kepadanya dengan membacakan ayat Al-Qur’an, “Wahai Ayahku! ‘Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan kepada mereka,’ (QS Al-Hadid: 16).”


Malik bin Dinar menangis sejadi-jadinya, kemudian berkata kepada anaknya, “Wahai Anakku! Ceritakanlah kepadaku tentang ular dan Syekh yang berpakaian putih itu,” Sang anak kemudian menjawab,


ذَلِكَ عَمَلُكَ السُّوْءِ قَوَيْتَهُ فَأَرَادَ أَنْ يُغْرِقَكَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ، وَذَلِكَ عَمَلُكَ الصَّالِحِ أَضْعَفْتَهُ حَتَّى لَمْ يَكُنْ لَهُ طَاقَةٌ بِعَمَلِكَ السُّوْءِ


Artinya, “Dia adalah pekerjaanmu yang buruk, yang selama ini engkau kerjakan, maka ia akan menjerumuskanmu ke dalam neraka. Sedangkan dia (Syekh) itu adalah pekerjaanmu yang baik, namun engkau melemahkannya, hingga tak memiliki kemampuan untuk untuk (menolong) pekerjaanmu yang buruk.” (Abu Bakar, al-Yaqutu wal Marjan, 2019, h. 100).


Di saat yang bersama, Malik bin Dinar terbangun dan sangat menyesal hingga menangis sejadi-jadinya. Ia juga menghancurkan semua botol minuman kerasnya dan bertobat kepada Allah swt.


Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.