Tasawuf/Akhlak NGAJI TAYSIR AL-KHALLAQ (1)

Kitab Taysir al-Khallaq dan Penguatan Komitmen Berakhlak Mulia

Sel, 2 Juni 2020 | 09:00 WIB

Kitab Taysir al-Khallaq dan Penguatan Komitmen Berakhlak Mulia

Kitab Taysir al-Khallaq ini penting direvitalisasi. Sebab, rutinitas pendidikan kita seringkali disibukkan dengan aspek kognitif dan psikomotorik belaka.

Salah satu literatur yang dikaji dalam dunia pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren di Indonesia, adalah kitab Taysir al-Khallaq (Memudahkan Berakhlak) karya Syekh Hafizh Hasan al-Mas’udi, seorang ulama di Darul Ulum, Al-Azhar, Mesir. Kitab ini menjadi rujukan wajib untuk pelajar di Al-Azhar; demikian juga menjadi bahan rujukan sejak puluhan tahun lalu oleh berbagai pondok pesantren di Tanah Air, termasuk pondok pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Kitab yang terdiri atas 31 pokok bahasan ini selesai ditulis oleh sang mu’allif pada hari Jumat sore, tanggal 26 Jumadil Ula 1339 H/1918 M.

 

Dalam dunia perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI), kitab ini juga telah dijadikan sebagai objek riset terutama dalam menuntaskan studi sarjananya. Di UIN Sunan Ampel, Surabaya, misalnya, kajian dengan objek kitab Taysir al-Khallaq telah dilakukan oleh Muhammad Khakim Ashari, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Melalui skripsinya, ia telah menempatkan kitab ini sebagai kajian tunggalnya dengan karyanya berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam kitab Taysir al-Khallaq Karya Hafidz Hasan Al-Mas’udi dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam”, yang diselesaikan pada tahun 2015.

 

Di UIN Malauna Malik Ibrahim, misalnya, Moh. Muzammil Al-Ghozi, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam, telah membahas kitab Taysir al-Khallaq ini dan memperbandingkannya dengan kitab Ta’lim Al-Muta’allim dalam skripsinya bertajuk “Kitab Taysir al-Khallaq dan Kitab Ta’lim Al-Muta’allim tentang Akhlak Mengajar Guru dan Akhlak Belajar Murid” yang diselesaikan pada tahun 2018. Demikian juga di berbagai kampus PTKI lainnya, seperti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditulis oleh Jajang Supriatna, tahun 2018 dengan judul skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Taysirul Khalaq dalam Menyikapi Bullying di Kalangan Pelajar”. Intinya, hampir di semua PTKI di negeri ini, dapat kita temui karya-karya risetnya yang membahas Kitab Taysir al-Khallaq ini. Ini artinya karya ini mendapatkan tempat tersendiri, termasuk dunia akademik di tanah air.

 

Secara pribadi, penulis sendiri telah menjadikan kitab ini sebagai objek kajian dalam Program “Ngaji Pendidikan Islam Bareng Kang Wendy”, yang dilaksanakan secara daring (dalam jaringan) selama bulan suci Ramadan 1441 H/2020 hingga membutuhkan 13 (tiga belas) edisi. Arsip dan dokumentasi kajian ini dapat diakses melalui Youtube pada Channel SM Family TV atau klik melalui bit.ly/SMFamilyTV.

 

Jika diklasifikasi, kitab Taysir al-Khallaq mengungkap sejumlah etika yang harus dilakukan oleh seseorang pada tiga hal, yakni etika dirinya dengan Allah SWT, etika dan komitmen dirinya dengan pribadinya sendiri, dan etika antara dirinya dengan orang lain, termasuk dengan kehidupan keluarga. Dengan bahasa yang relatif mudah dipahami, kitab ini menyuguhkan uraian-uraian yang sangat penting dan mendasar. Elaborasi yang tidak hanya didasarkan atas argumen tekstual seperti ayat Al-Quran dan hadits, tetapi juga pendayagunaan nalar yang cukup mewarnai dalam teks-teks kitab ini.

 

Dalam dunia pendidikan Islam, etika merupakan faktor penting dalam mengukur aspek-aspek pendidikan, baik di tingkat persiapan, proses, maupun hasil dari penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Bagi siapa pun yang akan terlibat dalam dunia pendidikan, tak terkecuali bagi pendidik dan peserta didik, komitmen dan kesediaan untuk menata dan belajar berperilaku dan berakhlak mulia merupakan prasyarat yang harus dimiliki agar hasil pendidikannya tercapai secara maksimal. Demikian juga, dalam rangkaian proses penyelenggaraan pendidikan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, menjunjung tinggi atas akhlak mulia sangat diutamakan. Apalagi setelah selesai jenjang pendidikan tertentu, menilai terhadap keluhuran akhlak seseorang jauh lebih diutamakan dibanding dengan kemampuan kognitifnya, sehingga seringkali dikatakan bahwa “beretika itu lebih diutamakan daripada berilmu pengetahuan”.

 

Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi menulis pada bagian pendahuluannya bahwa ilmu akhlak adalah “Ibaratun ‘an qawa’ida yu’rafu biha shalahul qalbi wa sa`iril hawas”, yakni ilmu yang mengungkap kaidah-kaidah tertentu yang mampu mengetahui baiknya hati dan semua dimensi perasa lainnya. Oleh karenanya, lanjut Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi, objek dari akhlak adalah bagaimana kita mampu menghiasi diri dengan perilaku yang baik dan meniadakan perilaku yang tidak baik. Intinya, melalui kitab ini, kita semua diingatkan akan hal penting dan mendasar betapa akhlak itu tidak boleh ditinggalkan.

 

Dalam konteks pendidikan, karya semacam kitab Taysir al-Khallaq ini penting untuk diangkat dan direvitalisasi. Sebab, rutinitas pendidikan kita seringkali disibukkan dengan aspek kognitif (pengetahuan rasional) dan psikomotorik (keterampilan fisik). Sementara dimensi afektif (akhlak dan komitmen keyakinan) belum mendapatkan tempat yang semestinya. Idealnya adalah antara kognitif, psikomotorik, dan afektif harus menyatu dalam setiap peserta didik secara seimbang.

 

Dunia pendidikan di Indonesia menilai penting untuk dikuatkannya kembali terhadap pendidikan akhlak ini, sehingga lahirlah Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Diakui, sebagaimana disebutkan dalam diktum pertimbangan, bahwa menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti menjadi alasan mengapa Peraturan Presiden ini dikeluarkan. Karakter dimaksud dilakukan dengan memperkuat nilai-nilai religiusitas (ketuhanan), komitmen pribadi yang mumpuni (seperti jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri), dan nilai dalam berinteraksi dengan orang lain (seperti demmokratis, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, dan peduli sosial), serta komitmen kebangsaan (seperti cinta tanah air berdasarkan Pancasila). Ini artinya, bahwa pendidikan akhlak yang akan berimplikasi pada karakter, baik pada peserta didik maupun pendidik, menjadi sebuah keharusan untuk diimplementasikan.

 

Sebagai implikasi pendidikan akhlak, dibutuhkan adanya keteladanan dalam setiap lingkungan pendidikan, yakni lingkungan lembaga pendidikan, lingkungan masyarakat, dan lingkungan keluarga. Di lingkungan lembaga pendidikan, mulai pimpinan, guru, hingga tenaga kependidikan pada masing-masing satuan pendidikan harus mencerminkan akhlak dan karakter yang baik. Demikian juga, tokoh-tokoh masyarakat sebagai bagian dari tumpu penddikan, seperti agamawan, politisi, birokrat, pengusaha, dan semua komponen masyarakat lainnya berkomitmen dan memberikan teladan yang baik. Demikian juga, lingkungan keluarga memberikan porsi tidak sedikit dalam proses pembentukan pendidikan akhlak bagi anak-anak di keluarganya.

 

Selain itu, pendidikan akhlak harus berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan akhlak tidak dibatasi pada ruang dan waktu tertentu. Dimanapun dan kapanpun, proses pendidikan akhlak harus dilakukan dan menjadi kebiasaan.

 

Di samping itu, pendidikan akhlak juga harus diorientasikan untuk menumbuhkembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh dan terpadu, sehingga ia mampu mengharmoniskan antara olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh KH Tolchah Hasan, pendidikan yang baik itu harus memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi intuisi, emosi, dan kognisi peserta didik secara terpadu.

 

Pada bagian akhir pendahuluannya, Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi menuturkan bahwa “wa tsamratuhu shalahul qalbi wa sa`iril hawasi fid dunya wal fawzu bi `a’lal maratibi fil akhirat”, yakni hasil pendidikan akhlak adalah baiknya hati dan seluruh anggota badan ketika di dunia dan keberhasilan mencapai derajat tinggi di akhirat.

 

Pernyataan Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi ini menegaskan bahwa siapa pun yang memiliki akhlak mulia dipastikan yang bersangkutan memiliki komitmen dan hati yang bersih dan fisiknya juga akan lebih sehat. Artinya, terdapat relasi yang kuat antara hati atau jiwanya yang baik dengan kesehatan fisik. Pernyataan ini sesungguhnya telah menjadi pijakan sekaligus mengafirmasi atas berbagai hasil temuan psikologi dan riset medis.

 

Seseorang yang diserang penyakit hati maka kepribadiannya terganggu yang kemudian ia kurang mampu menyesuaikan diri secara wajar dan tidak sanggup memahami problemanya. Secara psikologis, orang semacam ini terkena psikosomatik atau “sakit pikiran” yang pada gilirannya menimbulkan ekspresi sedih, marah, gugup, patah hati, atau stres. Ini membuktikan bahwa sakit psikis dapat menimbulkan ragam penyakit.

 

Salah seorang dokter spesialis penyakit dalam dari RSCM, dr. Ari F.Syam, dalam sebuah wawancara melalui media elektronik, menyatakan bahwa 60-70% penyebab gangguan pencernaan adalah karena gangguan psikis. Pada saluran pencernaan sesugguhnya tidak bermasalah, namun penyakit dalamnya itu lebih disebabkan oleh stres dan psikis, kurang tidur, serta pola makan tidak teratur. Selain itu sebagian besar penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung koroner, stroke, dan asma, juga bisa diperburuk dengan kondisi sakitnya akibat faktor stres atau psikis.

 

Beberapa temuan ini menunjukkan bahwa jiwa dan fisik merupakan suatu kesatuan. Jika jiwa sakit, fisik kita juga ikut sakit. Semoga kita dapat memulai dan terbiasa untuk berhati besih dan berperilaku dengan baik, amin.

 

 

Suwendi, Pendiri Pesantren Nahdlah Bahriyah Cantigi, Indramayu; Dewan Pakar Persada NU (Persatuan Dosen Agama Islam Nahdlatul Ulama); dan Ketua DPP FKDT (Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah)