Tasawuf/Akhlak

Mencari Ilmu supaya Dapat Gelar dan Jabatan?

Sel, 19 Februari 2019 | 12:15 WIB

Mencari Ilmu supaya Dapat Gelar dan Jabatan?

Ilustrasi (via pixels.com)

Sudah maklum bahwa hukum mencari ilmu adalah wajib bagi semua umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. Ilmu menjadi dasar orang bisa dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan orang yang memiliki ilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah. 

Ada pesan menarik dari Sayyidina Ali, orang yang mencari ilmu hendaknya tidak mempunyai niat untuk membanggakan dirinya sendiri, supaya bisa berdebat dengan orang bodoh, pamer kepada sesama manusia dan untuk mendapatkan kedudukan. 

Mencari ilmu supaya mendapatkan gelar akademik semata sehingga menaikkan strata sosial di tengah-tengah masyarakat atau jabatan-jabatan tertentu, dilarang oleh agama. Selain pesan Sayyidina Ali di atas, terlebih dahulu Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut: 

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Barangsiapa belajar ilmu dengan tujuan seharusnya untuk mencari ridha Allah azza wa jalla semata, namun ia tidak mempelajarinya kecuali hanya bisa mendapatkan materi duniawi, ia tidak akan pernah bisa mencium baunya surga pada hari kiamat.” (Sunan Abi Dawud: 3664)
Dua keterangan di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa orang mencari ilmu harus bersih niatnya sejak awal. Jangan sampai diniatkan semata untuk mendapatkan gelar, supaya dapat istri cantik, dan lain sebagainya. 

Ada cerita yang cukup tenar di kalangan kita sebagaimana sebagaimana dikutip dalam kitab Manhaju Dzawin Nadzar, Imam Al-Ghazali dalam mencari ilmu tidak murni karena Allah. Beliau dan saudaranya Ahmad, sebelum alim di kemudian hari, awalnya juga dimulai dari mencari ilmu bukan karena Allah semata. Mereka berdua mencari ilmu agar dapat makan gratis. Baru setelah mereka mendapatkan ilmu yang banyak, ilmu yang mereka peroleh, mengantarkan keduanya dekat kepada Allah. 

Meskipun begitu, Imam Al-Ghazali sendiri tetap berpesan supaya orang-orang tidak tertipu dengan quote Sufyan ats-Tsauri:

ولا ينبغي أن يغتر الإنسان بقول سفيان "تعلمنا العلم لغير الله فأبى العلم أن يكون إلا لله فإن الفقهاء يتعلمون لغير الله ثم يرجعون الى الله

Artinya: “Sebaiknya jangan sampai ada orang yang tertipu dengan perkataan Sufyan ats-Tsauri ‘Kami belajar ilmu bukan karena Allah, namun kemudian ilmu itu akan dengan sendirinya tidak mau kecuali hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sesungguhnya para pakar fiqih, mereka mencari ilmu bukan karena Allah, namun mereka kemudian kembali (lurus niatnya) karena Allah.” (Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Darul Ma’rifah, Beirut], juz 2, halaman 237) 

Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa kata Sufyan di atas sesuai dengan realitas. “Lihatlah akhir hayat para pakar fiqih itu, mereka akhirnya meninggal dalam keadaan masih tetap saja mencari dunia. Karena quote Sufyan memang tak sesuai realitas,” kata Al-Ghazali. 

Menurut pandangan beliau, yang dikehendaki oleh Sufyan As-Tsauri bahwa ilmu yang nantinya bisa menuntun orang yang bisa otomatis menjadi dekat dengan Allah adalah ilmu hadits, tafsir Al-Quran, kisah para Nabi dan shahabat. Sebab keilmuan-keilmuan yang seperti demikian akan bisa menimbulkan takut kepada Allah. Andai pun tidak bisa mendekatkan sekarang, mungkin pada suatu saat nanti. Dalam Ihya’ Ulumiddin juga dijelaskan:

واعلم أن العلم الذي أشار اليه سفيان هو علم الحديث وتفسير القرآن ومعرفة سير الأنبياء والصحابة فإن فيها التخويف والتحذير وهو سبب لإثارة الخوف من الله فإن لم يؤثر في الحال أثر في المآل

Artinya: “Ketahuilah sesungguhnya ilmu yang dikehendaki oleh Sufyan adalah ilmu hadits, tafsir Al-Quran, sejarah para nabi dan sahabat. Sesungguhnya ilmu-ilmu tersebut bisa menjadikan orang takut kepada Allah dan memberikan warning. Ilmu-ilmu ini bisa menyebabkan orang takut kepada Allah. Jika tidak mempunyai efek seketika, akan bermanfaat suatu saat kelak.” 

Sedangkan ilmu yang membahas tentang ilmu kalam, fiqih yang hanya bersinggungan dengan fatwa-fatwa konsep muamalah saja, ilmu perdebatan (tanpa dibarengi ilmu pendekatan kepadan Allah) akan menjadikan orang tersebut selalu tamak kepada dunia sampai akhir hayatnya. 

Oleh karena itu, bagi orang yang mencari ilmu dengan tujuan apapun, selama yang dicari adalah ilmu yang mempelajari Al-Quran hadits, dengan niatan apapun sehingga seumpama ada orang yang mencari ilmu untuk mencari gelar, mencari dunia, bagi para pemula diperbolehkan. Sedangkan bagi para pencari ilmu selain kedua disiplin ilmu di atas, harusnya diniati sejak awal bahwa niat yang baik, yaitu mencari ilmu adalah untuk menjalankan perintah dan mencari ridla Allah dan Rasul-Nya. 

Atau bisa saja mencari ilmu dengan niatan melengkapi kehidupan dengan ilmu fardhu kifayah. Seperti menjadi dokter, misalnya. Tidak boleh ada satu masyarakat yang tidak ada satupun penduduknya menjadi dokter, maka mencari ilmu untuk memenuhi kebutuhan fardhu kifayah seperti ini tentu diperbolehkan. 

Menurut sebagian ulama, orang yang mencari ilmu dengan tujuan duniawi seperti hanya untuk mendapatkan gelar, kedudukan dan sebagainya, hal tersebut bagaikan orang yang mengambil kotoran namun dengan sendok emas. Dunia seisinya itu adalah kotoran, sedangkan ilmu adalah emas. Bagaimana ada orang tega menggunakan emas hanya untuk menyendok kotoran?

Kesimpulannya, bahwa mencari ilmu apa pun yang penting bermanfaat untuk kehidupan masyarakat diperbolehkan, asalkan dari awal harus dibangun niat-niat yang baik, seperti memenuhi kebutuhan fardhu kifayah masyarakat, mengikuti perintah Allah dan lain sebagainya. Yang penting tidak semata-mata mencari gelar dan jabatan di tengah masyarakat. Karena hal ini sangat remeh-temeh jika dibanding dengan kebesaran ilmu itu sendiri.


Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang