Tasawuf/Akhlak

Muruah Makan di Pasar dan Buang Air Kecil di Jalanan

Kam, 22 Agustus 2019 | 07:30 WIB

Muruah Makan di Pasar dan Buang Air Kecil di Jalanan

Perhatian seseorang atas pelanggaran-pelanggaran kecil bisa jadi cermin dari integritasnya atas hal-hal besar. (Ilustrasi: dailydot.com)

Saat mengaji di waktu kecil kita mendapat penanaman nilai dan ajaran untuk memelihara kehormatan, harga diri, dan nama baik dengan menjaga ucapan dan tindakan. Forum pengajian anak-anak kecil memang sebuah momentum bagus bagi penanaman nilai-nilai yang baik.
 
Agama Islam dan selanjutnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut harga diri dan nama baik itu dengan kata “muruah”, yang kemudian disebut secara kaprah di kalangan politisi dan media dengan kata “marwah”.
 
Anak-anak kampung yang belajar mengaji dianjurkan untuk menjauhkan diri dari ucapan dan tindakan yang dapat merusak dan mencederai muruah. Mereka diajarkan untuk tidak berbohong, menipu, mencuri, menyakiti orang lain, melawan orang tua, bersikap angkuh, dan berlaku kurang ajar terhadap orang yang lebih tua.
 
Mereka juga bahkan diajarkan untuk menjauhi hal-hal kecil yang dapat merusak muruah seperti membuang air kecil di jalanan, makan di pasar, makan di depan pintu, minum atau makan sambil berdiri, atau menggunakan tangan kiri untuk melakukan banyak hal.
 
Masalah nilai-nilai ini dipinjam oleh ahli hadits dalam menentukan kualitas hadits dengan mengukur sejauh mana perawi hadits menjauhkan hal-hal yang dapat mencederai muruahnya yang berpengaruh pada kualitas bahkan pada tingkat penerimaan hadits yang diriwayatkan olehnya.
 
“Seorang perawi harus bersikap ‘adil’ dengan menjauhi dosa besar dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menggugurkan muruah bersikap ‘gila’, berlaku ‘bodoh’, makan di pasar, kencing di jalan,” (Lihat Syekh Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Luma‘ pada hamisy Al-Bayanul Mulamma‘ ‘an Alfazhil Luma‘ lis Syekh MA Sahal Mahfudh, [Pati, Mabadi’ Sejahtera: tanpa catatan tahun], halaman 128).
 
As-Syairazi menambahkan bahwa periwayat hadits yang tidak memiliki sifat seperti ini tidak bisa dipercaya dari tindakan “menyepelekan” periwayatan hadits yang tidak ada sumbernya. Tidak heran jika Sayyidina Ali karramallahu wajhah menolak hadits salah seseorang hanya karena yang bersangkutan kerap membuang air kecil (kencing) sambil berdiri.
 
Pelanggaran-pelanggaran kecil yang dapat merusak muruah ini dihitung sebagai ukuran penilaian integritas para periwayat hadits. Pasalnya, pengabaian atas pelanggaran-pelanggaran kecil dicatat sebagai sebuah tindakan pengabaian. Orang abai seperti ini tidak mustahil mengabaikan pelanggaran berat seperti berdusta, dalam konteks ini yaitu meriwayatkan ucapan yang tidak bersumber dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
 
Tindakan abai atas pelanggaran kecil seperti makan di pasar atau kencing di jalanan, bagi kalangan ulama ushul dan ahli hadits, tidak dapat dipandang perkara kecil karena bobot pelanggarannya. Tindakan abai itu dinilai dari tindakan pengabaiannya itu sendiri.
 
Dari sini kemudian, banyak ustadz mengajarkan anak-anak di pengajian untuk menjauhkan diri dari tindakan yang dapat merusak muruah seperti makan di pasar dan kencing di jalanan.
 
Namun demikian, tidak semua tindakan makan di pasar dan kencing di jalanan dinilai dapat merusak muruah. Hal ini diangkat oleh KH MA Sahal Mahfudh dalam karyanya, Al-Bayanul Mulamma‘ ‘an Alfazhil Luma‘.
 
Menurutnya, sejauh aktivitas makan di pasar dan kencing di jalanan dilakukan di ruang tertutup seperti di kedai atau di toilet umum dapat dikategorikan sebagai pengecualian. Dengan demikian, buang air kecil di perjalanan atau makan di rumah makan tidak masalah terhadap muruah.
 
قوله (والأكل في السوق) أي في طريقه لغير سوقي، أما لو أكل في السوق داخل حانوت أو مطعم مستترا فلا يخل المروءة
 
Artinya, “(Makan di pasar) di jalan pasar bagi bukan orang pasar. Adapun seandainya makan pada ruang tertutup sebuah kedai makan atau restoran di dalam pasar, maka praktik ini tidak mencederai muruah,” (Lihat Syekh MA Sahal Mahfudh, Al-Bayanul Mulamma‘ ‘an Alfazhil Luma‘, [Pati, Mabadi’ Sejahtera: tanpa catatan tahun], halaman 128).
 
Keterangan KH MA Sahal Mahfudh dalam karyanya, Al-Bayanul Mulamma‘ ‘an Alfazhil Luma‘, menjadi penting untuk catatan dalam pembahasan perihal hal kecil yang dapat merusak muruah.
 
Bisa jadi yang dimaksud merusak muruah itu bila buang air kecil dilakukan sambil berdiri karena ini adalah makruh dan dilakukan di tempat terbuka, apalagi bila tanpa istinja’. Wallahu a‘lam(Alhafiz K)