Tasawuf/Akhlak

Pengertian Tawakal yang Sering Disalahpahami Sebagian Orang

Sen, 7 Juni 2021 | 22:45 WIB

Pengertian Tawakal yang Sering Disalahpahami Sebagian Orang

Ketaatan seseorang pada prokes dan vaksin tidak mengurangi kadar tawakalnya kepada Allah karena keduanya bergerak pada domain masing-masing, dalam batin pada satu sisi dan lahiriah fisik pada sisi lain.

Tawakal secara bahasa berarti pasrah. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut tawakal dengan “Pasrah diri kepada kehendak Allah SWT; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah SWT.” Sedangkan sebagian masyarakat memahami tawakal sebagai menyerah pada keadaan dan kenyataan tanpa sebab/upaya/ikhtiar/syariat.


Pemahaman sebagian orang tersebut perlu ditanggapi. Pada kesempatan ini penulis akan membahas pengertian tawakal dengan mengutip keterangan dari Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah sebagai berikut:


واعلم أن التوكل محله القلب، والحركة بالظاهر لا تنافي التوكل بالقلب، بعد ما تحقق العبد أن التقدير من قبل الله تعالى؛ فإن تعسر شيء فبتقديره، وإن اتفق شيء فبتيسيره


Artinya, “Ketahuilah, tawakal bertempat di hati. Sedangkan gerakan fisik lahiriah tidak menafikan kerja tawakal di hati setelah keyakinan seorang hamba mantap di hati bahwa takdir berasal dari Allah SWT. Jika suatu kenyataan itu tampak sulit, maka berlaku takdir-Nya. Tetapi jika suatu kenyataan sesuai dengan keinginannya, maka itu terjadi berkat kemudahan yang diberikan Allah.” (Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 92).


Dari sini kita mendapatkan penjelasan bahwa tawakal di satu sisi adalah sikap batin yang tenang karena menyerahkan urusan kepada Allah. Sedangkan sebab/upaya/ikhtiar/syariat adalah aktivitas lahiriah fisik untuk menuju keinginan yang diidealkan di sisi lain.


Dengan demikian, keduanya (tawakal dan sebab/upaya/ikhtiar/syariat) tidak dipertentangkan, dihadap-hadapkan, dan dipilih salah satunya karena diasumsikan tidak dapat berjalan seiring. Terkait pembahasan tawakal, Imam Al-Qusyairi mengutip hadits berikut ini:


عن أنس بن مالك قال جاء رجل على ناقة له، يا رسول الله، أدَعها وأتوكل؟ فقال اعقلْها وتوكَّلْ


Artinya, “Dari Anas bin Malik RA, ia bercerita bahwa suatu hari seseorang dengan mengendarai unta miliknya mendatangi Rasulullah. Ia bilang, ‘Wahai Rasulullah, aku melepasnya dan aku bertawakal.’ Rasulullah menjawab, ‘Ikatlah untamu. Tawakallah,’” (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 92).


Syekh Abu Zakariya Al-Anshari menambahkan dalam catatan atas hadits tersebut bahwa tawakal dan sebab/upaya/ikhtiar/syariat bukan bersifat opsional yang harus dipilih salah satunya karena keduanya tidak saling menafikan.


فيه دلالة على أن السبب لكونه فعل الجارحة لا ينافى التوكل لكونه فعل القلب بل قد يجب السبب


Artinya, “Hadits ini menjadi dalil bahwa sebab/ikhtiar/upaya/syariat sebagai aktivitas lahiriah fisik tidak menafikan tawakal sebagai aktivitas batin. Bahkan sering kali sebab/ikhtiar/upaya merupakan kewajiban syar’I,” (Abu Zakariya Al-Anshari, Muntakhabat min Syarhir Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 92).


Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan, bahwa tawakal di satu sisi dan sebab/ikhtiar/upaya/syariat di sisi lain tidak saling menegasikan. Keduanya bekerja pada domainnya masing-masing.


Misalnya dalam konteks pandemi Covid-19, orang yang menaati prokes dan mengikuti program vaksin misalnya bukan berarti tidak bertawakal kepada Allah. Orang menaati prokes dan mengikuti program vaksin sebagai bentuk preventif sudah benar dalam menjalankan kewajiban sebab/ikhtiar/upaya/syariat sebagaimana diterangkan Al-Anshari.


Ketaatan seseorang pada prokes dan vaksin tidak mengurangi kadar tawakalnya kepada Allah karena keduanya bergerak pada domain masing-masing, dalam batin pada satu sisi dan lahiriah fisik pada sisi lain. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)