Sirah Nabawiyah

Sikap Tawakal Sesuai Tuntunan Rasulullah

Rab, 9 Juni 2021 | 01:00 WIB

Sikap Tawakal Sesuai Tuntunan Rasulullah

IIustrasi Rasulullah Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Bertawakal sesuai tuntunan Rasulullah SAW merupakan perbuatan di mana manusia berikhtiar terlebih dahulu. Tawakal bukan dipraktikkan dengan tidak melakukan apa-apa, lalu tiba-tiba menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT.


Nabi dan para sahabatnya senantiasa bertawakal kepada Allah setelah berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin. Bertawakal sebelum berikhtiar adalah sikap fatalistis yang dilarang Islam. Manusia Muslim diperintahkan agar berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.


Demikian kerasnya perintah agar manusia Muslim berusaha, Umar bin Khattab pernah mengusir seseorang yang kerjanya hanya berdoa di masjid. Beliau berkata kepada orang itu: “Tidak ada hujan uang dari langit”.


Penulis buku Riyadhul Mu'min, KH Zakky Mubarak menjelaskan riwayat lain yang menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan mengerjakan Shalat Ashar di Masjid Nabawi di Madinah, tiba-tiba ada seorang jamaah datang dari luar kota, menggunakan kendaraan mahal, yaitu unta berwarna merah. Orang itu melepaskan untanya tanpa diikat terlebih dahulu, kemudian memasuki masjid, mengikuti shalat jamaah.

 


Melihat sikap orang ini Nabi Muhammad kembali dari depan dan bertanya kepadanya: “Fulan kenapa engkau lepas untamu?” Orang itu menjawab, “Aku bertawakkal kepada Allah. Kalau Allah takdirkan untaku hilang, meskipun aku ikat pasti hilang. Dan jika Allah takdirkan unta itu tidak hilang, meskipun kami lepas ia tidak akan hilang”.


Nabi Muhammad pun bersabda, "I’qilha wa tawakkal” (tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu bertawakal-lah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dengan kadar hadis hasan. Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah semata. Namun penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi.


Jelas sekali Islam memerintahkan agar kita berusaha semaksimal mungkin dalam mengusahakan sesuatu, baru kemudian bertawakal kepada Allah SWT.


Profesor Muhammad Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa dalam hal menjadikan Allah SWT sebagai ‘wakil’ atau apabila manusia bertawakal kepada-Nya. Maka manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.


Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasib manusia kepada Allah semata. Namun penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Seperti yang dijelaskan lewat riwayat di atas.


Masih menurut penjelasan Prof Quraish Shihab bahwa terdapat perbedaan antara istilah menjadikan wakil dalam wilayah manusia dan Allah SWT. Dalam pandangan sesama manusia, tugas wakil adalah mengikuti petunjuk dari yang mewakilkan.

 


Juga status wakil bisa ditarik bila terdapat kekeliruan di dalam menjalankan amanat. Begitu pula ketika wakil telah bekerja, maka sang pemberi petunjuk boleh untuk tidak terlibat langsung di dalam urusan.


Namun, itu jauh berbeda ketika seorang manusia menjadikan Allah SWT sebagai wakilnya dalam sebuah urusan. Karena Allah SWT lebih mengetahui permasalahan, sementara manusia tidak. Kuncinya, ketika bertekad menjadikan Allah SWT sebagai wakil, maka yakinlah apa yang akan diputuskan atau jalan yang dipilihNya adalah hal yang terbaik.


Berbeda di saat memilih wakil dalam konteks manusia yang dipercaya menggantikan secara penuh dalam menghadapi apa yang ditugaskan, pemaknaan tawakal bukan berarti memasrahkan persoalan kepada Tuhan tanpa didahului usaha yang maksimal. Tidak ada perintah bertawakal kepada Allah SWT dalam Al-Qur’an kecuali sebelumnya terdapat perintah untuk berusaha.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon