Tasawuf/Akhlak

Penjelasan Imam Al-Ghazali tentang Tasawuf dan Sufi

Senin, 16 September 2019 | 07:00 WIB

Penjelasan Imam Al-Ghazali tentang Tasawuf dan Sufi

Ilustrasi sufi. (Pinterest)

Mungkin sekali waktu kita sedikit mengalami kesulitan untuk menjelaskan tasawuf dan sufi kepada orang lain dengan kalimat singkat dan sederhana. Mungkin juga kita menjelaskan tasawuf dan sufi dengan penjelasan panjang yang tidak definitif.

Mungkin juga kita menjelaskan tasawuf dan sufi dengan pengertian rumit yang justru menjauhkan tasawuf dari pengertian aslinya. Pasalnya, tasawuf memiliki pokok utama yang tidak bisa dilepaskan. Sementara banyak penjelasan lainnya hanya merupakan cabang, ekspresi, dan bentuk penerjemahan dari pokok-pokok tasawuf.

Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan pendek yang menjadi pokok-pokok dalam tasawuf. Penjelasan pendek ini cukup memadai. Ia menyebutkan hablum minallah dan hablum minan nas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf.

Dua pilar utama tasawuf ini disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad untuk mengenalkan dunia tasawuf dan sufi kepada anak-anak. Dua ajaran pokok dalam tasawuf ini disampaikan dengan bahasa singkat dan sederhana agar mudah dimengerti kalangan anak-anak.

Meski demikian, bobot penjelasan singkat ini cukup bermanfaat juga bagi orang dewasa. Pasalnya penjelasan singkat dan sederhana ini tidak mengurangi substansi tasawuf. Penjelasan sederhana itu berbunyi sebagai berikut:

ثم اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي

Artinya, “Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah bersama Allah SWT, berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,” (Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: 2005], halaman 15).

Bagi Imam Al-Ghazali, upaya menemukan inti dari tasawuf tidak sulit baginya. Pasalnya, ia memahami benar apa yang dia bicarakan berpanjang-panjang selama ini dalam karyanya terutama Ihya Ulumiddin.

Istiqamah bersama Allah baik secara lahir dan batin menuntut kebulatan hati dan kesatuan perbuatan yang sesuai garis agama Islam. Sedangkan interaksi secara baik dengan empati terhadap makhluk-Nya merupakan sisi lain tasawuf yang sulit dipisahkan dari yang pertama, yaitu istiqamah.

Tasawuf bukan semata persoalan lahiriah yaitu soal jubah, serban, biji tasbih, rida hijau yang diselempangkan di bahu, berjenggot, bertongkat, menunjukkan lafal tauhid, memotong celana hingga di atas mata kaki, mengubah ejaan menjadi lebih islami dalam media sosial, atau soal kekuatan ghaib akrobatik dengan pelbagai kecenderungan khariqul adat.

Tasawuf, bagi Imam Al-Ghazali, juga bukan fenomena hijrah lalu dipahami secara sempit sebagai tindakan meninggalkan aktivitas yang dianggap tidak islami atau uzlah menjauhi manusia dan pelbagai aktivitas yang dipersangkakan haram.

Adapun sufi dalam bahasa sederhana Imam Al-Ghazali adalah orang yang menjaga perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar.

Dengan pengertian sederhana ini, setiap orang dapat menjadi atau menyandang status sufi tanpa harus mengubah penampilan dan meninggalkan aktivitas keseharian yang telah dijalani selama ini selagi tidak melanggar syariat.

Pelajar, mahasiswa, santri, guru, dosen, pekerja pabrik, karyawan bank, buruh, pekerja swasta, ASN, desainer, fotografer, pemusik, dapat menjadi sufi tanpa harus mengubah tampilan lahiriah dan meninggalkan aktivitas kesehariannya. Dalam bahasa singkat, setiap dari kita dapat menjadi sufi dengan dua pilar tasawuf tersebut tanpa harus ikut-ikutan dalam ‘fenomena hijrah.’ Wallahu a‘lam.

Penulis: Alhafiz Kurniawan
Editor: Muchlishon