Sikap Rasulullah Atasi Ujaran Kebencian dan Cemburu Buta
NU Online ยท Kamis, 21 Juni 2018 | 03:03 WIB
Siti Aisyah RA secara jujur menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah menegur dirinya karena melontarkan perkataan yang menyangkut fisik istri Rasulullah SAW lainnya. Rasulullah SAW tidak segan menegur sebuah tindakan seseorang di luar batas dalam mengekpresikan perasaan cemburu atau kecewa sebagaimana riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi berikut ini:
Artinya, โDiriwayatkan kepada kami dalam Sunan Abbu Dawud dan At-Tirmidzi dari Aisyah RA, ia berkata, โAku pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, โCukup bagimu perihal kekurangan Shafiyyah yang ini dan itu,โโsebagian perawi mengatakan bahwa yang dimaksud Aisyah adalah soal tinggi badan Shafiyah yang rendah.โRasul menegurku, โKau telah melontarkan sebuah kalimat luar biasa, yang bila dilemparkan ke laut, niscaya ia akan bercampur (mengubah rasa air) laut tersebut.โ Aku juga pernah menceritakan (keburukan) seseorang kepadanya. Lalu Rasul menanggapi, โAku tidak suka bercerita perihal seseorang dan aku mendapatkan (keuntungan) ini dan itu.โโ At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih,โ (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 289).
Imam An-Nawawi yang mengutip hadits ini dalam Kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa kalau saja ucapan ghibah itu berujud fisik lalu dilemparkan ke laut, niscaya ucapan keji itu mengubah rasa dan aroma air laut tersebut menjadi busuk dan pahit.
Menurut Imam An-Nawawi, ia belum pernah menemukan hadits lain di mana Rasulullah SAW berbicara sekeras ini menanggapi masalah ghibah. Ia juga berdoa kepada Allah agar melindungi kita semua dari tindakan yang dibenci oleh Allah itu sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi berikut ini:
Artinya, โMenurutku (kata Imam An-Nawawi), maksud โbercampurโ adalah percampuran yang dapat mengubah rasa dan bau air laut karena sangat bau busuk dan keburukan kalimat tersebut. Hadits ini merupakan salah satu larangan terkuat perihal ghibah atau bahkan larangan paling kuat. Saya tidak menemukan hadits lain yang mengecam keburukan ghibah melebihi hadits ini. Allah berfirman, โTidaklah ia (Nabi Muhammad SAW) berbicara berdasarkan hawa nafsu. Ucapannya itu adalah wahyu yang diturunkan kepadanya belaka,โ (An-Najm). Kita memohon kelembutan dan pemeliharaan dari segala yang perbuatan yang dibenci kepada Allah yang murah,โ (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 289-290).
Imam An-Nawawi tampak sekali menjaga diri dari ghibah. Ia menunjukkan hal ini ketika ditanya pandangannya soal paham kontroversial Ibnul Arabi yang hidup seabad sebelumnya sebagaimana didokumentasikan oleh Syekh Ibnu Ajibah berikut ini:
Artinya, โAdapun bentuk penghormatan (kita) terhadap orang terdahuluโmereka yangย dimaksud adalah para sahabat rasul, tabiโin, para wali, orang-orang saleh, dan ulamaโadalah hanya menyebut kebaikan mereka dan mengambil madzhab (jalan atau pandangan) terbaik dari mereka. Imam An-NawawiโAllah yarhamuhโketika ditanya sikapnya terhadap pandangan Ibnul Arabi (yang wafat lebih dulu) menjawab dengan bijak, โPerkataan (Ibnul Arabi) adalah perkataan kalangan sufi. Ia termasuk umat terdahulu. Mereka akan menerima jerih payah mereka. Begitu juga kalian. Kalian akan menerima jerih payah kalian. Kalian takkan diminta pertanggungjawaban atas jerih payah mereka.โ Salah satu bentuk penghormatan (kita) untuk mereka adalah permohonan ampunan dan ridha Allah untuk mereka. Allah berfirman, โOrang-orang beriman yang datang sepeninggal mereka berdoa, โTuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang beriman yang telah mendahului kami,โโโ (Lihat Syekh Ibnu Ajibah Al-Hasani, Al-Futuhatul Ilahiyyah fi Syarhil Mabahitsil Ashliyyah, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, halaman 263).
Menceritakan atau membuat sebuah narasi tentang seseorang atau lembaga tertentu yang dapat menguntungkan diri secara duniawi sekalipun sebaiknya dihindari. Pasalnya, dosa ghibahnya lebih besar daripada keuntungan duniawi tersebut sebagaimana keterangan Syekh Ibnu Alan perihal keterangan Imam An-Nawawi berikut ini:
Artinya, โIni merupakan isyarat atas besarnya dosa ghibah. Sementara keuntunganโmeskipun banyakโyang didapat dari ghibah itu tidak sebanding dengan dosa ghibah tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dengan โini dan ituโ. Kata ini merupakan kiasan yang mengilustrasikan kuantitas yang demikian banyak. Meninggalkan ghibah adalah jalan keselamatan. Sedangkan aktivitas (dengan niat) baik itu membawa keuntungan. Tetapi jalan keselamatan harus didahulukan dibandingkan keuntungan sebagaimana keterangan telah lalu. Wallahu aโlam,โ (Lihat Muhammad bin Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz VI, halaman 390).
Dari pelbagai catatan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa warna-warni batin yang kita rasakan termasuk marah, bahagia, cemburu, sedih, kecewa, dan perasaan lainnya adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita mengendalikan perasaan itu agar tidak melahirkan ucapan (ujaran kebencian) atau tindakan yang melewati batas-batas baik hukum syariat maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia, termasuk salah satunya adalah menyerang kekurangan fisik orang lain. Wallahu aโlam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
3
Khutbah Jumat: Refleksi Akhir Safar, Songsong Datangnya Maulid
4
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
5
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
6
Pimpinan DPR Bantah Gaji Naik, tapi Dapat Berbagai Tunjangan Total hingga Rp70 Juta
Terkini
Lihat Semua