Sikap Terhadap Orang yang Mengingkari Nabi Khidir dan Para Wali
NU Online · Selasa, 28 Desember 2021 | 11:30 WIB
Alhafiz Kurniawan
Penulis
Sebagian orang tidak mempercayai dunia sufisme termasuk di dalam soal keberadaan para wali, Nabi Khidhir, pembukaan rahasia Allah swt. Mereka kadang bukan orang awam juga. Mereka kadang terdiri dari ulama-ulama yang memiliki perhatian pada ilmu lahiriyah seperti fiqih.
Sebenarnya sejak lama pertentangan pandangan antara ulama fiqih/syariat dan para suif/spiritualis. Ulama fiqih/syariat memandang sesuai berdasarkan ukuran-ukuran syariat dan didukung oleh kelimuan syariat dan dalil-dalil lahiriyah. Sedangkan para sufi dan ulama-ulama hakikat lebih banyak berpatokan pada intuitif.
Adapun dalam merespons pengingkaran ahli fiqih atas ilmu dan dunia hakikat, kita perlu mengikuti pandangan ahli fiqih meski ahli fiqih itu menanggapi masalah yang berada di luar bidang pengetahuannya.
Sikap seperti ini merupakan salah satu adab para sufi terdahulu. Ketika berhadapan dengan ahli fiqih yang mengingkari dunia hakikat, para wali, dan karamatul auliya, salafus saleh terdahulu cenderung mengambil sikap harmoni sehingga mereka membenarkan pandangan ahli syariat yang sangat terbatas itu.
موافقة الفقيه إذا أنكر شيئا من أحوال أهل الطريق أو أمرهم بشيء ولا يقيم أحدهم عليه الحجة إلا إن علم أنه يرجع إلى قوله وذلك لأن الفقيه في دائرة لا يعرف غيرها
Artinya, “(Salah satu akhlak orang-orang saleh adalah) menyetujui pandangan ahli fiqih yang mengingkari ihwal ahli tarekat atau perintah mereka perihal sesuatu. Sementara mereka tidak dapat membangun argumentasinya kecuali dengan berpijak pada pendapatnya. Sedangkan ahli fiqih berada pada sebuah domain yang tidak diketahui selain bidangnya,” (Abdul Wahhab As-Sya’rani, Tanbihul Mughtarrin, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 48).
Baca juga: Kisah Nabi Khidir dan Kota yang Berubah
Kita baiknya membenarkan dengan catatan ahli syariat yang mengingkari rijalul ghayb seperti wali quthub, wali autad, wali abdal, dan Nabi Khidir. Membenarkan dengan catatan karena dunia para wali berada di luar domain pandangan ahli syariat.
فإذا قال إن القطب مثلا أو البدل أو الوتد لا حقيقة له فقل له نعم واقصد بذالك أنه ليس له حقيقة عنده وإذا قال الأولياء قد انقرضوا ولم يبق منهم أحد فقل له صدقت أي على معتقده هو وكذا إن قال الخضر لا وجود له فقل له نعم
Artinya, “Bila ahli fiqih mengatakan, ‘Sungguh, wali quthub, wali abdal, atau wali autad misalnya itu tidak memiliki hakikat,’ jawablah, ‘Benar,’ tetapi niatkan bahwa ‘kebenaran’ itu berlaku menurutnya. Jika ahli fiqih itu mengatakan, ‘Era para wali sudah selesai. Sekarang tidak ada lagi wali Allah,’ maka jawablah ‘Pak ustadz benar,’ maksudnya benar menurut keyakinannya. Demikian juga ketika ahli fiqih mengatakan, ‘Nabi Khidir tidak ada,’ jawablah ‘Benar,’” (As-Sya’rani: 48).
Dengan sikap harmoni demikian, kita tidak menyalahi pandangan ahli syariat sekaligus tidak mengingkari para wali Allah dengan masing-masing keramatnya yang bertebaran di muka bumi. Wallahu a’lam.
Alhafiz Kurniawan, Redaktur NU Online
Terpopuler
1
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
2
Paus Fransiskus, Ia yang Mengurai Simpul Kehidupan dan Menyembuhkan Luka-luka Dunia
3
Perkuat Peran Sosial-Ekonomi, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Banuroja dan LPPNU Gorontalo Gelar Halaqah Pertanian
4
Cara Cegah Pelecehan Seksual di Institusi Pelayanan Kesehatan
5
Khutbah Nikah: Menjaga Kelanggengan Pernikahan
6
Keteladanan Paus dan Duka Gaza
Terkini
Lihat Semua