Silaturahim: Bukan Membalas Kunjungan, tapi Menyambung yang Putus
Sen, 31 Januari 2022 | 21:00 WIB
Patoni
Penulis
Silaturrahim dalam ajaran syariat Islam merupakan amalan utama karena mampu menyambungkan apa-apa yang tadinya putus dalam relasi hablum minannas. Belum lagi keutamaan dari amalan ini yang di antaranya dapat memperpanjang umur serta melapangkan rezeki.
Terkait substansi silaturrahim ini, Muhammad Quraish Shihab dalam buku karyanya Membumikan Al-Qur’an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999: 317) mengungkapkan Sabda Nabi Muhammad.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Laysa al-muwwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwwashil ‘an tashil man qatha’ak. (Hadits Riwayat Bukhari)
Artinya: “Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang putus.” (HR Bukhari)
Dari Sabda Nabi Muhammad tersebut, jelas termaktub bahwa silaturahim menyambung apa yang telah putus dalam hubungan hablum minannas. Manusia tidak terlepas dari dosa maupun kesalahan sehingga menyebabkan putusnya hubungan. Di titik inilah silaturrahim mempunyai peran penting dalam menyambung kembali apa-apa yang telah putus tersebut.
Lebaran merupakan momen yang paling tepat jika di hari-hari lain belum mampu menyambungkan apa yang telah putus. Energi kembali ke fithrah turut mendorong manusia untuk berlomba-lomba mengembalikan jiwanya pada kesucian. Idul Fitri-lah yang mampu melakukannya.
Meskipun disadari, silaturahim sesungguhnya tidak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba. Manusia tidak mungkin harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk meyambungkan apa yang telah putus.
Hal ini didasarkan bahwa batas umur manusia tidak ada yang tahu. Tentu manusia akan merugi ketika nyawa tidak lagi dikandung badan namun masih menyimpan salah dan dosa kepada orang lain.
Dalam buku yang sama, Quraish Shihab menjelaskan arti silaturrahim ditinjau dari sisi bahasa. Silaturrahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh kata shilat itu.
Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti ini mengandung makna bahwa karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Salah satu bukti yang paling konkret tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Sebab itu, kata shilat juga diartikan dengan pemberian atau hadiah.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Penjelasan Nuzulul Qur’an Diperingati 17 Ramadhan, Tepat pada Lailatul Qadar?
2
Hukum Shalat Tarawih Tapi Belum Shalat Isya, Penting untuk yang Suka Datang Telat
3
Syekh Wahbah Zuhaili: Ulama Produktif Abad 20 Berjuluk Imam Suyuthi
4
Literasi Digital NU Bali Ajak Masyarakat Tingkatkan Toleransi untuk Membangun Harmoni
5
Kultum Ramadhan: War Takjil Kaum Nonis, Bangun Keharmonisan di Tengah Keragaman
6
Gelar Kajian Ramadhan, Fatayat NU Bahas Peran Perempuan dalam Tasawuf
Terkini
Lihat Semua