Tasawuf/Akhlak

Syariat Menghormati Guru dan Orang Tua

Sabtu, 5 Juni 2021 | 01:30 WIB

Syariat Menghormati Guru dan Orang Tua

Ilustrasi menghormati orang tua. (Foto: NU Online)

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ûd RA:


سَأَلْتُ النَّبِيَّ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ الله، قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي


“Aku bertanya kepada Rasulullâh SAW, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Berjihad di jalan Allah.’ Rasulullah menyebutkan (ketiga) hal itu kepadaku, seandainya aku bertanya lagi tentu Rasulullah akan menambahkan lagi.”


Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari jihad di jalan Allah bukanlah prioritas pertama karena ada yang lebih tinggi dan disukai oleh SWT dari pada jihad, yakni shalat di awal waktu dan berbakti kepada orang tua. Hal itu dapat kita ketahui dari urutan kalimat atau redaksi dalam  hadits di atas, yakni: 1.  الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا (shalat di awal waktu), 2. بِرُّ الْوَالِدَيْنِ (berbakti kepada kedua orang tua), dan 3. الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ (jihad di jalan Allah).

 


Ketiga hal di atas, yakni: shalat di awal waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah kesemuanya adalah perintah Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an:


1.  أَقِمِ الصَّلَاةَ, Tegakkanlah shalat, (Al-Isra’,  78) 


2. وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا, Berbaktilah kepada kedua orang tua (Al-Isra, 23)


3.  وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ الله, Berjihadlah di jalan Allah (Al-Baqarah, 218)


Jika kita bandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jihad di jalan Allah maka berbakti kepada kedua orang tua harus lebih didahulukan dari pada jihad karena ia menempati urutan kedua, sedangkan berjihad berada di urutan ketiga. Dari sisi hukum Islam, berbakti kepada kedua orang tua hukumnya fardhu 'ain yang berarti mengikat atau berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali. Sedangkan jihad di jalan Allah, menurut jumhur ulama, hukumnya fardhu kifayah yang berarti jika sudah ada sebagian orang yang melakukannya, maka sebagian yang lain tidak wajib melakukannya sehingga tidak serta merta terkena dosa karena ketidakikutsertaannya. Dalam keadaan tertentu, hukum jihad di jalan Allah bisa berubah menjadi fardhu 'ain.


Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama  terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih atas nama jihad dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Pertanyaannya adalah apakah mereka mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk melakukan kekerasan yang tidak hanya menewaskan orang lain tetapi juga menewaskan diri sendiri tersebut? 

 


Pertanyaan di atas penting untuk dijawab sebab jika tidak mendapatkan izin dari kedua orang tua, maka siapa pun sebetulnya tidak diperbolehkan pergi berjihad. Rasulullah SAW sendiri  tidak berani memberangkatkan seseorang untuk pergi berjihad di jalan Allah jika orang tersebut tidak mendapat izin dari orang tuanya. Padahal jihad yang diserukan Rasulullah SAW adalah jihad yang dijamin bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya di hadapan Allah SWT, dan bukan jihad yang kontroversial apalagi jihad yang keliru sama sekali.


Sikap Rasulullah SAW yang tidak bersedia memberangkatkan seseorang pergi ke medan jihad tanpa izin kedua orang tuanya dapat kita lihat pada kandungan hadits yang diriwayatkan dari Abdullâh bin Amr RA berikut ini:


جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ 


“Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullâh, lalu dia minta izin ikut berjihad. Rasulullâh bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Lelaki itu menjawab, “Ya.” Rasulallâh bersabda, “Berjihadlah di sisi keduanya!”


Hadits tersebut mengandung maksud bahwa seseorang yang hendak berjihad harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya karena jihad (dalam arti perang di jalan Allah) itu mempertaruhkan nyawa. Hanya kedua orang tuanya yang berhak memberi izin berjihad, baik orang itu sudah berkeluarga maupun belum. Hal ini tentu bisa kita mengerti karena kehadiran seseorang ke dunia ini melalui kedua orang tuanya dimana sang ibu dahulu sewaktu melahirkannya membutuhkan perjuangan yang luar biasa dengan nyawa sebagai taruhannya. 

 


Apakah perjuangan seorang ibu yang sedemikian berat itu boleh diabaikan sang anak begitu saja sehingga ia pergi berjihad tanpa restu atau izinnya? Tentu saja tidak! Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, Rasululllah SAW memerintahkan agar laki-laki yang hendak ikut berjihad bersama Rasulullah SAW itu supaya pulang menemui kedua orang tuanya untuk berbakti kepada mereka. Rasulullah mengatakan,  فَفِيهِمَا فَجَاهِد, “Berjihadlah di sisi keduanya!”. Artinya berbakti kepada kedua orang tua itu juga termasuk jihad di jalan Allah meski tidak secara langsung.


Sejurus untuk jihad menghormati orang tua, hormat kepada guru juga tidak kalah pentingnya bagi seorang pelajar. Yang paling dasar adalah, lewat guru, kita bisa membaca, menulis, dan berhitung. Lewat gurulah kita bisa bertanya tentang segala sesuatu yang belum kita ketahui. Guru di sini bukan hanya sosok yang ada di sekolah, tetapi di rumah, pesantren, majelis taklim, musholla, masjid, maupun di tengah masyarakat. Karena setiap orang yang memberikan dan mengajarkan kebaikan, dia tentu layak disebut guru.


Dalam rangka hormat kepada guru dan orang tua, seyogianya anak dan murid mengunjungi orang tua dan gurunya baik di kala keduanya hidup maupun sepeninggal keduanya. Pasalnya dua model hubungan ini lestari baik di dunia maupun di akhirat.


Kalau pun sudah tiada, anak atau murid dianjurkan menziarahi makam mereka. Sebagai wujud bakti anak dan murid dianjurkan untuk membaca kalimat thoyibah di makam mereka atau bersedekah yang pahalanya ditujukan untuk mereka.


Demikian disebutkan Abu Bakar bin Sayid M Syatho Dimyathi dalam karyanya Hasyiyah I‘anatut Thalibin ala Fathil Mu‘in.

 


وفي رواية "من زار قبر والديه كل جمعة أو أحدهما فقرأ عنده ‘يس والقرآن الحكيم’ غفر له بعدد ذلك  آية أو حرفا" 


Sebuah riwayat menyebutkan Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menziarahi makam kedua orang tuanya atau makam salah satu dari keduanya setiap Jumat, lalu ia membaca Surat Yasin di makamnya, niscaya dosa si anak akan diampuni sebanyak ayat atau huruf di Surat Yasin.”


Selain itu Allah juga menjanjikan ganjaran besar untuk anak yang menziarahi makam orang tuanya. Hadits berikut ini dikutip di Hasyiyah I‘anatut Thalibin.


وفي رواية "من زار قبر والديه أو أحدهما كان كحجة"


Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menziarahi makan kedua orang tuanya atau makam salah satu dari keduanya, niscaya ia mendapat pahala haji.”


Kalau menziarahi makam orang tua luar biasa mulianya, apalagi mengunjungi orang tua di kala hidupnya dengan penuh hormat dan takzim. Karena tidak heran kalau ada istilah, “Orang tua adalah keramat (yang diambil dari kata karamah) hidup”. (Fathoni Ahmad)