Tawadhu dan Pembelaan Harkat Hidup Manusia Menurut Ibnu Athaillah
Rabu, 27 Desember 2017 | 05:02 WIB
Karena merupakan sikap batin, ketawadhuan sulit diukur. Yang bisa dilihat hanya praktik lahiriyah yang proporsional dan wajar. Bisa jadi dalam tata krama tertentu, seseorang dapat menyesuaikan diri tetapi sesungguhnya ia belum terbilang orang yang tawadhu. Masalah ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah sebagai berikut:
Artinya, “Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Tetapi, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.”
Ketawadhuan hanya bisa diukur oleh diri manusia itu sendiri karena hanya mereka yang mengerti batin mereka. Penilaian atas sikap batin itu persis dengan penilaian atas ibadah puasa. Hanya mereka sendiri yang dapat menyadari apakah mereka merasa lebih tinggi atau merasa istimewa dibanding orang lain atau bahkan makhluk lain.
Syekh Ibnul Hajib menyebutkan secara jelas bahwa ketawadhuan adalah sebuah sikap batin yang merendah. Sikap batin ini yang melahirkan tata krama dan sikap sosial yang wajar. demikian disampaikan Syekh Ibnul Hajib sebagai berikut:
Artinya, “Menurut saya, ketawadhuan hakiki adalah sikap yang muncul dari orang yang memandang segala sesuatu dari Allah. Ketika ia merendah, maka ia merasa bahwa segala sesuatunya berhak lebih banyak lagi ketakziman dan merasa bahwa dirinya dalam kerendahan dan kehinaan lebih rendah dari ketawadhuan yang telah dilakukannya. Orang yang merasa istimewa di tengah yang lain bukan orang yang tawadhu. Kalaupun ia merendah di tengah yang lain, tetapi memandang dirinya lebih tinggi dan lebih utama dari ketawadhuan yang dilakukannya, maka hakikatnya ia orang yang takabur karena ia menyematkan ketawadhuan bagi dirinya sendiri karena sesuatu yang menurutnya layak ia terima,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 238).
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa ketawadhuan mengandung konsep yang lebih luas dari sekadar formalitas tata krama, unggah ungguh, adab, atau sopan santun. Ketawadhuan bisa dipahami dalam konteks hukum dan etika. Hal ini yang kiranya jarang disampaikan banyak orang.
Ketawadhuan adalah upaya dalam membela dan menjamin hak pribadi dan hak orang lain. Ketawadhuan juga berarti upaya mempertahankan harkat manusia baik diri sendiri maupun orang lain. Jangan sampai diri sendiri terhina. Jangan sampai orang lain terhina dan dirugikan karena ulah kita. Pengertian ketawadhuan ini justru jauh sekali berbeda dari sekadar tata karma atau sopan santun. Hal ini sebagaimana keterangan Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i berikut ini:
Artinya, “Bagi saya, ketawadhuan itu bergerak antara kerendahan dan ketakaburan. Kerendahan itu adalah kamu menjadi hina dan hakmu terlantar. Sementara takabur adalah kau menjadi sebab atas kehinaan orang lain dan haknya terlantar karenamu. Sedangkan ketawadhuan itu adalah kau tidak menjadi hina dan orang lain tidak menjadi hina karenamu; hakmu tidak terlantar dan hak orang lain tidak terlantar karenamu,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008 M/1429 H, halaman 135).
Meskipun hanya sikap batin, tanda-tanda ketawadhuan itu dapat dilihat dengan jelas. Syekh Syarqawi menyebutkan sejumlah tanda konkret mutawadhi‘in yang memiliki kepribadian tangguh dalam menghadapi berbagai tekanan sosial dan tabah dalam menjaga diri dari godaan kemunafikan hidup. Berikut ini kutipannya:
Artinya, “Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah) berlaku sebagai laku orang bermaqam mutawadhi‘in, antara lain duduk di belakang dalam sebuah forum (menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya) merasa dirinya berhak duduk di depan. (Tetapi, orang yang tawadhu itu) adalah (ia yang ketika merendah) berlaku sebagai laku orang bermaqam mutawadhi‘in, antara lain duduk tak jauh dari depan pada sebuah forum (menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya) merasa dirinya justru lebih berhak duduk di belakang... Tanda riil dari perilaku mutawadhi‘in adalah ia yang tidak marah ketika dicela atau difitnah, tidak membenci ketika dicaci atau dituduh melakukan dosa besar; tidak ngotot mengejar pencitraan, mencari muka atau mengambil hati orang lain; dan tidak merasa bahwa dirinya memiliki tempat di hati banyak orang,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Thaha Putra, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 60-61).
Dari sejumlah keterangan ulama itu, kita dapat menyimpulkan bahwa ketawadhuan hanya dimiliki oleh orang-orang besar. Tawadhu adalah mereka yang siap belajar (mondok, ngaji, sekolah, kuliah. Pokoknya belajar) ketika bodoh, bertanya ketika tidak mengetahui, berterima kasih atas budi baik orang lain, memohon maaf atas kesalahan. Tidak banyak orang yang bersikap tawadhu. Hanya mereka yang berjiwa besar dapat mencapai derajat mutawadhi‘in. Karena hanya mereka yang siap melawan arus demi hak dan harkat hidup manusia. Wallahu a’lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menghadapi Ujian Hidup dengan Ketakwaan
2
Khutbah Jumat: Menghindari Buruk Sangka kepada Tuhan dan Sesama
3
Ini Link Download Logo Hari Santri 2024
4
Khutbah Jumat: Larangan Bekerja Sama dalam Kemaksiatan
5
Khutbah Jumat: Mari Memuliakan Tamu
6
Timnas Garuda, Bahrain, dan Politik Timur Tengah
Terkini
Lihat Semua