Nikah/Keluarga

Hak-hak Perempuan setelah Cerai dari Suaminya

Kamis, 26 Juni 2025 | 20:00 WIB

Hak-hak Perempuan setelah Cerai dari Suaminya

Ilustrasi talak atau cerai. (Foto: NU Online/Freepik)

Perjalanan indah dalam mengarungi bahtera rumah tangga adalah dambaan setiap manusia. Oleh sebab itu, pasangan yang saling jatuh cinta akan mengikat cintanya dalam mahligai pernikahan. Namun, tak ada jalan yang tak berliku dan tak ada mawar yang tak berduri. Seindah apapun mahligai itu dibangun, tak akan lepas dari persoalan-persoalan. 

 

Dalam menghadapi pertikaian dan persoalan-persoalan keluarga, sebenarnya nalar seseorang sedang diuji; apakah ia tetap mampu berpikir dengan logis dan proporsional atau malah sebaliknya. Sebagai agama yang membawa syariat nikah, Islam juga memberikan tuntunan yang sangat arif untuk menyikapi pertikaian dan problem yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga.

 

Namun, apabila hubungan pernikahan tidak lagi dapat dipertahankan atau justru malah mengandung muatan negatif jika terus diupayakan tetap terjalin, maka Islam memberikan alternatif terakhir sebagai pintu keluar dari problem keluarga yang sulit diperbaiki berupa cerai atau talak.

 

Hak-hak Perempuan setelah Cerai

Islam memberi hak kepada setiap pasangan suami-istri untuk menyudahi pernikahan sebagai bentuk perlindungan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, syariat Islam memberikan hak tersebut secara adil dan setara kepada suami-istri.  Apabila pihak perempuan telah benar-benar diceraikan, ia tetap memiliki hak yang harus ditunaikan oleh mantan suaminya. Ketentuan hak ini tergantung pada kategori talak yang dijatuhkan oleh suami. 

 

Berikut adalah beberapa hak perempuan setelah ditalak:

 

1. Hak perempuan yang ditalak raj’i

Perempuan yang ditalak raj’i (talak satu dan dua) masih berhak mendapatkan nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hak-hak istri lainnya, kecuali seperangkat alat kebersihan. Hal ini berdasarkan status istri dalam talak raj’i yang dianggap masih sama dengan istri yang sah, sampai selesainya ‘iddah, baik istri tersebut hamil atau tidak. 

 

Oleh karena itu, jika istri nusyuz (sikap durhaka yang ditampakkan istri di hadapan suami dengan tidak melaksanakan kewajibannya, yakni taat terhadap suami) di pertengahan menjalani masa ‘iddah, seperti keluar rumah dengan tanpa seizin suami, maka hak nafkahnya menjadi gugur. 

 

Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Bujairami dalam Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Khathib sebagai berikut,

 

وَلِلْمُعْتَدَّةِ الرَّجْعِيَّةِ) وَلَوْ حَائِلًا وَأَمَةً (السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ) وَالْكِسْوَةُ وَسَائِرُ حُقُوقِ الزَّوْجِيَّةِ إلَّا آلَةَ تَنْظِيفٍ لِبَقَاءِ حَبْسِ النِّكَاحِ وَسَلْطَنَتِهِ وَلِهَذَا تَسْقُطُ بِنُشُوزِهَا

 

Artinya: “Hak-hak perempuan yang ditalak raj’i, meski sedang tidak hamil atau berstatus budak adalah tetap diberi tempat tinggal, nafkah, pakaian, dan hak-hak istri lainnya, kecuali seperangkat alat kebersihan. Hal ini berdasarkan status istri dalam talak raj’i yang dianggap masih sama dengan istri yang sah. Oleh karena itu, hak-hak ini juga gugur Ketika istri tersebut melakukan nusyuz.” (Syekh Al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Khathib, [Beirut, Darul Fikr: 1415 H], jilid. IV, hlm. 53)

 

Keterangan tersebut berdasarkan firman Allah Swt. dalam surat At-Thalaq ayat 1 yang berbunyi:

 

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ

 

Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.” (QS. At-Thalaq: 1)

 

2. Hak perempuan yang ditalak ba’in

Jika perempuan tersebut sedang tidak hamil, maka hanya berhak mendapatkan tempat tinggal. Namun, jika perempuan tersebut sedang hamil, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah untuk bayi yang sedang dikandungnya, dengan catatan jika memang anak tersebut dinisbatkan kepada suami yang mentalak. 

 

Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Bujairami dalam Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Khathib sebagai berikut,

 

وَلِلْبَائِنِ) الْحَائِلِ بِخُلْعٍ أَوْ ثَلَاثٍ فِي غَيْرِ نُشُوزٍ (السُّكْنَى دُونَ النَّفَقَةِ) وَالْكِسْوَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ﴾ [الطلاق: ٦] فَلَا سُكْنَى لِمَنْ أَبَانَهَا نَاشِزَةً أَوْ نَشَزَتْ فِي الْعِدَّةِ إلَّا إنْ عَادَتْ إلَى الطَّاعَةِ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ. ثُمَّ اسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ قَوْلَهُ (إلَّا أَنْ تَكُونَ) الْبَائِنُ (حَامِلًا) بِوَلَدٍ يَلْحَقُ الزَّوْجَ فَيَجِبُ لَهَا مِنْ النَّفَقَةِ بِسَبَبِ الْحَمْلِ عَلَى أَظْهَرِ الْقَوْلَيْنِ: مَا كَانَ سَقَطَ عِنْدَ عَدَمِهِ

 

Artinya: “Hak-hak perempuan yang ditalak ba’in ketika tidak sedang hamil adalah tetap mendapatkan tempat tinggal, dan pakaian saja, dengan tanpa nafkah, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat At-Thalaq ayat 6. Kecuali jika perempuan yang tertalak ba’in tersebut juga dalam keadaan hamil dengan mengandung anak yang dinisbatkan kepada suami yang mentalak, maka ia masih berhak mendapatkan nafkah juga, sebab kehamilan tersebut.” (Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Khathib, jilid. IV, hlm. 54)

 

3. Hak perempuan yang ditinggal mati suaminya

Menurut qaul adzhar, perempuan yang ditinggal wafat suaminya masih berhak mendapatkan tempat tinggal, jika memang ada harta tinggalan berupa rumah. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah memerintahkan Furairah binti Malik (saudara perempuan Abu Sa’id al-Khudhri) ketika suaminya meninggal dunia, untuk tinggal di rumah suaminya sampai habis masa ‘iddahnya, lalu ia menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. (HR. Abu Daud). 

 

Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Imam Syamsyuddin Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj sebagai berikut,

 

وَ) تَجِبُ سُكْنَى (لِمُعْتَدَّةِ وَفَاةٍ) أَيْضًا حَيْثُ وُجِدَتْ تَرِكَةٌ وَتَقَدَّمَ عَلَى الدُّيُونِ الْمُرْسَلَةِ فِي الذِّمَّةِ (فِي الْأَظْهَرِ) «لِأَمْرِهِ ﷺ فُرَيْعَةَ» بِضَمِّ الْفَاءِ «بِنْتَ مَالِكٍ أُخْتَ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَمَّا قُتِلَ زَوْجُهَا أَنْ تَمْكُثَ فِي بَيْتِهَا حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ، فَاعْتَدَّتْ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا» صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ. وَالثَّانِي لَا سُكْنَى لَهَا كَمَا لَا نَفَقَةَ لَهَا

 

Artinya: “Menurut qaul adzhar, Wanita yang ‘iddah karena ditinggal wafat suaminya, ia berhak mendapatkan tempat tinggal, ketika ada harta tinggalan dari suami. Hal ini berdasarkan perintah Nabi Muhammad saw. terhadap Furai’ah binti Malik (saudara perempuan Abu Sa’id al-Khudhri) ketika suaminya terbunuh, untuk bertempat tinggal di rumah suaminya sampai habis masa ‘iddahnya, lalu ia menjalani ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Adapun menurut pendapat muqabil adzhar, perempuan tersebut tidak berhak mendapatkan tempat tinggal sebagaimana tidak juga berhak mendapatan nafkah.” (Imam Syamsyuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. 7, hlm. 154)

 

Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian yang terjadi karena adanya permohonan cerai dari suami kepada Istri. Jika Pengadilan mengabulkan permohonan cerai talak dari suami, maka sesuai pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, seorang istri berhak mendapatkan:

 
  1. Mut’ah atau kenang kenangan yang layak dari mantan suami, baik berupa uang atau benda kepada mantan istri.
  2. Nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada mantan istri selama dalam masa iddah atau sesuai keputusan pengadilan.
  3. Pelunasan mahar perkawinan yang masih terhutang.
  4. Biaya kebutuhan untuk anak-anaknya yang belum berumur 21 tahun;
  5. Perempuan berhak atas harta bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam;
  6. Perempuan berhak untuk mendapatkan pula hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.
 

Sedangkan perceraian yang terjadi karena gugatan seorang istri kepada suaminya ke Pengadilan Agama. Jika Pengadilan Agama mengabulkan permohonan cerai dari seorang istri terhadap suaminya, maka seorang istri berhak mendapatkan:

 
  1. Nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada mantan istri selama dalam masa iddah atau sesuai keputusan pengadilan.
  2. Perempuan berhak atas Harta Bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam;
  3. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun
 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa perempuan yang telah ditalak suaminya masih mempunyai beberapa hak yang wajib ditunaikan oleh suami, tergantung kategori dari talak yang telah dijatuhkan suami kepada perempuan tersebut.

 

Jika perempuan tersebut ditalak raj’i oleh sang suami, maka ia masih berhak mendapatkan nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hak-hak istri lainnya, kecuali seperangkat alat kebersihan. Hak-hak ini bisa didapatkannya dengan catatan sang perempuan tidak nusyuz.

 

Jika perempuan tersebut ditalak ba’in oleh suami, dan perempuan tersebut sedang tidak hamil, maka hanya berhak mendapatkan tempat tinggal. Namun, jika perempuan tersebut sedang hamil, maka ia berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkan untuk bayi yang sedang dikandungnya, dengan catatan jika memang anak tersebut dinisbatkan kepada suami yang menceraikannya.

 

Terakhir, bagi perempuan yang ditinggal wafat suaminya (talak wafat), menurut qaul adzhar, ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal, jika memang ada harta tinggalan berupa tempat tinggal. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.